Hukum Kenegaraan dan Perundang-Undangan
BAGIAN I
TEORI
KEKUASAAN, NEGARA HUKUM DAN KEDAULATAN
Hukum Kenegaraan adalah Hukum
yang mengatur terjadinya suatu negara, dasar suatu negara dan pemerintahannya.
A. Kekuasaan
Menurut Max
Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk
menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus
menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau
golongan-golongan tertentu. Sedangkan menurut Robert M. Mac Iver, kekuasaan
adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara
langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.
Kekuasaan
negara merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah),
baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang
kekuasaan (negara) itu sendiri. Kekuasaan negara merupakan satu-satunya pihak
berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan
paksaan.
Kekuasaan
politik negara tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari
warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan
untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratif
(eksekutif, legislatif, yudikatif, federatif, eksaminatif, inspektif,
konstitutif dan lain-lain).
Kekuasaan
negara dalam arti sosial lebih luas tinjauannya daripada dalam arti politik.
Hal ini terjadi karena kekuasaan negara tidak hanya berfokus pada negara,
tetapi juga pada cara mengendalikan tingkah laku sosial (masyarakat) agar
sesuai dengan tujuan negara.
Drs. H. Inu
Kencana Syafiie, M.Si. mendefinisikan kekuasaan sebagai hasil pengaruh yang
diinginkan seseorang atau sekelompok orang, sehingga dengan demikian dapat
merupakan suatu konsep kuantitatif, karena dapat dihitung hasilnya, seperti
berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa banyak orang yang berhasil
dipengaruhi, berapa lama yang bersangkutan berkuasa, serta berapa banyak uang
dan barang yang dimilikinya. Maka secara filsafat, kekuasaan dapat meliputi
ruang, waktu, barang, dan manusia.
Sesuai tinjauan
hukum tata negara, di mana negara dianggap sebagai organisasi kekuasaan, dan
organisasi itu merupakan tata kerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang
merupakan suatu keutuhan, tata kerja mana melukiskan hubungan serta pembagian
tugas dan kewajiban antara masing-masing alat kelengkapan negara guna mencapai
tujuan negara, pandangan negara sebagai organisasi kekuasaan juga terdapat
dalam aliran atau teori modern yang dikemukakan oleh Kranenburg dan Logemann,
maka selain persoalan tentang negara dan hukum, persoalan tentang legitimasi
kekuasaan juga diterima sebagai persoalan kenyataan pula, sehingga kesimpulan
akhir tidak lain adalah bahwa benar di dalam negara itu ada kekuasaan.
Pada tataran
lebih lanjut, maka lahirnya pertanyaan seperti tentang sumber kekuasaan, pemegang
kekuasaan, dan pengesahan kekuasaan. Ketiga perta nyaan ini sebenarnya
merupakan satu rangkaian pertanyaan yang satu sama lain saling berhubungan dan
bahkan tidak dapat dipisahkan, yaitu menanyakan tentang sumber atau asal
lahirnya suatu kekuasaan yang puncaknya berupa kekuasaan atau kedaulatan
tertinggi, di mana jawabannya merupakan suatu legitimasi atau pengesahan untuk
oleh dan bagi pemegang kekuasaan yang memperoleh kewenangan dan tanggungjawab
memegang kekuasaan atau kedaulatan tersebut.
B. Beberapa Cara Mendapatkan atau Memiliki
Kekuasaan, yaitu antara lain :
1.
Legitimate Power (pengangkatan) ; yaitu kekuasaan diperoleh melalui adanya
surat keputusan atasan atau pengangkatan atau pemilihan masyarakat banyak,
seperti penobatan seorang putera mahkota menjadi raja atau kaisar pada suatu
negara kerajaan, termasuk pada tatanan kenegaraan dewasa kini seperti
pengangkatan seorang menteri, camat, panglima tentara nasional, kepala
kepolisian, lalu juga pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota serta
sejenisnya. Dr. Talizi dan Prof. Pamudji membedakan hasil suatu pengangkatan
dengan pemilihan, di mana pengangkatan hanya menghasilkan seorang kepala,
sedangkan pemilihan menghasilkan seorang pemimpin, perbedaan antara keduanya
adalah bahwa seorang kepala belum tentu bisa memimpin, akan tetapi seorang
pemimpin sudah barang tentu juga seorang kepala.
2.
Coercive Power (kekerasan) ; yaitu kekuasaan diperoleh melalui cara
kekerasan dan kekuatan fisik, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan
bersenjata, yang sudah barang tentu di luar jalur konstitusional. Hal demikian
lazim disebut dengan istilah kudeta (coup d’etad). Karena cara ini
inkonstitusional, maka banyak kemungkinan yang terjadi setelah perebutan
kekuasaan, sebagian besar peraturan perundang-undangan negara akan berubah, dan
karena perubahan tersebut dilakukan secara mendadak, maka disebut juga dengan
istilah revolusi.
Revolusi-revolusi
besar yang menjadi sejarah perhatian dunia, di antaranya :
·
Jatuhnya Syah Iran ditandai dengan terusirnya Syah dan keluarganya, setelah
Imam Ayatullah Rohullah Khomeini tiba dari pengasingannya di Prancis.
·
Jatuhnya Presiden Niccolai Ceausescu dari Rumania ditandai dengan
demonstrasi besar-besaran dan pembantaian Ceausescu dan permaisurinya.
·
Jatuhnya kekaisaran Louis di Prancis, ditandai dengan penyerbuan ke penjara
Bastille dan pemotongan kepala raja sekeluarga.
Selain itu juga terdapat revolusi yang berjalan damai
tanpa banyak jatuh korban seperti :
·
Jatuhnya Presiden Ferdinand Marcos di Filipina oleh penggantinya Ny.
Corozon Aquino.
·
Jatuhnya kekuasaan rezim orde baru ‘Presiden Soeharto’ di Indonesia pada
bulan Mei 1998 oleh gerakan reformasi.
3.
Expert Power (keahlian) ; yaitu kekuasaan diperoleh melalui keahlian (ilmu
pengetahuan, skill professional, seni mempengaruhi, serta budi pekerti luhur)
yang dimiliki seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang
memiliki kekuasaan seperti ini berlaku di negara demokrasi, karena sistem
personalianya dalam memilih karyawan memakai merit sistem. Dalam pengisian
formasi administrasi kepegawaian dikenal motto ‘the right man on the right
place’, sehingga seseorang akan ditempatkan sesuai dengan proporsi dan
profesionalismenya. Apalagi bagi mereka yang memang dididik khusus untuk itu,
seperti penempatan dokter sebagai kepala rumah sakit, insinyur pada jabatan
teknis, tentara atau kepolisian pada jabatan keamanan dan alumni STPDN/IIP/PIN
sebagai camat.
Tetapi ada
kalanya yang berlaku dalam praktek adalah sebaliknya, yang menduduki suatu
jabatan bukanlah orang yang mampu. Penempatannya pada suatu jabatan oleh karena
pengaruh ‘pressure group’ atau pengisian jabatan oleh anggota keluarga pejabat
yang berwenang, sistem kepegawaian seperti ini disebut ‘spoil sistem’, sehingga
pada gilirannya kelompok elit pemerintahan terbentuk suatu ikatan primordial.
4.
Reward Power (pemberian) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui suatu
pemberian atau karena berbagai pemberian, pemberian dilakukan karena adanya
suatu jasa atau sebagai balasan jasa, termasuk biasa dapat diperoleh karena
kemampuan keuangan yang sangat cukup untuk ‘membeli’ suatu kekuasaan.
5.
