MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN
TEGAKAN
Pengertian dan Definisi Tegakan adalah suatu unit-unit pengelolaan hutan yang cukup homogen, sehingga dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan yang ada di sekitarnya. Perbedaan itu disebabkan karena umur, komposisi, struktur atau tempat tumbuh. Dalam hal ini kita kenal adanya tegakan pinus, tegakan jati, tegakan kelas umur satu, dua, dan lain sebagainya.
Di dalam suatu wilayah hutan alam, dengan jenis penyusunnya yang beragam dan umur tidak sama tapi masih memberikan kesan umum (general appearance) yang berbeda dengan wilayah atau areal atau kelompok vegetasi lain, yang berbeda di dekatnya, juga merupakan suatu tegakan hutan. Dalam hal ini, tegakan lebih cendrung diartikan sebagai suatu satuan pepohonan hutan.
Pengertian dan Definisi Tegakan adalah suatu unit-unit pengelolaan hutan yang cukup homogen, sehingga dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan yang ada di sekitarnya. Perbedaan itu disebabkan karena umur, komposisi, struktur atau tempat tumbuh. Dalam hal ini kita kenal adanya tegakan pinus, tegakan jati, tegakan kelas umur satu, dua, dan lain sebagainya.
Di dalam suatu wilayah hutan alam, dengan jenis penyusunnya yang beragam dan umur tidak sama tapi masih memberikan kesan umum (general appearance) yang berbeda dengan wilayah atau areal atau kelompok vegetasi lain, yang berbeda di dekatnya, juga merupakan suatu tegakan hutan. Dalam hal ini, tegakan lebih cendrung diartikan sebagai suatu satuan pepohonan hutan.
TEGAKAN SEUMUR
Pengertian dan Definisi dari Tegakan Seumur adalah Tegakan yang semua pohonnya ditanam pada tahun yang sama, atau pada waktu yang bersamaan. Tegakan ini umumnya ditandai dengan tajuk yang seragam. Pohon kecil merupakan pohon yang tertekan, prose regenerasi terjadi pada periode yang pendek. Kemungkinan terjadinya erosi lebih besar selama periode regenerasi, dan pada waktu tegakan masih muda. Bahaya gangguan terhadap hama, penyakit, dan api besar.
TEGAKAN TIDAK SEUMUR
Pengertian dan Definisi dari Tegakan Tidak Seumur adalah tegakan yang tersusun oleh pohon-pohon setiap umur, mulai dari tingkat semai, pancang tiang dan pohon masak tebang. Tegakan tidak seumur ditandai dengan tajuk yang terputus dan tidak seragam; pohon-pohon kecil merupakan semai dan sapihan muda; proses regenerasi yang tidak menentu; kemungkinan terjadinya erosi kecil; bahaya terhadap berbagai gangguan seperti kebakaran, hama dan penyakit, juga kecil.
Pengertian dan Definisi dari Tegakan Tidak Seumur adalah tegakan yang tersusun oleh pohon-pohon setiap umur, mulai dari tingkat semai, pancang tiang dan pohon masak tebang. Tegakan tidak seumur ditandai dengan tajuk yang terputus dan tidak seragam; pohon-pohon kecil merupakan semai dan sapihan muda; proses regenerasi yang tidak menentu; kemungkinan terjadinya erosi kecil; bahaya terhadap berbagai gangguan seperti kebakaran, hama dan penyakit, juga kecil.
TEGAKAN CAMPURAN
Pengertian dan definisi dari Tegakan Campuran adalah suatu tegakan yang susunannya terdiri lebih dari satu jenis pohon dominan. Tegakan campuran mempunyai banyak keuntungan secara biologis dan ekonomis, disamping ada juga kekurangan-kekurangannya.
TEGAKAN MURNI
Pengertian dan Definisi dari Tegakan Murni adalah suatu tegakan yang disusun oleh 90% atau lebih, pohon dominan dan kodominan dari jenis yang sama (Pohon-Pohon Homogen). Tegakan hutan murni terbentuk karena satu atau lebih faktor,
Pengertian Perencanaan Tapak
Rencana Tapak (Site Plan) adalah gambaran/peta rencana peletakan bangunan atau kavling dengan segala unsur penunjangnya dalam skala batas-batas luas lahan tertentu. (Anonim, 2009). Perencanaan tapak adalah pengolahan fisik tapak untuk meletakkan seluruh kebutuhan rancangan di dalam tapak. Perencanaan tapak dilakukan dengan memperhatikan kondisi tapak dan kemungkinan dampak yang muncul akibat perubahan fisik di atasnya. Tujuan dari perencanaan tapak adalah agar keseluruhan program ruang dan kebutuhan-kebutuhannya dapat diwujudkan secara terpadu dengan memperhatikan kondisi, lingkungan alam, lingkungan fisik buatan dan lingkungan social disekitarnya. Jadi pengertian tapak cukup luas, dan sangat tergantung dari kontekstual permasalahan yang dibahas, berikut adalah beberapa pengertian tentang tapak (siteplan) sendiri dari beberapa sumber :
Perencanaan Tapak (siteplan) adalah berkaitan dengan tahap proses perancangan landskap, melibatkan beberapa bagian antara lain penataan guna lahan, akses, sirkulasi, privasi, keamanan, drainase, dll. Dilakukan dengan menyusun elemen-elemen lahan,tanaman,air, bangunan dll. Pengertian tersebut menurut ahli Landscaper.
Perecanaan Tapak adalah analisis fisik dan non fisik kota untuk membuat desain rencana tapak dalam kawasan fungsional tertentu maupun skala kota.
Perencanaan Tapak (siteplan) adalah seni menata lingkungan buatan manusia dan lingkungan alamiah, guna menunjang kegiatan manusia. Pengkajian perencanaan
tapak (site planning) sering tersusun dalam dua komponen yang berhubungan, yaitu faktor lingkungan alam dan faktor lingkungan buatan manusia (Felicity Brogden,1985).
Perancangan Tapak (landscape site planning), di dalamnya juga tercakup lansekap design, merupakan usaha penanganan tapak (site) secara optimal melalui proses keterpaduan penganalisaan dari suatu tapak dan kebutuhan program penggunaan tapak, menjadi suatu sintesa yang kreatif. (Ir.Rustam Hakim)
Perencanaan Tapak, adalah suatu proses yang kreatif yang menghendaki kemampuan pengolahan dari berbagai faktor-faktor kemungkinan. Hal ini melibatkan lokasi,penempatan dan perhubungan dari seluruh elemen-elemen tapak.
Perencanaan Tapak, meliputi seni dari perencanaan ruang-ruang terbuka,perancangan bangunan, perancangan jalan dan jalur-jalur lintasan lainnya. (Unterman.R & Robert Small,1986).
Perencanaan Tapak (siteplan) adalah Seni menata lingkungan buatan & lingkungan alamiah guna menunjang kegiatan manusia. Pengkajian perencanaan tapak (site planning) sering tersusun dalam dua komponen yang berhubungan, yaitu factor lingkungan alam dan factor lingkungan buatan manusia .(Snyder dan Catanese,1984).
Perencanaan tapak juga dapat diartikan sebagai pengolahan fisik tapak untuk meletakkan seluruh kebutuhan rancangan di dalam tapak.Perencanaan tapak dilakukan dengan memperhatikan seluruh kondisi tapak dan kemungkinan dampak yang muncul akibat perubahan fisik diatasnya.
Dalam perencanaan tapak diperlukan beberapa kegiatan yang meliputi inventarisasi tapak, analisis tapak dan perencanaan tapak. Inventarisasi tapak adalah proses pengumpulan segala data yang ada dan diperlukan mengenai tapak yang yang akan di desain, baik berupa data fisik (dimensi, topografi, klimatologi, view, akses, dll), sosial budaya dan fungsional (aktivitas dan fungsi). Analisis tapak adalah mengaitkan semua data yang terkumpul sehingga dapat diketahui potensi, kendala yang ada pada tapak. Perencanaan tapak yang juga dikenal sebagai gambar skematis. Rencana ini telah menunjukan ruang-ruang, sirkulasi dan aktivitas yang dapat dilakukan serta rencana elemen yang akan digunakan untuk mewujudkan rencana tersebut. (Lestari, 2007) Dalam menginventarisasi tapak dilakukan beberapa kegiatan.