Reverent Power (daya tarik) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui daya
tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa
seseorang ditentukan menjadi kepala yang kemudian menguasai keadaan, namun daya
tarik penampilan seperti postur tubuh dan wajah yang rupawan, dalam hal ini
termasuk kecantikan dan kelembutan wanita, dapat menentukan dalam mengambil
perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
Seperti banyak
orang yang tidak dapat memisahkan kekagumannya kepada Jenderal Charles de
Gaulle; antara postur tubuhnya yang gagah dan tinggi besar dengan kecerdasannya
mengepalai pemerintahan Prancis, begitu juga presiden XVI Amerika Serikat
Abraham Loncoln; menjadi lebih terkenal sejak memelihara jenggot yang menutupi
pipi cekungnya sebelah kiri, presiden XXXV Amerika Serikat John F. Kennedy yang
rupawan, juga memanfaatkan kecantikan Madam Merilyn Monroe yang memiliki ukuran
tubuh sempurna, untuk memenangkan pemilihan umum dalam kampanyenya di negara
adi kuasa tersebut.
Di Indonesia,
beberapa mantan presidennya juga dikenal memiliki daya tarik penampilan yang
khas seperti, Bung Karno dengan gingsulnya yang terlihat apabila tertawa dan
berpidato memperlihatkan kebolehannya sebagai orator ulung dunia, Pak harto
terkenal dengan senyumnya yang kebapakan walaupun beliau seorang tentara
sehingga disebut dengan ‘the smilling general’, termasuk Pak Habibie dengan
lesung pipit dan gerakan khas kepalanya yang menggambarkan kecerdasan
intetektual sains teknologi yang dimilikinya.
Selain kelima
hal di atas yang dikemukakan oleh J.R.P. French dan Bertram Raven, para pakar
lain juga menambahkan, yaitu :
6.
Information Power (informasi) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang begitu banyak memiliki keterangan sehingga orang lain membutuhkan
dirinya untuk bertanya, biasanya orang yang bersangkutan membatasi
keterangannya agar terus menerus dibutuhkan.
7.
Connection Power (relasi) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh karena seseorang
memiliki hubungan keterikatan tertentu dengan seseorang yang sedang berkuasa atau
memiliki wewenang, hal demikian biasa disebut dengan hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan (nepotisme)
Setelah
kekuasaan diperoleh, Strauss mengemukakan pendapat tentang bagaimana cara
memotivasi orang-orang untuk mau melaksanakan pekerjaan lebih giat, sesuai
dengan keinginan kepala (pemerintahan) yang memiliki kekuasaan, yaitu :
1.
be strong approach, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi bawahan dan masyarakat
dipergunakan cara paksa dengan keras.
2.
be good approach, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi bawahan dan masyarakat
dipergunakan cara pemanjaan.
3.
be competition, suatu
pendekatan di mana untuk memotivasi bawahan dan masyarakat dipergunakan usaha
mengadu mereka dalam berbagai jenis perlombaan, baik antar individu, group,
atau dengan organisasi / negara lain.
4.
internalized motivation, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi bawahan dan masyarakat
dipergunakan penanaman kesadaran kerja kepada mereka.
5.
implicit bargaining, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi bawahan dan masyarakat dipergunakan
cara dengan mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu.
C. Negara Hukum
1.
Pengertian Negara Hukum
@
Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum. dan Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.Hum. ;
negara hukum pada prinsipnya menghendaki segala tindakan atau perbuatan
penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik
berlandaskan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
@
Drs. Budiyanto ; negara hukum adalah negara yang melaksanakan kekuasaannya
(pemerintah beserta alat kelengkapan negaranya) berdasarkan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
@
Prof. Padmo Wahyono, S.H., ; suatu negara hukum yang ideal pada abad XX ini
adalah jika segala tindakan penguasa (negara) selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
@
Prof. R. Djokosutono, S.H. ; sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar
1945, negara hukum adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum,
hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut, negara merupakan subjek hukum
dalam arti Rechtsstaat (badan hukum publik). Dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 juga disebutkan “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat)”. Ini
mengandung arti bahwa negara dalam meletakkan aktivitasnya (penyelenggaraan
pemerintahan) tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka, tetapi harus
berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.
(catatan; sesuai dengan hasil amandemen Undang-Undang
Dasar 1945, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kini tidak
lagi memiliki bagian penjelasan, tetapi dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) jelas
disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”).
@
Sudargo Gautama ; bahwa dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan
kekuasaan negara terhadap perorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak
sewenang-wenang, tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.
@
Negara Hukum adalah Negara yang dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang bertujuan
meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan
bertanggung-jawab (UU No. 37 Tahun 2008; Ombudsman RI).
Teori tentang
berdirinya negara berdasar atas hukum, sudah dikenal sejak abad V SM (Yunani
Kuno). Gagasan mengenai negara hukum pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi
hak-hak asasi manusia. Secara teori maupun praktek, gagasan tentang negara
hukum mengalami kemajuan pesat sejak abad XV –XVIII.
Dalam selang
waktu itu, peristiwa renaissance dan reformasi di Eropa sangat berpengaruh
terutama di bidang kehidupan politik dan hukum. Hal ini dipelopori antara lain
oleh Hugo de Groot, Thomas Hobbes, Benedectus de Spinoza, John Locke,
Montesquieu, J.J. Rousseau, dan Immanuel Kant (1724-1804) yang dianggap sebagai
pelopor yang paling berjasa dalam meletakkan gagasan tentang ‘negara hukum
murni atau formal’.
Teori Immanuel
Kant tentang negara hukum murni atau formal menjadikan negara bersifat pasif
hanya untuk mempertahankan ketertiban dan keamanan negara (penjaga malam),
sedangkan dalam urusan sosial maupun ekonomi negara tidak boleh mencampurinya,
hingga lahirlah semboyan ‘Laissez Faire, Laissez Aller’ yaitu persaingan bebas
dalam bidang ekonomi, hingga muncullah istilah kapitalisme dalam ekonomi dan
liberalisme dalam bidang politik.
Dalam
prakteknya sekitar abad XIX, teori Kant yang banyak diterapkan di belahan
Eropa, Amerika dan Australia ini ternyata banyak melahirkan eksploitasi manusia
maupun alam, monopoli dan ‘free fight liberalism’, serta kesenjangan
sosial yang terus semakin melebar.
Pada
perkembangan lebih lanjut di akhir abad XIX, sebagai kritikan atas penerapan
teori Kant, Prof. Kranenburg memperkenalkan istilah ‘Welfare State’
(negara kesejahteraan). Teori ini dikenal dengan negara hukum material, karena
pandangannya yang menyatakan bahwa negara selain bertugas membina ketertiban
hukum, ia juga ikut bertanggungjawab dalam membina dan mewujudkan kesejahteraan
bagi rakyatnya, praktek teori ini banyak dianut oleh negara-negara berkembang
seperti Indonesia.
Dengan
demikian, pengertian negara hukum memang berbeda atau bahkan berlawanan dengan
pengertian negara kekuasaan. Dasar pemikiran negara hukum beranjak dari adanya
kebebasan rakyat (Liberte du Citoyen), bukan kebebasan negara (Gloire de
I‘etat). Tujuannya adalah untuk memelihara ketertiban hukum (rechtorde) dan
mengabdi kepada kepentingan umum yang berdasarkan kebenaran dan keadilan. Hukum
bersifat menentukan kekuasaan dan negara diabdikan untuk kepentingan rakyat.
2.
Prinsip, Unsur dan Ciri Negara Hukum
@
Immanuel Kant ; mengemukakan empat prinsip yang menjadi ciri negara hukum,
yaitu :
a.
pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia
b.
pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia
c.
pemerintah berdasarkan atas hukum, dan
d.
adanya pengadilan guna menyelesaikan masalah yang timbul akibat pelanggaran
hak asasi manusia
@
M. Kusnardi, S.H. dan H. Ibrahim, S.H. ; menyebutkan bahwa unsur-unsur
negara hukum dapat dilihat pada negara hukum dalam arti sempit maupun formil.
Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal dua unsur penting yaitu
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan. Sedangkan pada
negara hukum dalam arti formil, unsur-unsurnya mencakup antara lain :
a.
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b.
pemisahan kekuasaan
c.
setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada peraturan Undang-undang,
dan
d.
adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri
@
Prof. Paul Scholten ; mengemukakan bahwa unsur negara hukum yang utama adalah
adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum, dengan demikian asas
legalitas terdapat di negara hukum. Pelanggaran terhadap hak-hak individu hanya
dapat dilakukan apabila diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan,
sehingga setiap tindakan negara harus selalu berdasarkan hukum
@
Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum. dan Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.Hum. ;
mengemukakan beberapa ciri negara hukum, yaitu :
a.
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan
b.
peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu
kekuasaan atau kekuatan apapun
c.
legalitas dalam arti hukum dengan segala bentuknya
@
Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., Mcl. ; sesuai hasil simposium tentang
‘Indonesia Negara Hukum’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia pada tanggal 08 Mei 1966, maka ada tiga sifat atau ciri negara hukum
sebagaimana yang dianut oleh Indonesia yaitu :
a.
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan kebudayaan. Hal ini
berdasarkan atas ketentuan hukum
b.
peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuatan apa pun juga. Artinya, ada kekuasaan yang terlepas dari kekuasaan
pemerintah untuk menjamin hak-hak asasi sehingga hakim betul-betul memperoleh
putusan yang objektif dalam memutuskan perkara
c.
legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya, dengan ini suatu
tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan hukum
3.
Konsepsi Negara Hukum
Konsep negara
hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang
bersangkutan. Dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum dunia dapat
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem hukum Civil Law atau
Rechsstaat – Eropa Kontinental serta sistem hukum Common Law atau Rule of Law –
Anglo Saxon, sehingga kedua sistem itu seolah-olah membelah dunia hukum menjadi
dua kubu. Sedangkan dalam literatur keterkinian, selain menyebutkan kedua
sistem hukum tersebut, juga terdapat sistem hukum lain seperti sistem hukum
Islâm, sistem hukum Sosialis dan lain-lain.
Menurut Albert
Venn Dicey terdapat tiga kelompok negara yang terpengaruh oleh sistem hukum
yaitu: (1) kelompok negara yang dipengaruhi [seeded], (2) kelompok negara yang
diduduki, (3) kelompok negara yang ditaklukkan [conquered].
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa ada tiga
konsep negara hukum, yaitu rechsstaat, the rule of law, dan negara hukum
Pancasila. Dewasa ini menurut M. Tahir Azhari, dalam kepustakaan ditemukan lima
konsep negara hukum, yang masing-masing memiliki prinsip-prinsip utama yang
dianut, di mana satu dengan lainnya dapat ditemukan persamaan dan juga
perbedaannya, kelima konsep tersebut adalah :
a.
Nomokrasi Islâm
Nomokrasi
Islâm, adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan di negara-negara
Islâm. Istilah Nomokrasi Islâm adalah untuk menyebutkan konsep negara hukum
dari sudut pandang Islâm atau untuk lebih memperlihatkan kaitan negara hukum
itu dengan hukum Islâm yang sumber utamanya adalah al-Qur’ân dan Sunnah Rasul
Menurut Bambang
Sutiyoso, S.H., M.Hum. dan Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.Hum. Nomokrasi
Islâm adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip, yaitu antara
lain :
1)
prinsip kekuasaan sebagai amanah (QS. an-Nisâ : 58)
2)
prinsip musyawarah (QS. asy-Syuura : 38, Ali Imrân : 159)
3)
prinsip keadilan (QS. an-Nisa : 135, Al-Mâidah : 8)
4)
prinsip persamaan (QS. al-Hujurât : 13)
5)
prinsip pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (QS. al-Isra : 133, Qâf : 45, al-Bâqarah : 256)
6)
prinsip peradilan bebas (QS. an-Nisâ : 58)
7)
prinsip perdamaian (QS. al-Bâqarah : 190)
8)
prinsip kesejahteraan (QS. Sabâ : 15, Adz-Dzâriyât : 19)
9)
prinsip ketaatan rakyat (QS. an-Nisâ : 59)
Islâm tidak
hanya berisi ajaran tentang keimanan atau aqidah, ibadah serta moral belaka,
tetapi juga berisi ajaran tentang hukum sebagaimana dimaksud dalam konsep hukum
modern. Islâm juga mengajarkan masalah kekuasaan kehakiman yang pelaksanaannya
memerlukan kekuasaan negara. Oleh karena itu Islâm memerintahkan pembentukan
badan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (QS. an-Nisâ : 105, 135).
Penegakkan hukum tersebut diperlukan karena sifat dasar manusia yang antara
lain senang kepada hawa nafsu dan berpotensi untuk saling bermusuhan (QS. Ali
Imrân : 14, al-Kahfi : 54, dan Yâsin : 77).
Penyelenggaraan
penegakkan keadilan itu dibimbing oleh hukum materiil (substantive law) dan
hukum formil (procedure law), yang mempunyai hubungan amat erat satu sama lain.
Hukum materiil tidak mungkin dapat berdiri sendiri lepas dari hukum formil,
begitu pula sebaliknya. Maka al-Qur’ân dan Hadist di samping mengajarkan
asas-asas hukum materiil, juga mengajarkan asas-asas hukum formil.
Dalam Islâm,
peradilan itu merupakan tugas yang mulia dan agung, karena di dalam kekuasaan
peradilan terkandung “menyuruh ma’ruf dan
mencegah munkar”, “menyampaikan hak
kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang zalim untuk berbuat aniaya,
serta mewujudkan perbaikan umum”. Kekuasaan peradilan itu amat luas
bidangnya, baik menyangkut jiwa, barang-barang atau harta benda, kehormatan
atau martabat manusia dan lain sebaginya. Oleh karena itu Islâm memberikan
pedoman, agar para hakim dan peradilan tidak menyimpang atau menyeleweng dari
hal-hal yang sudah ditentukan dalam Islâm itu sendiri (QS. al-Mâidah : 49,
an-Nisâ : 58, 65).
b.
Konsepsi Civil Law atau Rechsstaat
Civil Law atau
Rechsstaat adalah konsep negara hukum yang diterapkan dan bertumpu pada
negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental (Sentralnya;
Jerman, Prancis, Belgia, Belanda dan Skandinavia). Pada tife ini yang berdaulat adalah hukum, sehingga hukum
memandang negara sebagai subjek hukum yang dapat dituntut bila melanggar hukum.
Selain itu sistem hukum Eropa Kontinental mengutamakan hukum tertulis, yaitu
dengan cara mengkodifikasikan peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama
sistem hukumnya.
Ide
tentang negara hukum rechtsstaat mulai popular pada abad XVII sebagai akibat
dari situasi sosial politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme raja.
Sehingga rakyat menginginkan suatu perombakan struktur sosial politik yang
tidak menguntungkan itu dengan suatu negara hukum yang liberal, agar setiap
orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan
masing-masing. Pemikiran dua tokoh terkemuka, yaitu Immanuel Kant dan Freidrich
Stahl cukup mewarnai konsep negara hukum ini, karena konsepnya yang sejak
semula didasarkan pada filsafat individualistik, maka ciri individualistik itu
sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum rechtsstaat ini.