Pengukuran. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui luas tapak dengan membentangkan meteran dari satu titik sudut dengan titik sudut lainnya pada tepi tapak.
Pemetaan vegetasi dan elemen keras. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui letak titik suatu elemen lanskap dan vegetasi berada.
Pengamatan dan pencatatan data di lapang.
Perancangan tapak harus memperhatikan hal-hal di luar batas-batas tapak untuk mengkaji distribusi ruang dari kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi dan kaitannya dalam lokalitas. Lingkungan ruang untuk suatu tapak meliputi komunitas yang lebih besar dimana kegiatan berfungsi, maupun daerah bersebelahan yang lebih dekat Dalam setiap hal yang menjadi perhatian adalah sifat hubungan, jenis arus (kendaraan, pejalan kaki, barang) arah arus dan rute jalan masuk yang diperlukan untuk menampung arus.
Ruang Tumbuh
Kerapatan Tegakan Jarak Antar Pohon
Ruang tumbuh berkaitan dengan areal yang diduduki setiap pohon dan dinyatakan dengan jarak antar pohon. Tersedia dua metoda utama untuk menghitung jarak tanam: satu berasumsi bahwa luas akar dan tajuk yang diduduki oleh pohon adalah bujursangkar, dan yang lain berasumsi areal tersebut adalah lingkaran. Kedua metoda tersebut tidak efisien karena akar dan tajuk pohon biasanya bundar ; konsekwensinya, jarak tanam bujur sangkar tidak memungkinkan awal pemanfaatan penuh suatu tempat tumbuh. Demikian pula dengan metode jrak tanam lingkar biasanya dipakai untuk menghitung jarak tanam atau jumlah pohon untuk menaksir melebihi jumlah pohon sebenarnya karena perhitungan tersebut tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa secara fisik, harus terdapat celah lahan yang tidak diduduki antara lingkaran yang berdekatan.
Tanpa memandang apakah ruang tumbuh berbentuk bujursangkar atau lingkaran yang digunakan sebagai dasar untuk perhitungan antar pohon, penempatan nyata tanaman di lapangan dengan menggunakan metode tersebut biasanya dalam bentuk bukursangkar. Dalam prakteknya, jrak tanam paling umum dihitung dengan asumsi ruang tumbuh persegi empat atau bujur sangkar. Hal ini karena kesederhanaannya dan pohon biasanya berkembang kearah ruang yang tersedia.
CONTOH MAKALAH
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertanian
adalah suatu jenis produksi yang berlandaskan dari pertumbuhan
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian
rakyat, sedangkan dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit,
kehutanan, peternakan dan perikanan. Orang atau kumpulan orang-orang
yang mengusahakan dan mengatur agar terjadi pertumbuhan dan pengambilan
hasilnya adalah petani atau pengusaha pertanian. Kegiatan produksi
adalah suatu usaha atau business dimana hubungan antara biaya dan
pendapatan adalah penting (Rijanto, dkk, 1995).
Menurut
Mustapit (2011), sumberdaya agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5/1960)
justru sesuai dengan pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya...” “Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasukpula
tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1ayat 4).
“Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupunlaut
wilayah Indonesia” (Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruangangkasa
ialah ruang di atas bumi dan air tersebut…” (Pasal 1 ayat 6). Dengan
merujuk pada Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA 1960 itu, dapatlah ditarik
kesimpulan perihal jenis-jenis sumberdaya agraria meliputi tanah,
perairan, hutan, bahan tambang dan udara.
Hutan
adalah kesatuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah
(kawasan) di luar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agraria ini
secara historis adalah modal alami utama dalam kegiatan ekonomi
komunitas-komunitas perhutanan, yang hidup dari pemanfaatan beragam
hasil hutan menurut tata kearifan lokal. Kawasan hutan Indonesia selama
ini telah banyak dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia. Menurut
Subadi (2010), potensi kawasan hutan tersebut, kurang lebih 3 juta
hektar terletak di pulau Jawa yang telah dikelola sejak tahun 1892 dan
pengelolaanya dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada
dibawah Departemen Kehutanan.
Kondisi
hutan di Indonesia sekarang telah dan sedang menghadapi tekanan
destruktif dari berbagai faktor. Tekanan destruktif itu berasal dari
berbagai kekuatan, baik dari tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Tekanan-tekanan itu berdampak kompleks dan berkaitan satu
dengan yang lain. Smith (1992) mengemukakan tujuh faktor yang menjadi
sumber tekanan destruktif itu, yaitu (1) pembalakan (logging)
komersial, baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal; (2)
pertambangan, baik yang dilakukan oleh penambang kecil dengan teknologi
tradisional maupun oleh penambang besar dengan teknologi canggih; (3)
transmigrasi, termasuk juga pemukiman kembali penduduk local perambah
hutan sekaligus dengan pencetakan areal pertanian menetap; (4)
perkebunan dan HTI (timber estate);
(5) perladangan berpindah; (6) eksploitasi hasil hutan nonkayu; dan (7)
berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar, yang kebanyakan
dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor pariwisata (Gunawan dalam
Mustapit, 2011).
Lembaga
adalah wadah dimana sekumpulan orang berinisiatif untuk memenuhi
kebutuhan bersama, dan yang berfungsi mengatur akan kebutuhan bersama
tersebut dengan nilai dan aturan bersama. Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang
berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi
kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Tujuan pengembangan LMDH adalah: 1) untuk
meningkatkan kemampuan LMDH dalam pengelolaan lembaganya, 2) pengenalan
pendekatan partisipatif dalam rangka pengembangan lembaga, 3) memberikan
pandangan yang berbeda dan kritis dalam rangka pengembangan lembaga
masyarakat, dan 4) memberikan panduan sederhana namun bermutu dalam
rangka pengembangan lembaga masyarakat (Awang, 2008).
Model
Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDH-BM) memiliki
paling sedikit tiga fungsi yaitu, fungsi perlindungan alam untuk
kehidupan makhluk hidup dan lingkungannya, fungsi keindahan untuk
menopang kehidupan manusia, dan fungsi ekonomi untuk mendukung
keberlanjutan dan kemanfaatan sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah model pengelolaan hutan
yang dianggap dapat menjanjikan penyelesaian masalah-masalah antara
masyarakat dengan pemerintah. Model ini di negara-negara maju seperti
Jerman dan Jepang mendapat tempat terhormat dan dapat terbukti dapat
menyebabkan pelestarian lingkungan (Subadi, 2010).
Desa
Lojejer merupakan salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Jember.
Desa Lojejer memiliki sumberdaya agraria berupa hutan yang dikelola oleh
masyarakat sekitar hutan melalui model Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). Model ini merupakan model pengelolaan hutan yang
tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah melalui PERHUTANI namun juga melibatkan masyarakat sekitar
hutan. Model pengelolaan hutan bersama masyarakat ini ditampung di suatu
lembaga yang beranggotakan masyarakat sekitar hutan yang mengelola
hutan. Lembaga ini disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). lembaga
masyarakat desa hutan yang ada ini menjadi lembaga yang mengatur tata
cara pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana lingkup agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan?
2. Bagaimana kondisi sumberdaya manusia di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan?
3. Bagaimana kondisi sumberdaya alam hutan di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui lingkup agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
2. Untuk mengetahui kondisi sumberdaya manusia di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
3. Untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam hutan di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
1.3.2 Manfaat
1. Sebagai bahan informasi bagi stake holder, pemerintah, maupun swasta dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya agrarian kehutanan.
2. Sebagai bahan informasi bagai masyarakat mengenai potensi sumberdaya hutan serta cara pengelolaannya.
3. Sebagai bahan informasi dan data pendukung bagi akademisi untuk penelitian selanjutnya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lingkup Agraria
Istilah agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti lapangan, pedusunan, atau wilayah. Dalam istilah lain agger
yang sinonim dengan istilah sebelumnya agraria mempunyai pengertian
sebagai tanggul penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan
tambak, reruntuhan tanah, dan bukit. Jadi pengertian istilah agraria
secara etimologis mengandung beberapa makna yang kaitannya tidak hanya
sedakar berpatokan dengan tanah.
Kata
pedusunan, bukit, atau wilayah, dapat menjelaskan bahwa sumber agraria
tidak semata-mata menunjuk pada tanah. Kata-kata tersebut juga
menunjukkan makna yang lebih luas karena didalamnya tercakup segala
sesuatu yang terwadahi olehnya. Suatu bentangan lapangan, pedusunan,
atau wilayah pasti terdiri dari berbagai unsur yang meliputi tanah, air,
hewan, bahan mineral/tambang, udara, dan lain-lain. Hal tersebut
dikuatkan dengan adanya UUPA 1960 (UU No. 5/1960) yang menjelaskan
tentang batasan sumber agraria. Dari UU tersebut dapat disimpulkan bahwa
jenis-jenis sumber agraria tidak hanya pada tanah sebagai modal alami
utama dalam pertanian dan peternakan, melainkan ada sumber-sumber
agraria yaitu udara, bahan tambang, perairan yang merupakan modal alami
utama dalam kegiatan perikanan dan arena penangkapan ikan (fishing ground)
bagi komunitas nelayan, hutan yang merupakan satu keastuan flora dan
fauna yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) diluar kategori tanah
pertanian sebagai modal alami dalam kegiatan ekonomi komunitas
perhutanan (Chalim, 2009).
Unsur
kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki
kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar,
subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup
unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan
kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup
unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini
memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalai institusi
penguasaan/pemilikan/pemanfaatan (tenure institutions).
Sitorus (2002) dalam Whennie 2009, membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu. Kedua,
ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi
secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria
tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan
cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek
agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua
menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek
agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria,
dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal
penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan sosial
agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur agraria
yang digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria
Pola-pola
hubungan sosial agraris antara ketiga subyek tersebut sangat ditentukan
oleh konteks struktur agraria di suatu negeri. Terdapat tiga tipe ideal struktur agraria yaitu:
a. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan);
b. Tipe Sosialis: sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja; dan
c. Tipe Populis/Neo-Populis: sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna.
Dominasi
penguasaan sumber-sumber agraria itu pada satu pihak subyek, yaitu pada
swasta (tipe kapitalis), atau rumah tangga komunitas (tipe populis/neo
populis), atau pemerintah (tipe sosialis) kemudian memunculkan
hubungan-hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu dan lain tipe
struktur agraria. Pada tipe kapitalis misalnya, hubungan non-penggarap
dengan anggota komunitas menjadi hubungan majikan-buruh. Pada tipe
sosialis, hubungan pemerintah dan anggota komunitas menjadi hubungan
“ketua-anggota”. Sementara pada tipe populis/neo-populis
keluarga-keluarga penguasa/pemanfaat sumberdaya-sumberdaya agraria boleh
dikatakan berdaulat (Mustapit, 2011).
2.2 Sumber Daya Manusia
Sedarmayanti dalam Zubaidah (2007), mengatakan
Sumber Daya Manusia merupakan aset utama suatu organisasi yang menjadi
perencana dan pelaku aktif dari setiap aktivitas organisasi. Mereka
mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status dan latar belakang
pendidikan, usia, jenis kelamin yang hetorogen yang dibawa ke dalam
suatu organisasi. Sumber daya manusia yang cakap, mampu dan terampil
belum menjamin produktifitas kerja yang baik, apabila moral kerja dan
kedisiplinannya rendah. Mereka baru bermanfaat bila dapat mendukung
terwujudnya organisasi.
Sumber daya manusia seringkali
menjadi pelengkap dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Tenaga kerja, pengetahuan dan keahlian serta ketrampilan teknis manusia
banyak digunakan untuk memperoleh manfaat dari penggunaaan sumber daya
alam dan lingkungan. Masyarakat modern banyak menanamkan modal untuk
memperbaiki kualitas manusia agar dapat menjadi pelengkap atau bahkan
menggantikan peranan dari sumber daya alam. Kemampuan masyarakat yang
semakin tinggi dalam mempengaruhi ekosistem, mengorganisasikan,
merencanakan dan mengambil keputusan baik secara perorangan ataupun
secara bersama-sama, maka peranan sumber daya alam sangatlah dominan
dalam menentukan kelangsungan hidup manusia di bumi ini.
Manusia
diharapkan dapat mengorganisasikan kekuatannya dan mengendalikan diri
terhadap kerakusannya maupun kepentingannya dengan kemampuan yang
dimiliki untuk mengalokasikan
secara bijaksana sumber daya alam dan lingkungan yang ada untuk generasi
sekarang maupun yang akan dating. Manusia harus dapat memaksimumkan
manfaat dalam penggunaan sember daya alam dan lingkungan, dan selalu
mencari keseimbangan antara saat ini dan saat yang akan datang
(Suparmoko, 2008).
2.3 Sumber Daya Alam
Pada
dasarnya sumber daya alam dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
utama, yaitu kelompok sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan
kelompok sumber daya alam yang dapat diperbarui. Professor Barlow
mengelompokkan sumber daya alam menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
a. Sumber daya alam yang tak dapat pulih atau tak dapat diperbaharui
Sumber
daya alam yang tidak dapat pulih atau yang tidak dapat diperbaharui
mempunyai sifat bahwa volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat
diperbaharui atau diolah kembali. Untuk terjadinya sumber daya jenis ini
diperlukan waktu ribuan tahun. Sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui ini dapat digolongkan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Sumber daya seperti batu bara dan mineral yang sifatnya dapat dipakai habis atau berubah secara kimiawi melalui penggunaan.
2. Sumber daya seperti logam dan batu-batuan yang mempunyai umur pengunaan yang lama dan seringkali dapat dipakai ulang.
b. Sumber daya alam yang pulih atau yang dapat diperbaharui
Sumber
daya alam yang pulih atau yang dapat diperbaharui ini mempunyai sifat
terus menerus ada dan dapat diperbaharui oleh alam sendiri maupun dengan
bantuan manusia. Yang termasuk dalam kelompok sumber daya jenis ini
adalah sumber daya air, angin, cuaca, sinar matahari. Aliran sumber daya
alam jenis ini entah dipakai atau tidak, terus menerus ada dan dapat
diperkirakan.
c. Sumber daya alam yang mempunyai sifat gabungan antara yang dapat diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui.
Sumber daya alam yang ada dalam kelompok ini masih dapat dibedakan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Sumber daya biologis
Beberapa
contoh sumber daya biologis adalah hasil panen pertama hutan,
margasatwa, padangrumput, perikanan, dan peternakan. Sumber daya alam
jenis ini mempunyai ciri seperti sumber daya alam yang dapat
diperbaharui karena mereka dapat diperbaiki setiap saat, asal ada
perawatan untuk melindunginya dan pemakaiannya sesuai dengan kondisi
persediaan mereka. Sumber daya alam ini dapat digolongkan ke dalam
sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui pada waktu-waktu tertentu,
yaitu pada saat mereka menjadi sangat berkurang pertumbuhannya sebagai
akibat dari pemakaian yang boros dan kurang bertanggung jawab.
2. Sumber daya tanah
Sumber
daya tanah ini menggambarkan gabungan antara sifat sumber daya alam
yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui maupun sumber
daya biologis. Sebagai contoh adalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah
dapat terjadi karena perbuatan akar tanaman dan adanya
organisme-organisme yang mengeluarkan bermacam-macam nutrisi tanah untuk
diserap oleh tanaman. Keadaan ini merupakan sifat dari sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui, walaupun manusia dapat menggunakan
kesuburan tanah tersebut sampai ratusan tahun. Tetapi dapat juga sumber
daya tanah itu mempunyai sifat seperti sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, yaitu bila petani menggunakan pupuk, tanaman penolong, dan
tanaman hijau lainnya. Sedangkan sifat yang menyerupai sumber daya
biologis adalah bila sumber daya tanah ini ditingkatkan, atau
dipertahankan atau dipakai sehingga bertambah atau berkurang
kesuburannya sebagai akibat dari perilaku manusia (Suparmoko, 2008).