Dalam sejarahnya tercatat enam pase perkembangan Civil
Law yaitu :
1)
Fase Formasi Hukum Romawi; Fase ini dimulai saat lahirnya sistem hukum
Eropa Kontinental yaitu krtika mulai diberlakukannya Undang-undang Dua Belas
Pasal (The Twelve Tables) di Romawi sekitar tahun 400 SM.
2)
Fase kematangan Hukum Romawi; Fase ini terjadi pada saat mulai berlakunya
kumpulan Undang-undang yang spektakuler di Romawi ketika berlakunya ‘Corpus
Juris Civilis’ yang dibuat atas supervisi raja Justinian di abad VI M.
3)
Fase Kebangkitan Kembali Hukum Romawi; Fase ini terjadi ketika timbulnya
semangat di Eropa untuk memahami dan menerapkan kembali hukum Romawi pada abad
XI M.
4)
Fase Resepsi Hukum Romawi; Fase ini terjadi ketika sistem hukum Romawi yang
disebut ‘Jus Commune’ diberlakukan di berbagai negara Eropa sejak awal
abad XVI M.
5)
Fase Kodifikasi Hukum; Fase ini terjadi ketika dibuat beberapa kodifikasi
di berbagai negara pada abad XiX M., seperti Code Napoleon di Prancis yang
terdiri dari Code Civil (Hukum Pedata), Code Penal (Hukum Pidana), Code Du
Commerce (Hukum Dagang), dan Code tentang Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana.
6)
Fase Resepsi Kodifikasi; Fase ini terjadi tidak lama setelah terciptanya
kodifikasi di Prancis yang ditandai dengan banyaknya negara di benua Eropa yang
memberlakukan Code Napoleon dengan beberapa penyesuaian, seperti ketika Prancis
menguasai Belanda (Tahun 1806–1813) Code Civil dan Code Du Commerce
diberlakukan di Belanda, bahkan selama 24 tahun setelah kemerdekaannya kedua
hukum peninggalan Prancis tersebut masih berlaku, walaupun sejak tahun 1814
Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS
Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.
KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824
sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat
sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi
pada tanggal 6 Juli 1838 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru
diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi
pemberontakan di Belgia yaitu :
a)
Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata-Belanda),
b)
Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang)
Kodifikasi ini
menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil
jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda
Belanda. Kemudian ketika Belanda menjajah Indonesia, Pada 31 Oktober 1837,
Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi
dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang
kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.
Kodifikasi KUHPdt. Hindia Belanda diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui
Staatsblad No. 23 dan remi berlaku berlaku menurut asas Konkordansi pada
Januari 1948.
c.
Konsepsi Common Law atau Rule of Law
Istilah Rule of
Law mulai popular dengan terbitnya buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885,
dengan judul ‘Introduction to The Study of The Law Constitution’, konsep
ini terutama berkembang dan diterapkan di negara Anglo Saxon (Sentralnya;
Inggris dan Amerika Serikat), tife ini bertumpu pada ‘the rule of law’ yang
menurut A.V. Dicey terbagi dalam tiga unsur pokok, yaitu :
1)
Supremacy of the law, yaitu hukum mempunyai kedudukan yang paling tinggi.
Pemerintah selaku penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, setiap
individu tanpa kecuali baik sebagai rakyat maupun sebagai penguasa harus tunduk
kepada hukum dan kalau bersalah harus dihukum, ciri khas supremacy of the law
adalah :
a)
hukum berkuasa penuh terhadap negara dan rakyat
b)
negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat negara, dan
c)
hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh ‘Supreme of Court’
(Mahkamah Agung)
2)
Equality before the law, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum. Rakyat maupun penguasa berhak mendapatkan perlindungan hukum
dan wajib pula mematuhi hukum
3)
Constitution based on human rights, yaitu adanya jaminan hak-hak asasi di
dalam konstitusi. Hal ini merupakan penegasan bahwa hak-hak asasi harus
dilindungi
The rule of law
ini kemudian direvisi kembali oleh ‘International Commission of Jurists’
dalam konferensi di Bangkok tahun 1965. konsep tersebut diperluas sehingga
tidak lagi hanya menyangkut hak-hak politik, tetapi juga menyangkut hak-hak
sosial dan ekonomi.
Ada pun
syarat-syarat dasar agar pemerintahan demokratis di bawah rule of law
terselenggara, yaitu antara lain :
1)
Perlindungan konstitusional
2)
Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3)
Pemilihan umum yang bebas
4)
Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5)
Kebebasan untuk berserikat, berorganisasi, dan beroposisi
6)
Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Sistem Anglo
Saxon tidak menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem
hukumnya, sendi utamanya adalah Yurisprudensi. Sistem hukum Anglo Saxon
berkembang dari kasus-kasus konkrit yang kemudian berubah menjadi kaidah dan
asas hukum, karena itu sistem ini sering disebut sebagai sistem hukum yang
berdasarkan kasus (case law system).
Konsep Rule of
Law ini juga tidak membedakan kedudukan antara pejabat negara dengan rakyatnya,
dalam arti baik rakyat maupun pejabat pemerintah, apabila melakukan pelanggaran
hukum sama-sama diselesaikan melalui pengadilan umum biasa. Dengan demikian,
putusan hakim mendapatkan tempat yang terhormat sebagai jaminan tertinggi dalam
melindungi hak warga negaranya dalam segala hal yang muncul dari hukum.
Sejarah sistem
Common Law (Rule of Law) tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan
negara Inggris. Hingga tahun 1066 M., tidak dikenal keseragaman dalam sistem
hukum yang bersifat nasional di Inggris. Sebelum tahun 1066 sistem hukum
Inggris merupakan sistem hukum adat yang bervariasi antar satu daerah dengan
daerah lainnya. Sebagi contoh sistem hukum yang dikenal dengan sebutan “Jutes”
yang berlaku di Selatan Inggris berbeda dengan sistem hukum “Mercians” yang
berlaku di Inggris Tengah. Masing-masing wilayah memiliki sistem pengadilan
lokal sendiri yang disesuaikan dengan adat-istiadat setempat yang bervariasi
antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Sistem hukum
Inggris berkembang dari tradisi yang diimplementasikan (tradition expessed in
action), bermula dari hukum adat yang diterapkan pada Pengadilan Kerajaan
(King’s Court) untuk menyelesaikan sengketa dan perkara yang berpengaruh secara
langsung terhadap kerajaan, awalnya dimulai secara sederhana dengan kasus-kasus
kejahatan ringan yang kemudian disebut dengan “Pleas of the Crown”.
Hingga Inggris
diinvasi oleh Norman masih terdapat jenis pengadilan yang berbeda yang terpisah
dari pengadilan kerajaan, misalnya pengadilan khusus yang terdapat di Devon dan
Cornwall (the stannary [tin mining] courts), pengadilan yang terkait dengan
perburuan di hutan kerajaan (the royal hunting forests), namun secara prinsip
pengadilan-pengadilan ini merupakan tandingan dari pengadilan kerajaan.
Kemudian pada masa pemerintahan Raja Henry II pengadilan mulai memiliki
spesialisasi dalam bidang hukum bisnis dan benar-benar bertindak dalam
kapasitas bidang judisial.
Pada 1154, Raja
Henry II melembagakan Common Law dengan cara menyeragamkan sistem pengadilan
menjadi berlaku secara umum (common) di seluruh negeri. Penyeragaman ini dengan
mengambil nilai-nilai lokal yang relevan atau menghapuskan sistem lokal yang
tidak sesuai untuk dinasionalkan. Penyatuan sistem hukum ini menghapuskan
keberlakuan sistem hukum lokal dengan berbagai bentuknya, dan juga menerapkan
sistem Jury dengan melibatkan warga negara yang disumpah, untuk menilai
kasus-kasus kriminal dan perdata.