2.4 Kelangkaan Sumber Daya Alam
Manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah ada puasnya. Kebutuhan
manusia beraneka ragam dan terus menerus ada. Semakin hari kebutuhan
manusia semakin bertambah banyak baik jumlah, mutu, dan coraknya.
Pertambahannya itu tidak sebanding dengan sumber daya yang tersedia.
Oleh karena itu, akan ada sebagian orang yang tidak mendapatkan alat
pemuas kebutuhan yang diinginkan, entah karena tidak mampu mengeluarkan
pengorbanan yang disyaratkan (biaya tidak terjangkau) atau karena barang
sudah habis. Kondisi di atas dapat disebut sebagai kelangkaan. Jadi
kelangkaan dapat diartikan situasi atau keadaan di mana jumlah sumber
daya yang ada dirasakan kurang atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Menurut ilmu ekonomi, kelangkaan mempunyai dua makna, yaitu:
a. Terbatas, dalam arti tidak cukup dibandingkan dengan banyaknya kebutuhan manusia
b. Terbatas, dalam arti manusia harus melakukan pengorbanan untuk memperolehnya
Berbicara
masalah kelangkaan tidaklah meyakinkan tanpa bukti empiris yang
menyertainya. Bukti tersebut biasanya menunjukan indikator seberapa jauh
kelangkaan sumber daya alam menghadang laju pertumbuhan ekonomi.
Indikator tersebut bisa berupa indikator fisik misalnya konsep cadangan,
maupun indikator ekonomi seperti harga, sewa, dan biaya produksi.
1. Harga
Dari
semua indikator kelangkaan, nampaknya harga menjadi indikator paling
banyak dipakai meskipun belum bisa menggambarkan keseluruhan
pengorbanan. Perubahaan kelangkaan terukur melalui harga merupakan
konsep ekonomi bukan konsep fisik. Harga sebagai indikator kelangkaan
antara lain :
a. Perubahan kelangkaan yang terukur melalui harga merupakan konsep ekonomi bukan konsep fisik.
b. Proses
pemanfaatan sumber daya alam dan energi diukur kelangkaannya melalui
gerakan harga, terutama kaitannya dengan kemungkinan substitusi antar
faktor produksi.
c. Indeks harga sebagai ukuran kelangkaan.
2. Biaya produksi
Biaya
produksi sebenarnya hanya merupakan salah satu bagian dari keseluruhan
biaya dalam pemanfaatan sumber daya alam dan energi. Untuk melihat
kelangkaan dari segi biaya seharusnya dilihat pula bagaimana sewa dan
biaya lingkungan. Namun karena sulitnya memperoleh data sewa dan biaya
lingkungan, maka biaya produksi sering dipergunakan sebagai indikator
produksi.
Teknologi
telah pula dipercaya manusia untuk mengatasi persoalan ini. Pada
prinsipnya teknologilah yang mendasari setiap usaha untuk menghindari
adanya kelangkaan sumber daya alam dan energi. Proses perkembangan
teknologi tidak akan pernah berhenti baik secara kebetulan maupun memang
dicari karena desakan keadaaan misalnya kelangkaan sumber daya alam dan
energi. Kemajuan teknologi dalam bidang geologi, foto udara, survei
tanah, survei hutan, survei hidrologi, penginderaan jarak jauh dan
lain-lain memungkinkan dapat dijangkaunya lokasi sumber daya alam dan
energi. Inovasi teknologi memang sampai saat ini terbukti mampu
mengatasi sebagian masalah kelangkaan atau paling tidak menghambat
proses percepatan kelangkaan. Selain membantu proses penemuan cadangan
baru, teknologi juga mampu membantu proses substitusi dalam produksi.
Saat
ini teknologi daur ulang berkembang pesat dalam mengolah sisa-sisa
produksi dan konsumsi sehingga tidak terbuang percuma dan mengotori
lingkungan. Daur ulang memungkinkan dihematnya penggunaan sumber daya
alam dan energi asli sehingga jika sumberdaya alam dan energi asli
memang langka, penghematan tersebut sangat diperlukan. Perkembangan
substitusi sumberdaya alam dan energi baik dalam produksi maupun
konsumsi sangat membantu proses pelambatan kelangkaan. Contoh: perbaikan
transportasi umum mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga bisa
menghemat energi (Yuna, 2010).
2.5 Pengelolaan Sumber Daya Alam
Bagi
Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan
strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai "bangsa".
Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara
terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state)
Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara
kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan
sosial-budayanya. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis
menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau
keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Ketergantungan
dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman
hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah
masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di
daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang
saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun
dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian
dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan
tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah
mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan
sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
Batasan ini mengacu pada "Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat
Nusantara" tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas
yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam,
kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat
yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Keberagaman
sistem-sistem lokal tersebut bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip
kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh
komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain: 1)
Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan
hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang
harus dijaga keseimbangannya; 2) Penguasaan atas wilayah adat tertentu
bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama
komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga)
sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk
keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi
pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem
kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya
eksploitasi berlebihan atas lingkungan lokal; 3) Sistem pengetahuan dan
struktur pengaturan ('pemerintahan') adat memberikan kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan; 4) Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk
mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik
oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) Mekanisme
pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang
bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat (Nababan,
2003).
Macam
dan karakterisasi sumberdaya tidak hanya menggambarkan bagaimana
pentingnya sumberdaya tersebut tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana sebaiknya sumberdaya itu dikelola agar memenuhi kebutuhan
ummat manusia tidak hanya masa kini, tapi juga masa yang akan datang.
Ada 4 (empat) hal yang perlu dicatat dalam mengelola SDA :
1. Biaya pengambilan atau penggalian semakin tinggi dengan semakin menipisnya persediaan SDA tersebut.
2. Kenaikan
dalam biaya pengambilan atau penggalian SDA akan diperkecil dengan
diketemukannya deposit baru serta adanya teknologi baru.
3. Sebidang
tanah tidak hanya bernilai tinggi karena adanya sumberdaya mineral yang
terkandung di dalamnya, tetapi juga karena adanya opportunity cost berupa keindahan alam.
4. Perlu
diingat dan dibedakan antara penggunaan sumberdaya yang bersifat dapat
dikembalikan lagi dan penggunaan sumberdaya yang tak dapat dikembalikan
ke keadaan semula (irreversible).
Sumberdaya
yang menjadi perhatian utama dalam literatur ekonomi lingkungan adalah
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu alokasi yang
dinamik dari waktu ke waktu adalah penting untuk menjamin alokasi
sumberdaya yang berkelanjutan, diikuti dengan upaya-upaya lain yang bisa
menekan kehabisan sumberdaya. Disamping usaha alokasi yang
berkelanjutan tersebut, kelangkaan sumberdaya mempunyai peluang untuk
diatasi yaitu paling tidak melalui 4 cara yaitu :
1) eksplorasi dan penemuan
2) kemajuan teknologi
3) penggunaan sumberdaya substitusi dan
4) pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycling) (Kukuh, 2010).
Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebenarnya bukan hal baru di
Indonesia. Keragaman masyarakat, kondisi geografis serta melalui proses
panjang pengalaman empirik telah mendorong masyarakat membangun cara dan
aturan (adat) yang khas khususnya dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut
juga menunjukkan hubungan yang khas antara masyarakat dan alam
lingkungannya baik secara jasmani maupun rohani.
Keselarasan
atau harmoni hubungan manusia dan alam lingkungan menjadi kunci dalam
pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Secara tradisional hubungan
tersebut meliputi multi aspek: sosial (termasuk religi), ekonomi dan
ekologi. Hal tersebut tercermin dari cara dan aturan yang terbangun
dalam pengelolaan hutan. Aspek sosial dan ekonomi lebih banyak
diperlihatkan melalui struktur dan lembaga pengelolaan hutan, sistem
penguasaan dan pemanfaatan lahan dan hutan. Sedangkan aspek ekologis
dapat dilihat melalui aturan adat atau hukum adat dalam pengelolaan
maupun pemanfaatan sumber daya hutan serta pembagian kawasan menurut
fungsinya (Indradi, 2009).
Seluruh
kawasan hutan terbagi ke dalam 3 (tiga) fungsi pokok yaitu konservasi,
lindung dan produksi, sehingga wilayah pengelolaan hutan tingkat unit
pengelolaan (KPH) dapat terdiri dari salah satu atau lebih dari satu
fungsi pokok tersebut. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan adalah
serangkaian proses perencanaan atau penyusunan desain kawasan hutan yang
didasarkan atas fungsi pokok dan peruntukannya yang bertujuan untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Tujuan
pembentukan kesatuan pengelolaan hutan adalah untuk menyediakan wadah
bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan
lestari. Pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan apabila seluruh
kawasan hutan terbagi ke dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dimana
KPH menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional,
provinsi dan kabupaten atau kota.
Wilayah
pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan hutan adalah kesatuan
pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya, yang
dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
(KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKm), Kesatuan
Pengelolaan Adat (KPHA) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Daerah Aliran
Sungai (KPDAS). Satu KPH dapat terdiri dari lebih dari satu fungsi pokok
apabila terdapat kawasan hutan dengan fungsi pokok tertentu yang tidak
layak dijadikan 1 (satu) unit KPH maka digabung dengan unit KPH yang
terdekat. Berdasarkan fungsi pokoknya, maka seluruh kawasan hutan akan
terbagi habis ke dalam 3 (tiga) bentuk unit KPH yaitu KPHK, KPHL dan
KPHP (BPKH, 2010).
2.6 Eksternalitas
Eksternalitas
merupakan suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu
terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang
merugikan. Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia
yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Menurut pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul
karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya
yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya
publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan
keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights)
tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik,
maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau
ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan
terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects. Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara (Cholse, 2009).
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects. Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara (Cholse, 2009).
Adapun jenis-jenis eksternalitas antara lain:
1.Eksternalitas Produsen-produsen
Seorang
produsen dapat menimbulkan eksternalitas pasitif ataupun aksternalitas
negatif terhadap produsen lainnya. Contoh eksternalitas positif misalnya
adalah tindakan seorang produsen contoh: (1) melatih tenaga kerjanya.
(2) menerima eksternalitas positif karena bisa memperoleh tenaga kerja
terdidik tanpa harus memberikan pendidikan pada tenaga kerja tersebut.
Dalam hal ini,eksternalitas positif yang ditimbulkan karena penggunan
faktor produksi. Produsen A dan B dalam aktifitas mereka menggunakan
faktor faktor produksi, misalnya saja modal (K) dan tenaga kerja (L).
2.Eksternalitas Produsen-Konsumen
Aktivitas
seseorang produsen dapat pula menimbulakan efek terhadap utilitas
individu tanpa mendapat suatu kompensasi apapun juga. Misalkan saja
suatu pabrik yang mengeluarkan asap yang menyebabkan polusi udara. Udara
kotor tersebut terpaksa dihirup oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
pabrik sehingga menyebabkan utilitas mereka untuk tinggal disekitar
pabrik turun. Dalam hal ini pabrik tidak memberikan ganti rugi dalam
bentuk apapun juga kepada masyarakat dan pabrik tersebut akan
meningkatkan tingkat produksi di mana harga barang produksi sama dengan
biaya marjinal.
3.Eksternalitas Konsuman-Produsen
Misalnya,
seorang setiap hari makan nasi dan sisanya di buang ke dalam sungai
aliran sungai tersebut masuk kedalam kolam sehingga ikan dalam kolam
tersebut menjadi cepat besar tanpa pemilik kolam tersebut memberi makan
lagi kepada ikan ikannya. Berdasarkan hal tersebut maka pemilik kolam
yang menghasilkan ikan menerima manfaat eksternalitas positif dari
tindakan konsumen yang makan nasi tersebut.
4.Eksternalitas Konsumen-Konsumen
Aktifitas
seseorang dapat secara langsung mempengaruhi tingkat kepuasan/utilitas
orang lain tanpa ada suatu kompensasi (dalam hal eksternalitas positif)
atau biaya (dalam hal eksternalitas negatif) apapun juga. Eksternaltas
konsumen-konsumen ini tidak banyak mendapat perhatian para ahli ekonomi
lingkungan karena tidak ada pengaruh yang nyata dalam perekonomian.
Eksternalitas konsumen konsumen dapat di bedakan dampaknya antara dampak
fisik dan kejiwaan (psychic).
Misalnya seorang pengendara sepeda montor yang mengeluarkan asap tebal
dan menyebabkan orang orang disekitar menjadi sesak napas dampak inilah
yang disebut dampak fisik. Dampak kejiwaan menyangkut masalah perasaaan.
Misalnya seorang yang merasa tidak senang atau iri karena melihat
tetangganya mempunyai mobil mewah rasa kejiwaan adalah rasa tidak
langsung mempengaruhi keadaan seseorang kerena aktivitas konsumsi orang
lain (Kurniawanceis, 2010).
2.7 Sumber Daya Hutan
Hutan
dapat didefinisikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga
dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu. Hutan
merupakan sumber daya biologis yang terpenting di atas bumi dengan
sifat-sifat sebagai berikut:
a. Hutan
merupakan tipe tumbuhan yang terluas didtribusinya dan mempunyai
produktivitas biologis yang tertinggi dengan luas areal sekitar 22% dari
luas daratan di bola bumi ini, walaupun ada kecenderungan untuk semakin
berkurang.
b. Hutan
mencakup kehidupan seperti tumbuhan dan hewan, serta bukan kehidupan
seperti sinar, air, panas, tanah dan sebagainya yang bersama-sama
membentuk struktur biologis dan fungsi kehidupan.
c. Regenerasi
hutan sangat cepat dan kuat dibanding dengan sumber daya alam lainnya.
Permudaan hutan dapat secara alami maupun dengan campur tangan manusia.
d. Hutan
di samping menyediakan bahan mentah bagi industri dan bangunan, juga
melindungi dan memperbaiki kondisi lingkungan dan ekologi.
Sifat
hutan tersebut cukup unik bila dibandingkan dengan sumber daya alam
lainnya, sebab selain sebagai sumber produksi kayu, hutan juga mempunyai
berbagai fungsi, yaitu:
a. Menyediakan
hasil hutan (kayu dan nonkayu) untuk keperluan masyarakat pada umumnya
dan khususnya untuk keperluan pembangunan industry dan ekspor sehingga
menunjang pembangunan ekonomi daerah dan pembangunan ekonomi nasional
pada umumnya.
b. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah.
c. Melindungi suasana iklim dan member daya pengaruh yang baik, seperti udara bersih dan segar.
d. Memberikan
keindahan alam pada umunya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka
margasatwa, taman perburuan dan taman wisata, serta sebagai
laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata.
Berdasarkan fungsinya, hutan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Hutan
lindung adalah kawasan hutan yang karena sifat-sifat alamnya
diperuntukkan guna pengaturan tata air dan pencegahan bencana banjir dan
erosi, serta untuk pemeliharaan kesuburan tanah.
b. Hutan
produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil
hutan untuk keperluan masyarakat pada umunya dan khususnya untuk
pembangunan, industry dan ekspor. Hutan produksi dapat dibagi menjadi
hutan produksi penebangan terbatas dan hutan produksi penebangan bebas.
c. Hutan
suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas
diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati lainnya.
d. Hutan
wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk
dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau perburuan.