Sistem hukum
“Common” ini mengharuskan para hakim secara reguler melakukan perjalanan ke
daerah-daerah di seluruh negeri untuk memastikan keadilan sampai kepada setiap
warga negara yang membutuhkannya. Tujuan pemberlakuan sistem hukum nasional ini
adalah agar ada sistem hukum yang berlaku umum (Common) di seluruh Inggris
sehingga kemudian sistem ini dikenal dengan sebutan “The Common Law”
Para hakim yang
melakukan persidangan dengan cara mendatangi daerah-daerah kemudian bertindak
sebagai hakim yang memiliki jurisdiksi secara nasional yang tidak memiliki
keterikatan dengan daerah yang dikunjunginya. Di bawah pemerintahan Raja Henry
II inilah untuk pertama kalinya hakim mengenal sistem rotasi, mangadili daerah-daerah
dan mengambil alih persidangan-persidangan pengadilan lokal.
Mulanya putusan
hakim hanya ditulis saja, tetapi dalam perkembangannya mulai direkam, ditulis
dan dipublikasikan yang kemudian berkembang doktrin di mana putusan-putusan
pengadilan masa lalu (precedents) bersifat mengikat hakim berikutnya untuk
perkara-perkara yang sama. Perkembangan-perkembangan inilah yang terjadi pada
Common Law of England, hukum yang berlaku bagi seluruh negeri Inggris.
d.
Socialist Legality
Socialist
Legality, adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara komunis.
Substansi dari negara hukum Socialist Legality ini berbeda dengan konsep negara
hukum rechtsstaat atau rule of the law. Dalam negara hukum socialist legality,
hukum ditempatkan di bawah ‘Sosialisme’. Hukum adalah sebagai alat untuk
mencapai sosialisme. Hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip
sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. Tradisi hukum
sosialis bukan didasarkan pada peranan peraturan perundang-undangan atau
yurisprudensi, melainkan pada dasar kebijaksanaan ekonomi dan sosial. Menurut
pandangan ini, hukum adalah instrument (alat) kebijaksanaan dalam bidang
ekonomi dan sosial (instruments of economic and social policy)
e.
Negara Hukum Pancasila
Menurut Prof.
R. Djokosutono, S.H. negara hukum di Indonesia berdasarkan kedaulatan hukum,
sebab dalam prakteknya, kekuasaan yang dijalankan oleh negara berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), hal
ini sesuai dengan penegasan UUD NRI 1945 hasil amandemen sebagaimana disebut
pada pasal 1 ayat (3). Sebagai konsekuensi logisnya, maka tatanan kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada norma-norma hukum.
Hukum ditempatkan sebagai ‘panglima’ di atas bidang-bidang yang lain, seperti
politik, ekonomi, sosial budaya dan yang lainnya
Karena
Pancasila merupakan jiwa dan pandangan hidup bangsa yang merupakan sumber dasar
tertib hukum yang ada, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara
hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila adalah
adanya jaminan terhadap ‘freedom of religion’ atau kebebasan beragama.
Kebebasan beragama di sini dalam konotasi positif, artinya tiada tempat bagi
atheisme. Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan
kerukunan secara terpadu, kepentingan rakyat banyak lebih diutamakan, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai.
Menurut Prof.
Dr. H. M. Tahir Azhari, S.H., konsep negara hukum Pancasila mempunyai ciri-ciri
pokok, yaitu sebagai berikut :
1)
ada hubungan yang erat antara agama dan negara
2)
burtumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa
3)
kebebasan beragama dalam arti yang positif
4)
atheisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang
5)
asas kekeluargaan dan kerukunan
6)
sistem konstitusi
7)
persamaan dalam hukum, dan
8)
peradilan bebas
4.
Konsepsi Kedaulatan
a.
Pengertian dan sifat kedaulatan
Kata ‘Daulat’
dalam pemerintahan berasal dari kata ‘Daulah’ (Arab), ‘Sovereignity’ (Inggris),
‘Sovereinitiet’ (Prancis), Souveranitat (Jerman), Souverateit (Belanda),
‘Supremus’ (Latin) dan ‘Sovranita’ (Italia), yang berarti ‘Kekuasaan
Tertinggi’.
Menurut Jean
Bodin dari Prancis (1500-1596), Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang
dimiliki oleh negara terhadap para warga negaranya dan penduduk lainnya di wilayah
negara, untuk memerintah dan menentukan hukum dalam suatu negara, kedaulatan
mempunyai sifat-sifat pokok, yaitu :
1)
Asli (kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasan lain yang lebih tinggi)
2)
Permanen (kekuasaan itu tetap ada selama negara itu berdiri, sekalipun
pemegang kedaulatan dan pemerintahan negara terus berganti)
3)
Tunggal atau Bulat (kekuasaan itu merupakan satu-satunya kekuasaan
tertinggi dalam negara yang tidak diserahkan atau dibagi-bagi kepada
badan-badan yang lain), dan
4)
Tidak Terbatas atau Absolut (kekuasaan itu bersifat mutlak dan tidak
dibatasi oleh kekuasaan lain)
Kekuasan
tertinggi yang dimiliki pemerintah mempunyai kekuatan atau kedaulatan yang
berlaku ke dalam / interne-souvereinitiet (pemerintah memiliki wewenang
tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku) dan kekuatan atau
kedaulatan yang berlaku ke luar / externe-souvereinitiet (pemerintah
berkuasa bebas, tidak terikat atau tunduk pada kekuatan lain, selain ketentuan
hukum legal. Demikian juga, negara lain harus menghormati kekuasaan negara yang
bersangkutan dengan tidak ikut campur dalam urusan dalam negerinya dengan kata
lain memiliki kedudukan yang sederajat dengan negara lain)
b.