Penggunaan
hutan untuk produksi kayu cukup penting bagi pertumbuhan industri dan
sebagai penghasil devisa bagi negara. Agar pengelolaan sumber daya hutan
dapat dilaksanakan secara maksimal dengan berlandaskan asas
kelestarian, maka hutan seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah, baik
pusat maupun daerah. Kepada pihak swasta diberikan hak pengusahaan
hutan (HPH) dengan pengertian bahwa pemegang HPH tersebut berkewajiban
menjaga fungsi hutan dan melindunginya. Prinsip yang dipegang dalam
mengeksploitasi hutan adalah menggunakan biaya yang seminimal mungkin
untuk mendapatkan hasil yang tertentu tanpa merusak kelestariannya
(Suparmoko, 2008).
2.8 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Masyarakat (community)
adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang
terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati bersama
oleh kelompok yang bersangkutan. Berdasarkan pada tipologinya,
masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah yang
berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan
masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan.
Lembaga
adalah wadah dimana sekumpulan orang berinisiatif untuk memenuhi
kebutuhan bersama, dan yang berfungsi mengatur akan kebutuhan bersama
tersebut dengan nilai dan aturan bersama. Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang
berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi
kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Pihak yang terlibat dalam proses
pengembangan lembaga masyarakat desa hutan ini adalah: seluruh anggota
dan pengurus dari LMDH, pemerintah daerah (desa sampai kabupaten), pihak
yang terkait sesuai dengan kebutuhan (dinas/instansi terkait), pihak
yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan lembaga (investor,
perguruan tinggi, LSM), dan fasilitator yang dapat dipilih dari
masyarakat sendiri atau pihak luar (Awang, 2008).
BAB 3. HASIL PRAKTEK LAPANG
3.1 Lingkup Agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mitra Usaha yang terletak di Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan merupakan salah satu lembaga yang mengelola hutan di
wilayah tersebut. Potensi hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan sangat
besar sehingga pemerintah bekerja sama dengan LMDH Mitra Usaha untuk
mengelola potensi hutan tersebut bersama masyarakat. Terdapat beberapa
subyek agraria yang mengelola potensi hutan di wilayah tersebut, antara
lain pemerintah, swasta dan komunitas. Pemerintah merupakan pemilik
sekaligus pengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
tersebut. Peran pemerintah dilakukan oleh pihak Perhutani, sedangkan
pihak swasta adalah mitra kerja yang bekerja sama dengan LMDH Mitra
Usaha dan Perhutani dalam mengelola sumber daya hutan tersebut, dan
komunitas yaitu LMDH Mitra Usaha sebagai pengelola sumber daya hutan di
Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan, dimana LMDH memiliki beberapa kelompok
pekerja yang beranggotakan masyarakat Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Pengelolaan
sumber daya hutan oleh LMDH Mitra Usaha dilakukan dengan pembagian
lahan kepada kepala keluarga atau masyarakat setempat seluas 25 m x 100
m. Pembagian lahan tersebut menunjukkan bahwa jenis agraria yang
diterapkan pada LMDH Mitra Usaha adalah tipe populis, yaitu dikuasai
atau dikelola oleh masing-masing rumah tangga komunitas. Pembagian lahan
tersebut merupakan salah satu hubungan teknis yang terjadi antara pihak
LMDH dan masyarakat setempat sebagai anggotanya. Lahan-lahan tersebut
akan diberi petok atau tanda yang menunjukkan batas lahan antara pemilik
satu dan lainnya. Petok tersebut berupa batu-batu yang disusun
sedemikian rupa di tepi sudut lahan, sehingga antara satu pemilik lahan
dan lainnya tidak akan berebut lahan karena sudah terdapat pembagian
lahan secara jelas. Bukti hubungan teknis lainnya antara LMDH dan
Perhutani ataupun LMDH dengan pihak swasta didasarkan pada surat
perjanjian kerja sama dimana tercantum jelas pembagian sharing keuntungan dalam pengelolaan sumber daya hutan tersebut.
Hubungan
teknis yang berlangsung pada subjek-subjek agraria di Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan berlangsung baik dimana akhirnya mempengaruhi hubungan
sosial yang terjadi pada subjek-subjek agraria tersebut. Hubungan
sosial subjek agraria di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan pada dasarnya
baik. Hubungan sosial LMDH Mitra Usaha dengan Perhutani yaitu
sebagai mitra kerja sangatlah baik karena terdapat dalam surat
perjanjian kerja sama yang telah disepakati bersama, sehingga tidak
pernah terdapat konflik antara LMDH Mitra Usaha dengan pihak Perhutani.
Sedangkan hubungan sosial LMDH Mitra Usaha dengan pihak swasta juga
sangat baik dimana LMDH Mitra Usaha juga memiliki surat perjanjian kerja
sama dengan pihak swasta yang bekerja sama dalam mengelola hutan
sehingga tidak pernah terjadi konflik antara kedua subjek agraria
tersebut. Selanjutnya, hubungan sosial LMDH Mitra Usaha dengan
masyarakat setempat sebagai anggota dari LMDH Mitra Usaha tersebut juga
sangat baik. Hal tersebut dikarenakan terdapat aturan-aturan yang jelas
dalam tubuh LMDH Mitra Usaha yang tercantum dalam Anggaran Dasar Rumah
Tangga (AD-ART) LMDH Mitra Usaha di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu, sehingga dapat menggambarkan
hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam
pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya.
selain itu subyek agraria berhubungan atau berinteraksi satu sama lain
secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria
tertentu yang digunakan untuk menggambarkan hubungan sosial agraris yang
menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam
rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini
berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan
pemanfaatan lahan.
Berdasarkan hubungan sosial dan hubungan teknis dalam mengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tersebut, maka dapat digambarkan struktur agrarian sebagai berikut:
Berdasarkan hubungan sosial dan hubungan teknis dalam mengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tersebut, maka dapat digambarkan struktur agrarian sebagai berikut:
Gambar
di atas menunjukkan bahwa LMDH Mitra Usaha memiliki hubungan sosial
dengan pihak Perhutani dan pihak swasta dalam mengelola sumber daya
hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Sedangkan pihak swasta memiliki
hubungan sosial dengan pihak Perhutani dan LMDH Mitra Usaha, dan pihak
Perhutani memiliki hubungan sosial dengan pihak swasta dan LMDH Mitra
Usaha. Selain hubungan sosial tersebut, LMDH Mitra Usaha memiliki
hubungan teknis dengan sumber daya hutan yang dikelola. Begitu pula
dengan pihak Perhutani ataupun pihak swasta, mereka juga memiliki
hubungan teknis dengan sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan
Wuluhan.
Hubungan
teknis dan hubungan sosial yang berlangsung di antara masing-masing
subjek agraria tersebut berlangsung baik sehingga tidak pernah terdapat
konflik. Hal tersebut didukung dengan adanya surat perjanjian kerja sama
dan aturan-aturan yang terdapat di tubuh LMDH Mitra Usaha sebagai pihak
yang kami teliti. LMDH Mitra Usaha memiliki aturan yang wajib ditaati
oleh seluruh anggotanya.
Adapun beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh anggota LMDH Mitra Usaha adalah:
1. Membantu mensukseskan pelaksanaan program lembaga.
2. Membayar iuran anggota
Iuran
pangkal anggota yaitu sebesar Rp 25.000,00 sedangkan iuran anggota LMDH
Mitra Usaha yaitu Rp 50.000,00 per tahun. Selain itu, aturan yang
terdapat dalam LMDH Mitra Usaha adalah pembayaran modal dasar Rp
80.000,00 ketika masyarakat atau anggota LMDH Mitra Usaha mendapat
pembagian lahan untuk satu periode yang mana satu periode tersebut
adalah 3 tahun. Ketentuan atau aturan-aturan tersebut telah disepakati
bersama oleh masyarakat yang ingin menjadi anggota LMDH Mitra Usaha.
Aliran manfaat untuk pengelolaan hutan yang menjadi milik masyarakat
atau kepala keluarga murni menjadi milik keluarga tersebut, sedangkan
aliran manfaat yang berasal dari iuran anggota ataupun iuran pangkal
anggota digunakan untuk:
Tabel 3.1 Distribusi Aliran Manfaat Iuran Anggota/Iuran Pangkal Anggota
No
|
Penerima
|
Prosentase
|
1
|
Pemerintah desa (disetor ke kas desa)
|
5%
|
2
|
LSM Pendamping
|
10%
|
3
|
BOP LMDH
|
20%
|
4
|
Dana sosial
|
10%
|
5
|
Beasiswa
|
5%
|
6
|
Anggota
|
10%
|
7
|
Pengurus
|
20%
|
8
|
Pengurus setelah purna tugas
|
10%
|
9
|
Kebutuhan sarana prasarana
|
10%
|
Sumber :
Berdasarkan
tabel di atas, terlihat bahwa distribusi terbanyak diberikan untuk BOP
LMDH dan pengurus LMDH Mitra Usaha. Distribusi aliran manfaat tersebut
oleh masyarakat anggota LMDH Mitra Usaha dikatakan sudah adil. Hal
tersebut dikarenakan pengelolaan lahan yang diberikan pihak LMDH Mitra
Usaha kepada masyarakat dikelola oleh masing-masing keluarga sehingga
seluruh keuntungan pengelolaan tersebut menjadi milik anggota kelurga
tersebut. Sedangkan untuk distribusi aliran manfaat yang berasal dari
iuran anggota dan iuran pangkal anggota telah sesuai dengan AD-ART LMDH
Mitra Usaha yang tentunya telah disepakai bersama oleh anggota lembaga
tersebut.
3.2 Kondisi SDM di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
Sumber
daya manusia merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumber
daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Wilayah tersebut hanya
memiliki satu suku atau etnis mayoritas yaitu suku Jawa yang mayoritas
masyarakatnya adalah pendatang. Sumber daya manusia di Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan berasal dari berbagai wilayah yaitu Kediri,
Bojonegoro, Trenggalek dan wilayah lainnya. Kedatangan mereka
dikarenakan adanya asumsi bahwa wilayah Jember adalah wilayah yang
terkenal subur, sehingga mereka pun berdatangan ke Kabupaten Jember,
khususnya Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Struktur
sosial masyarakat di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan yaitu terdapat
tokoh agama atau ulama, tokoh masyarakat, dan tokoh politik. Tokoh
masyarakat di wilayah ini adalah seseorang yang purna tugas sebagai
pendidik dan dihormati oleh sebagian besar masyarakat di Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan. Sedangkan tokoh ulama atau agama adalah seorang kiai,
dan tokoh politik adalah seseorang yang bergerak di bidang politik
sehingga dihormati oleh masyarakat setempat.
Pengelolaan
sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan dipegang oleh pihak
Perhutani, pihak swasta dan LMDH Mitra Usaha yang didalamnya terdapat
masyarakat Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan sebagai anggotanya. Bentuk
kerja sama antara pihak swasta dengan LMDH Mitra Usaha yakni apabila
pihak swasta memiliki proyek seperti penanaman sengon dan tanaman jarak,
pihak swasta tersebut akan bekerja sama dengan LMDH Mitra Usaha yang
kemudian LMDH Mitra Usaha melibatkan tenaga-tenaga kerja yang tergabung
dalam kelompok tenaga kerja dalam struktur organisasi lembaga. Sedangkan
bentuk kerja sama antara Perhutani dengan LMDH Mitra Usaha yakni berupa
fasilitas berdirinya lembaga hingga ke notaris. Namun, Perhutani tidak
memberikan bantuan secara nominal.
Peran
masyarakat sekitar dalam pengelolaan sumber hutan sangatlah baik,
dimana pengelolaan sumber daya hutan tersebut murni dilakukan oleh
masyarakat setempat. Pembagian lahan yang jelas terhadap masing-masing
anggota LMDH Mitra Usaha dan pemberian hak penuh terhadap pengelolaan
lahan tersebut merupakan salah satu metode yang baik untuk mengurangi
pengelolaan sumber daya hutan yang negatif. Hal itu dikarenakan
pengelolaan sumber daya hutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama
antara semua pengelola sumber daya hutan, sehingga hal-hal negatif
seperti eksplotasi sumber daya hutan, pencurian hasil hutan dan lainnya
dapat diminimalisir. Apabila terdapat penyimpangan dalam pengelolaan
sumber daya hutan tersebut, belum ada hukuman yang jelas secara lembaga,
hanya terdapat hukuman moral yang diberikan oleh masyarakat lainnya di
Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tersebut. Hukuman moral berupa bahan
gunjingan antar masyarakat setempat. Namun, apabila anggota LMDH Mitra
Usaha berprestasi terhadap pengelolaan hutan, seperti memiliki produksi
yang baik akan mendapat penghargaan berupa penambahan lahan oleh pihak
LMDH Mitra Usaha terhadap masyarakat tersebut.
1. Tugas Ketua
a. Memimpin pertemuan atau rapat
b. Membagi tugas
c. Mewakili kelompok
d. Membimbing anggota
e. Memelihara kerja sama
f. Mempertanggungjawabkan laporan kegiatan pada pertemuan anggota
g. Bertanggung jawab mengurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan eksternal dan internal lembaga
2. Tugas Ketua 1
a. Membantu melaksanakan tugas-tugas ketua
b. Bertanggung jawab mengurusi urusan yang berkaitan dengan internal lembaga
c. Melaksanakan tugas ketua apabila yang bersangkutan berhalangan hadir dalam satu rapat atau pertemuan
3. Tugas Sekretaris
a. Membuat catatan daftar anggota
b. Mengadakan buku anggota dan atau kartu anggota
c. Inventarisasi harta lembaga
d. Bertanggung jawab terhadap secretariat lembaga
e. Mengerjakan surat menyurat
f. Menyusun laporan kegiatan
g. Melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua
4. Tugas Bendahara
a. Bersama ketua dan sekretaris membuat kebutuhan keuangan dan atau menyusun anggaran pendapatan dan belanja lembaga
b. Mencatat dan menerima simpanan anggota
c. Mencatat kebutuhan sarana dan prasarana produksi lembaga
d. Menyusun laporan keuangan lembaga
e. Bendahara bertanggungjawab pada seluruh pemasukan dan pengeluaran keuangan lembaga
f. Melakukan tugas yang diberikan oleh ketua
5. Tugas Seksi-seksi
a. Seksi
perencanaan, bertanggung jawab dalam perencanaan kegiatan lembaga
dimulai dari observasi potensi tanah yang tersedia, perencanaan bibit
tanaman, perencanaan perolehan hasil dan perencanaan pemasaran.
b. Seksi
sarana dan prasarana, bertanggung jwab terhadap penyediaan sarana dan
prasarana yang diperlukan dalam kegiatan lembaga baik yang bersifat
teknis maupun non teknis.
c. Seksi
keamanan hutan, bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan dan
keamanan hutan maupun tanaman yang diusahakan oleh lembaga dari segala
macam bentuk gangguan antara lain penjarahan, pencurian, penebangan liar
maupun gangguan lain yang dapat mengancam kelestarian dan keamanan
hutan.
d. Seksi humas, berkoordinasi dengan masyarakat dan sebagai fasilitator lembaga.
Seksi-seksi
yang terdapat dalam struktur LMDH Mitra Usaha memiliki kelompok pekerja
(Pokja) yang masing-masing memiliki anggota. Adapun syarat untuk
menjadi anggota LMDH Mitra Usaha adalah haruslah masyarakat Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan dengan bukti KTP Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan dan
berdomisili di Desa Lojejer sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
berturut-turut.