Beberapa Macam Teori Kedaulatan
Nama Teori, Tokoh & Latar Belakangnya
|
Teori yang dikemukakan
|
Penguasa yang menerapkan
|
Kedaulatan Tuhan (Gods
Souvereinitiet),
Agustinus, Thomas Aquino,
Marsilius dan Friedrich Julius Stahl
- berkembang abad V-XV
- perkembangan agama
Kristen dan maraknya Pantheisme (menyetarakan Alam dengan Tuhan)
|
@ Raja atau penguasa memperoleh kekuasaan tertinggi dari
Tuhan, sehingga raja tidak bertanggung jawab kepada siapa pun selain Tuhan
@ Kehendak Tuhan menjelma ke dalam diri raja atau
penguasa (Paus), oleh sebab itu mereka disebut utusan Tuhan / titisan Dewa
@ Segala peraturan yang dijalankan oleh penguasa
bersumber dari Tuhan, oleh sebab itu rakyat harus patuh dan tunduk kepada
perintah penguasa
|
@ Raja Haile Selassi di Ethiopia
@ Belanda dengan raja yang menjadi simbol
@ Tenno Heika di Jepang (the son of sun)
@ Raja ‘Jawa Kuno’ (Titisan Brahmana)
|
Kedaulatan Raja,
Niccolo Machiavelli, Jean
Bodin, Thomas Hobbes dan Hegel
- berkembang ± abad XV
- perkembangan kekuasaan
yang sudah bergeser dari gereja (Paus) ke Raja
|
@ Kedaulatan negara terletak di tangan raja sebagai
penjelmaan kehendak Tuhan
@ Raja juga merupakan bayangan dari Tuhan (Jean Bodin)
@ Agar negara kuat, raja harus berkuasa mutlak dan tak
terbatas (N. Machiavelli)
@ Raja berada di atas Undang-undang, rakyat harus rela
menyerahkan hak asasi dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja (Thomas
Hobbes)
|
@
Louis XIV
(1643 – 1715) di Prancis
|
Kedaulatan Negara,
George Jellinek, dan Paul
Laband
- berkembang abad XV-XIX
- diilhami gerakan
Renaissance ajaran Niccolo Machiavelli (negara sebagai sentral kekuasaan)
|
@ Kekuasaan pemerintah bersumber dari kedaulatan negara
(staat souverieniteit)
@ Negera sumber kedaulatan dengan kekuasaan tak terbatas
@ Karena negara abstrak, kekuasaannya diserahkan kepada
raja atas nama negara
@ Negaralah yang menciptakan hukum, maka kedudukan negara
sendiri tidaklah wajib tunduk kepada hukum
|
@ Menjelang revolusi Bolsywik (1917) di Rusia
@ Hitler di Jerman
@ B. Musollini di Italia
|
Kedaulatan Hukum
(Nomokrasi),
Immanuel Kant, H. Krabbe
dan Kranenburg
- pasca revolusi Prancis
- diilhami semboyan
Liberte, Egalite dan Fraternite
|
@ Kekuasaan hukum sebagi kekuasaan tertinggi dalam negara
(rechts souvereinitiet)
@ Kekuasaan negara bersumber pada hukum dan hukum
bersumber pada rasa keadilan dan kesadaran hukum
@ Pemerintah/negara hanya penjaga malam yang melindungi
HAM tanpa campur tangan urusan sosial-ekonomi masyarakatnya (teori negara
hukum murni – Immanuel Kant)
@ Negara berdasarkan atas hukum / negara hukum (Krabbe)
@ Fungsi Welfare State (Kranenburg)
|
Negara-negara
Eropa pada umumnya dan Amerika setelah abad XVIII
|
Kedaulatan Rakyat,
Solon, John Locke, Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau
- sekitar abad XVII-XIX
- dipengaruhi kedaulatan
hukum dan demokrasi; rakyat sebagai subjek negara
|
@ Rakyat merupakan kesatuan individu yang dibentuk sesuai
perjanjian masyarakat
@ Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang
memberikan sebagian haknya kepada penguasa untuk kepentingan bersama
@ Penguasa dipilih/ditentukan atas dasar kehendak rakyat
(Volonte Generale) melalui perwakilan dan pemilihan
@ Pemerintah harus mengembalikan hak-hak sipil kepada
warganya (Civil Right)
|
Hampir
pada semua negara merdeka, namun pelaksanaanya tergantung pada rezim yang
berkuasa, ideologi, perkembangan politik, sosial budaya dll.
|
BAGIAN II
KONSEPSI
KONSTITUSI & KEWARGANEGARAAN
A.
Tinjauan Umum tentang Konstitusi
1.
Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk,
pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan sebagai pembentukan suatu negara atau
menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar
merupakan terjemahan istilah ‘Grondwet’ (dalam bahasa Belanda Grond berarti tanah
atau dasar, dan wet berarti Undang-undang). Dalam bahasa Jerman dikenal dengan
istilah Grundgesetz.
Di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
nasionalnya, biasa mengunakan istilah ‘Constitution’
yang dalam bahasa Indonesia menjadi Konstitusi, dalam prakteknya dapat berarti
lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, walaupun sebagian ahli
menyamakannya dengan Undang-undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik
istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat.
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan
dari kata cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti
‘bersamaan dengan…’, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk
kata kerja pokok stare yang berarti ‘berdiri’. Atas dasar ini, kata statuere
mempunyai arti ‘membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan’.
Dengan demikian bentuk tunggal (constitution)
berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama, dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu
yang telah ditetapkan.
Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan
gronwet, L.J. Van Apeldorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya,
kalau gronwet adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan
konstitusi sendiri memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.
Namun menurut Prof. Sri Soemantri tidak ada perbedaan antara Konstitusi dan
Undang-Undang Dasar.
Menurut Miriam Budihardjo, konstitusi adalah suatu piagam
yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan
suatu bangsa. Sedang menurut Prof. F. Lassale pengertian konstitusi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Pengertian Sosiologiche (Sosiologis) dan Politische (Politis); konstitusi
merupakan shintese faktor nyata dalam masyarakat, jadi konstitusi menggambarkan
hubungan antara kekuasaan yang terdapat nyata dalam sutu negara.
b.
Pengertian Yuridis; konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua
bangunan negara.
Secara etimologis antara kata ‘konstitusi’,
‘konstitusional’, dan ‘konstitusionalisme’ inti maknanya sama, namun penggunaan
atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan
mengenai ketatanegaraan, jika tindakan atau prilaku seorang penguasa berupa
kebijakan yang diambil tidak berdasarkan atau menyimpangi konstitusi, maka
tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya
dengan konstitusionalisme, yaitu merupakan suatu paham mengenai pembatasan
kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Bagir Manan menyatakan hakikat konstitusi adalah
merupakan perwujudan paham tentang konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap
kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara
maupun setiap penduduk, di pihak lain.
2.
Sejarah Perkembangan Konstitusi
Catatan historis timbulnya negara konstitusional
sebenarnya merupakan proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk
dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun
melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani, di mana mereka telah
mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya
(624-404 SM), Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi, koleksi
Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai
negara.
Pemahaman awal tentang konstitusi pada masa itu hanyalah
merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata.
Kemudian pada masa kekaisaran Roma, pengertian constitution memperoleh tambahan
arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para
kaisar atau para preator. Termasuk di dalamnya pernyataan-pernyataan pendapat
dari para ahli hukum kenegaraan, serta adat kebiasaan setempat, di samping
Undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad
pertengahan, di mana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari
para kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Prancis, bahkan
kegandrungan orang Romawi akan ‘ordo et unitas’ telah memberikan inspirasi bagi
tumbuhnya paham ‘demokrasi perwakilan’ dan ‘nasionalisme’, dua paham inilah
yang merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
Pada zaman abad pertengahan, corak konstitusionalismenya
bergeser ke arah feodalisme. Pada abad VII lahirlah piagam Madinah yang
merupakan konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islâm
tepatnya di tahun 622. Di Inggris pada tahun 1776, dua belas negara koloni
Inggris mengeluarkan Declaration of Independence dan menetapkan konstitusinya
sebagai dasar negara yang berdaulat. Di Prancis tepat pada tanggal 20 Juni 1789
Estats Generaux memproklamirkan berdirinya Constituante, walaupun baru pada
tanggal 14 September 1791 konstitusi pertama di Eropa (diilhami oleh De
Declaration des Droit de I’Homme at du Citoyen yang dijiwai oleh Tesis Rousseau
dalam Du Contract Social) diterima oleh Louis XVI.
Pada tahun Tahun 1776 lahirlah ‘Declaration of
Indefendence’ di Amerika yang juga banyak dipengaruhi ajaran J.J. Rousseau
(Prancis), hingga terbentuklah konstitusi tertulis pertama Amerika
‘Constitution of United States of America (USA)’ tahun 1787, yang kemudian
diikuti oleh Spanyol (1812), Norwegia (1814), Nederland (1815), Belgia (1831),
Italia (1848), Austria (1861), dan Swedia (1866)), sampai pada abad XIX tinggal
Inggris, Hongaria, dan Rusia yang belum memiliki konstitusi secara tertulis.
Pada masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak
memberikan dorongan yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan
menghancurkan pemerintahan yang tidak liberal, dan menciptakan negara-negara
baru dengan konstitusi yang berasaskan demokrasi dan nasionalisme. Upaya ini
dikonkritkan dengan Pendirian Liga Bangsa-Bangsa. Reaksi keras melawan
konstitusionalisme politik muncul seiring dengan revolusi Rusia (1917) yang diikuti
meletusnya fasisme di Italia dan pemberontakan Nazi di Jerman yang kemudian
melahirkan Perang Dunia II. Perang Dunia II telah memberikan kesempatan kedua
kalinya kepda bangsa-bangsa untuk menerapkan metode-metode konstitusionalisme
terhadap bangunan internasional melalui piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3.
Materi Muatan Konstitusi
Ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme)
terdiri dari :
a.
anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
b.
jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
c.
peradilan yang bebas dan mandiri
d.
pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan rakyat
Dua orang ahli hukum tata negara Belanda, Henc van
Maarseveen dan Ger van der Tang dalam buku ‘Writen Constitution’ mengatakan
bahwa selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga merupakan alat untuk
membentuk sistem politik dan hukum negara, oleh karena menurut A.A.H. Struycken
Gronwet sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi
:
a.
hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
b.
tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c.
pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan di waktu sekarang dan
akan datang
d.
suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin
Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri
Soemantri dalam disertasinya, pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal
pokok, yaitu :
a.
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya
b.
ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
c.
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental
Menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat
Steenbeck, tiga materi muatan yang pokok dalam konstitusi adalah :
a.
jaminan hak-hak asasi manusia
b.
susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar
c.
pembagian dan pembatasan kekuasaan
Sedangkan menurut Miriam Bidihardjo, setiap Undang-Undang
Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
a.
organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian, prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi
oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya
b.
hak-hak asasi manusia
c.
prosedur mengubah Undang-Undang Dasar
d.
adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang
Dasar
4.
Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi
Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau
oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi,
konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang
kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam
perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.
Setelah perjuangan dimenangkan rakyat, konstitusi
bergeser kedudukan dan peranannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan
hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas
rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan
oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan
kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti
individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya.
Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi tergantung ideologi yang melandasi
negara.
Dalam sejarah di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan
untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur
jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan
pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang
progresif dan militan, konstitusi menjamin alat-alat rakyat untuk konsolidasi
kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk
mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu, konstitusi di
zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan
atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan
kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.
Pada negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional,
konstitusi mempunyai fungsi khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah
sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang, dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih
terlindungi (konstitusionalisme). Pembatasan kekuasaan terhadap setiap lembaga
politik kekuasaan meliputi ; pembatasan yang meliputi isi kekuasaannya, dan
waktu dijalankannya kekuasaan tersebut.
Menurut Dahlan Thaib konstitusi memiliki fungsi yaitu:
a.
sebagai alat rakyat dalam perjuangan melawan kekuasaan golongan penguasa,
b.
merupakan perwujudan hak tertinggi, dan
c.
untuk membatasi kekuasaan penguasa.
Loewenstein dalam bukunya ‘Political Power and the
Governmental Proce’s’, menyatakan bahwa konstitusi itu merupakan suatu
sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan, oleh karena itu setiap
konstitusi mempunyai dua tujuan, yaitu :
a.
untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik, dan
b.
untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa, serta menetapkan
bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka
C.F.
Strong menyatakan tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan
pemerintah, menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan
kekuasan yang berdaulat.
Menurut
Mirian Budihardjo tujuan konstitusi adalah membatasi kekuasaan pemerintah
sehingga penyelenggaraan negara tidak bersifat sewenang-wenang. Sedangkan
menurut Kusnadi keberadaan konstitusi adalah dalam rangka pembagian kekuasaan
dalam negara, serta membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara.
5.
Klasifikasi Konstitusi
Merurut seorang pakar konstitusi Inggris, K.C. Wheare,
klasifikasi konstitusi antara lain :
a.
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and no written constitution),
b.
konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible constitution and rigid constitution),
c.
konstitusi derajat-tinggi dan konstitusi tidak derajat-tinggi (supreme constitution dan not supreme
constitution),
d.
konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution),
e.
konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer (presidential
executive constitution and parliamentary executive constitution).
6.
Sistem Perubahan Konstitusi
Secara umum terdapat dua sistem perubahan konstitusi,
yaitu :
a.
Renewal (pembaharuan), apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam
arti diadakan pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru
secara keseluruhan, sistem ini banyak dianut negara-negara Eropa Kontinental
seperti Belanda, Jerman, dan Prancis
b.
Amandemen (perubahan), apabila suatu konstitusi diubah (diamandemen), maka
konstitusi yang lama (asli) tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amandemen
tersebut merupakan bagian atau dilampirkan pada konstitusi aslinya, sistem ini
banyak dianut negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, dan juga
diadopsi Indonesia (walau secara umum corak hukum Indonesia lebih condong ke
Eropa Kontinental)
Menurut K.C. Wheare ada empat cara yang dapat digunakan
untuk mengubah konstitusi melalui jalan penafsiran, yaitu melalui :
a.
beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary forces)
b.
perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement)
c.
penafsiran secara hukum (judicial interpretation)
d.
kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage
and convention)
Menurut C.F. Strong, terdapat empat macam prosedur
perubahan konstitusi, yaitu :
a.
perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif,
akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu
b.
perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum
c.
perubahan konstitusi yang terjadi pada negara serikat, yang dilakukan oleh
sejumlah negara-negara bagian
d.
perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan
oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan
konstitusi
Salah satu langkah untuk mempertahankan eksistensi
konstitusi, maka sering kali perubahan konstitusi sengaja diformulasi dengan
cara atau prosedur yang sulit, hal demikian menurut K.C. Wheare dilakukan guna
mencapai empat sasaran, yaitu :
a.
agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak
secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki)
b.
agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum
perubahan dilakukan
c.
agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas bahasa,
minoritas agama dan / atau kebudayaannya mendapat jaminan
d.
khusus pada negara serikat juga agar kekuasaan negara serikat dan
negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-perbuatan
masing-masing pihak secara tersendiri
B.
Konstitusi Madinah dan Ketatanegaraan
Modern
Jauh sebelum pemikir-pemikir Barat mengemukakan temuan
mereka atas berbagai konstitusi di Yunani, sejarah Islâm telah mencatat bahwa
sejak zaman Rasûlullâh Muhammad SAW. telah lahir konstitusi tertulis pertama
yang kemudian dikenal dengan konstitusi atau Piagam Madinah. Konstitusi ini
dibuat pada tahun 622 M, atau setelah 13 tahun masa kerasulan Muhammad SAW. dan
dakwah di kota Makkah yang kemudian memaksa Beliau untuk hijrah ke Madinah yang
sebelumnya bernama Yasrib.
Tidak lama sesudah hijrah, di tengah kemajemukan penghuni
kota Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan, Ia memandang perlu
meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk
kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya. Maka kemudian dibuatlah
kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar, serta perjanjian dengan
golongan Yahudi, yang secara formal ditulis dalam naskah yang disebut Shahifah.
Kesatuan hidup baru (negara berdaulat) yang dibentuk tersebut dipimpin oleh
Nabi Muhammad SAW. sendiri dalam konteks selaku kepala negara.
Para ahli ilmu pengetahuan dan sejarah menyebut naskah
politik (Shahifah) tersebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti W.
Montgomery Watt menyebutnya ‘Constitution of Medina, R.A. Nicholson dengan
istilah ‘Charter’, Majid Khadduri dengan ‘Treaty’, Philip K. Hitti dengan
‘Agreement’, dan Zainal Abidin dengan istilah ‘Piagam’. Menurut Ahmad Sukardja,
kata Shahifah semakna dengan Charter dan Piagam, yang lebih menunjuk kepada
surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.
Ditetapkannya piagam politik tersebut merupakan salah
satu siasat Nabi Muhammad SAW. untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan
warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan antara lain ; kebebasan
beragama, hubungan antar kelompok, dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup.
Berdasarkan isi piagam tersebut, warga Madinah yang majemuk secara politis
dibina di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW.
Dalam berbagai tulisan yang disusun para ilmuan baik
muslim maupun non muslim, keberadaan piagam Madinah telah diakui sebagaimana
dinyatakan oleh W. Montgomery Watt bahwa piagam Madinah secara umum diakui
keotentikannya, dan bahkan menambahkan bahwa dokumen tersebut merupakan sumber
ide yang mendasari negara Islâm pada awal pembentukannya.
Jika dicermati dari 47 pasal yang termuat dalam
konstitusi Madinah, dalam banyak pasal terlihat beberapa gambaran tentang
prinsip-prinsip negara modern pada masa awal kelahirannya dengan Nabi Muhammad
SAW. sebagai kepala negara, yang warganya terdiri dari berbagai macam aliran,
golongan, keturunan, budaya dan juga agama.
Baik disebut sebagai perjanjian maupun piagam, dan
konstitusi, bentuk dan muatan shahifat itu tidak menyimpang dari pengertian
ketiga istilah tersebut. Dilihat dari pengertian treaty; shahifat adalah
dokumen perjanjian antara beberapa golongan Muhajirin-Anshar-Yahudi dan
sekutunya bersama Nabi Muhammad SAW. Dilihat dari segi pengertian charter;
shahifat adalah dokumen yang menjamin hak-hak semua warga Madinah dan
menetapkan kewajiban-kewajiban mereka serta kekuasaan yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad SAW. Kemudian dilihat dari pengertian constitution; shahifat juga
memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental.
Artinya kandungan shahifat itu dapat mencakup semua
pengertian dari ketiga istilah tersebut. Sebab ia adalah dokumen (tertulis)
perjanjian persahabatan antara Muhajirin, Anshar, dan Yahudi serta
sekutu-sekutunya bersama dengan Nabi Muhammad SAW. yang menjamin hak-hak
mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban mereka dan memuat prinsip-prinsip
pemerintahan yang bersifat fundamental yang sifatnya mengikat untuk mengatur
pemerintahan di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Marduke Pickthal,
H.A.R. Gibb, Wensinck, dan W. Montgomery Watt menyebut shahifat tersebut
sebagai konstitusi.
Walau merupakan sebuah konstitusi, namun pada sisi lain
harus diakui pula bahwa piagam Madinah tidak dapat memenuhinya secara sempurna.
Sebab di dalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian kekuasaan antara
organ, badan atau lembaga pemerintahan, tetapi ia menetapkan adanya pemegang
hukum tertinggi. Namun demikian, ia tetap dapat disebut konstitusi karena
ciri-ciri lain dapat terpenuhi, yaitu berupa naskah dokumen tertulis, menjadi
dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat (rakyat
atau warga negara), adanya kedaulatan negara yang dipegang oleh Nabi Muhammad
SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat
fundamental, yaitu mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui
hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan
peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat Madinah, ia bercita-cita
mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat yang
bermoral, menjunjung tinggi hukum dan keadilan atas dasar iman dan takwa.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam piagam Madinah
dapat dikatakan sebagai suatu ide yang revolusioner untuk saat itu. Dari sudut
tinjauan modern ia dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun
masyarakat yang majemuk (seperti adanya cita-cita mewujudkan masyarakat Madani
dalam Undang-undang dan kebijakan otonomi daerah di Indonesia). Dalam kaitan
ini, mendiang almarhum Prof. Dr. Nurcholis Madjid pernah menyatakan “Bunyi
naskah konstitusi (Madinah) itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran
yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk
pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern,
seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai
dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga
ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha
pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar”.
C.
Konstitusi dan Negara
Menurut Sri Soemantri dalam disertasinya, tidak ada satu
negara pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya, bahkan Max Boli Sabon menyatakan bahwa
tanpa konstitusi negara tidak mungkin ada
Embrio konstitusi sebagai hukum dasar (droit
constitutional) dapat digali dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut bentuk
negara dan dari sudut pembentuk konstitusinya
Dari sudut bentuk negara, Hawgood dalam bukunya ‘Modern
Constitution Since 1787’ mengemukakan bahwa sebenarnya ada sembilan macam
bentuk negara yang sekaligus menunjuk bentuk-bentuk konstitusinya. Tetapi
kesembilan bentuk negara itu telah menjadi bangunan-bangunan historis di mana
sekarang sudah tidak mempunyai arti lagi. Maka dari itu hanya diambil tiga
bentuk negara, yaitu :
1.
Spontaneous State (Spontane Staat). Konstitusinya disebut Revolutionary
Constitution ; adalah negara yang timbul sebagai akibat revolusi, dengan
demikian konstitusinya bersifat revolusioner, seperti konstitusi Amerika Serikat
dan Prancis
2.
Negotiated State (Parlementaire Staat). Konstitusinya disebut
Parlementarian Constitution ; adalah negara yang berdasarkan pada kebenaran
relatif (relatieve waarheid), bukan berdasarkan pada absolute waarheid seperti
oosterse demokratie, yaitu Rusia
3.
Derivative State (Algeleide Staat). Konstitusinya disebut Neo National
Constitution ; adalah negara yang konstitusinya mengambil pengalaman dari
negara-negara yang sudah ada (neo-national), seperti Burma, Thailan, Vietnam,
Idia, Pakistan, serta Indonesia
D.
Faktor-faktor Daya Ikat Konstitusi
1.
Pendekatan dari Aspek Hukum
Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran
positivisme hukum, maka konstitusi itu mengikat karena ia ditetapkan oleh badan
yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama
rakyat (yang di dalamnya sarat dengan ketentuan sanksi yang diatur lebih lanjut
dalam Undang-undang organik)
Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawasan
negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius,
konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini
mengandung jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi, adanya pembagian
kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada Undang-undang, dan
adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggraaan pemerintahan tersebut.
Prinsip wawasan negara hukum yang dikemukakan oleh Zippelius pada dasarnya sama
dengan ketentuan tentang materi muatan konstitusi sebagaimana dikemukakan
Steenbeek
Berbicara tentang esensi hukum positif dan wawasan negara
berdasarkan hukum, inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai
dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-alat kelengkapan negara dan
sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi, oleh karena itu konstitusi akan selalu
mengikat seluruh warga negara
2.
Pendekatan dari Aspek Politik
Menurut Prof. Dahlan Thaib, S.H., M.Si.; berdasarkan
pendekatan politis, maka hukum adalah produk politik yang telah menjadikan
badan konstituante (atau lembaga lain yang bekedudukan-fungsi sama) sebagai
badan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu
dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat Undang-undang. Proses yang
dilakukan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan / atau proses
politik, sehingga produk politik yang berupa konstitusi atau segala macam
peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuannya bagi warga
negara. Kemudian hubungan hukum dengan kekuasaan telah terimplementasikan dalam
konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak
tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai
kewenangan memaksa warga negara untuk mentaatinya
3.
Pendekatan dari Aspek Moral
Konstitusi sebagai landasan fundamental seyogyanya
memiliki kesesuaian keselarasan, dan keharmonisan dengan nilai-nilai universal
serta etika moral, bahkan William H. Hewet berpendirian bahwa moral mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi di atas konstitusi, lebih tegas lagi Paul Sholten
menyatakan bahwa keputusan moral adalah otonom atau teonom (teonom adalah hukum
abadi, yaitu kehendak Ilahi yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan
mereka, sebagai landasan yang terdalam dari segala hukum dan peraturan).
Sehingga moral menuntut kita kepada kepatuhan penyerahan diri secara mutlak
tanpa tawar-