3.3 Kondisi SDA di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
Kondisi
sumber daya hutan pada LMDH Mitra Usaha di Desa Lojejer Kecamatan
Wuluhan tergolong baik dimana memiliki lahan yang cukup subur dan
berbagai varietas tanaman. Pengelolaan sumber daya hutan di wilayah ini
diserahkan sepeuhnya kepada masyarakat setempat. Masyarakat memfungsikan
lahan hutan tersebut untuk budidaya palawija, selain satu tanaman pokok
yang wajib ditanam dari Perhutani yaitu tanaman jati. Pengelolaan
sumber daya hutan tersebut pasti menimbulkan dampak bagi masyarakat
ataupun lingkungan sekitar wilayah hutan. Dampak yang ditimbulkan
terhadap masyarakat setempat adalah dampak positif dimana pengelolaan
sumber daya hutan tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
setempat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Selain itu, dampak lainnya adalah
masyarakat anggota LMDH Mitra Usaha merasa terwadahi dengan adanya
lembaga tersebut dalam hal pengelolaan sumber daya hutan di wilayah
tersebut. Sedangkan dampak terhadap lingkungan yaitu sebagai daerah
resapan air hujan sehingga tidak sampai menimbulkan bencana banjir.
Wilayah
ini merupakan wilayah subur dimana berbagai macam tanaman dapat tumbuh
dan termasuk wilayah yang aman. Aman disini dapat diartikan bahwa ketika
musim penghujan turun, tidak sampai menimbulkan banjir dan ketika musin
kemarau datang, tidak sampai menimbulkan kekeringan pada beberapa mata
air. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan tidak pernah terjadi
kelangkaan di wilayah hutan Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan ini. Namun,
hal tersebut tidak membuat pengelolaan hutan di wilayah ini tanpa
kendala atau penyimpangan. Terdapat beberapa kendala ataupun
penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan di Desa
Lojejer Kecamatan Wuluhan. Kendala tersebut adalah adanya orang ketiga
dalam pencurian kayu yang terorganisir. Orang ketiga tersebut adalah
mandor yang bekerja di Perhutani. Sedangkan penyimpangan dilakukan oleh
pihak masyarakat yang memfungsikan jalur lintas selatan yang masih
terbengkalai. Jalur lintas selatan tersebut difungsikan oleh masyarakat
untuk berbudidaya tanaman-tanaman palawija padahal lahan tersebut
bukanlah lahan milik mereka melainkan lahan milik pihak swasta yang
memiliki proyek pembuatan jalur lintas selatan tersebut. Adanya kendala
oleh pihak internal Perhutani diatasi dengan pemberian sanksi oleh pihak
internal Perhutani itu sendiri, sedangkan untuk penyimpangan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat diatasi dengan pemberian sanksi moral
berupa teguran ataupun gunjingan oleh masyarakat lainnya.
Terdapat
nilai budaya dalam pengelolaan sumber daya hutan di Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan, yaitu adanya tasyakuran pada saat masyarakat anggota
LMDH Mitra Usaha akan membuka lahan untuk berbudidaya. Selain itu,
pengelolaan sumber daya hutan pada LMDH Mitra Usaha ini dilakukan dengan
cara pengundian bagi kepala keluarga yang belum pernah mendapatkan
lahan. Lahan yang telah dimiliki tidak boleh dipindahtangankan. Apabila
pemilik lahan meninggal maka lahan tersebut menjadi milik ahli waris.
Pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan yang ideal menurut pihak
LMDH Mitra Usaha adalah dengan adanya kerja sama dengan Perhutani
mengenai pembangunan dam atau bendungan yang digunakan untuk salah satu
cara penahan banjir ataupun pengorganisiran sumber daya air guna
meningkatkan produksi sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan
Wuluhan.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Simpulan
1. Lingkup
agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan meliputi
subjek, objek dan hubungan agraria tersebut. Subjek agraria meliputi
pihak pemerintah yaitu Perhutani, pihak komunitas yaitu LMDH Mitra
Usaha, dan pihak swasta. Sedangan objek agraria pada LMDH Mitra Usaha
adalah sumber daya hutan dan hubungan agraria yang terjadi adalah
hubungan teknis dan hubungan sosial. Jenis agraria pada LMDH Mitra Usaha
adalah tipe populis.
2. Kondisi
SDM di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan yang mengelola
sumber daya hutan berasal dari masyarakat Desa Lojejer Kecamatan
Wuluhan. Pengelolaan hutan murni dilakukan oleh masyarakat dan masih
terdapat nilai budaya dalam hal pembukaan lahan sebelum budidaya. SDM di
Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan merupakan pengurus LMDH Mitra Usaha.
3. Kondisi
SDA di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan yakni sumber
daya hutan oleh masyarakat ditanami dengan tanaman palawija dan satu
tanaman wajib oleh Perhutani yaitu tanaman jati. Kendala pengelolaan
dilakukan oleh pihak internal Perhutani dan diberikan sanksi internal
lembaga, sedangkan penyimpangan dilakukan oleh masyarakat dan diberikan
sanksi moral berupa gunjingan oleh masyarakat setempat.
4.2 Saran
1. Model
pengelolaan sumberdaya agraria hutan dengan melibatkan masyarakat
sekitar hutan merupakan suatu cara yang efektif untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat serta menjaga kelestarian sumberdaya hutan
sehingga model pengelolaan ini harus dipertahankan dan menjadi program
pokok pemerintah untuk jangka panjang.
2. Untuk
mengatasi penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pihak
perhutani maka perlu adanya hukuman yang jelas yang dibuat oleh LMDH
maupun Perhutani sehingga dengan adanya hukuman yang jelas tersebut akan
membuat masyarakat dan pihak Perhutani tidak berani mengulanginya
DAFTAR PUSTAKA
Awang, dkk. 2008. Panduan Pengelolaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Akses Online. Sumber: http://www.cifor.cgiar.org/lpf/docs/Panduan%20Pemberdayaan%20LMDH.pdf [10 Mei 2011].
BPKH. 2010. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Unit Pengelolaan (KPH). [serial online]. http://bpkh1.com/pembentukan-wilayah-pengelolaan-hutan-tingkat-unit-pengelolaan-kph. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2011.
Chalim. 2009. Kajian Agraria. [serial online]. http://dewichalim.wordpress.com/2009/09/10/kajian-agraria/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.
Cholse, Julian. 2009. Eksternalitas dan Macam-macam Barang. [serial online]. http://www.juliancholse.co.cc/2009/11/eksternalitas-dan-macam-macam-barang.html. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.
Indradi, Yuyun. 2009. Perjalanan Panjang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia. [serial online]. http://fwi.or.id/?p=56. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2011.
Kukuh. 2010. Daya Dukung Lingkungan terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam. [serial online]. http://iambigsmart.wordpress.com/2010/10/22/daya-dukung-lingkungan-terhadap-pengelolaan-sumber-daya-alam/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.
Kurniawanceis. 2010. Eksternalitas. [serial online]. http://kurniawanceis.wordpress.com/2010/06/27/eksternalitas/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.
Mustapit. 2011. Manajemen Sumberdaya (Perspektif Agraria): Modul Bahan Ajar. Jember: Universitas Jember (tidak dipublikasikan).
Nababan, Abdon. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan Dan Peluang. [serial online]. http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_psda_berb_ma_di_pplh_ipb.html. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.
Subadi. 2010. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Suparmoko. 2008. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta: BPFE.
Whennie,
Sasfira. 2009. Perubahan Struktur Agraria di Wilayah Daerah Aliran
Sungai (Studi Kasus: Desa Cibahayu Kecamatan Kadipaten, Kabupaten
Tasikmalaya). [serial online]. http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/06/perubahan-struktur-agraria-di-wilayah-daerah-aliran-sungai-studi-kasus-desa-cibahayu-kecamatan-kadipaten-kabupaten-tasikmalaya/. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2011.
Yuna, Gita. 2010. Kelangkaan Sumber Daya Alam. [serial online]. http://gietayonghwa.wordpress.com/2010/10/14/kelangkaan-sumber-daya-alam/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.
Zubaidah.
2007. Hubungan Faktor-Faktor Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja
Petugas Pokja Dbd Tingkat Kelurahan Di Kota Tasikmalaya. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat . Semarang: Universitas Diponegoro. Akses online : http://eprints.undip.ac.id/17714/1/Ida_Siti_Zubaedah.pdf [12 Mei 2011]
0 komentar: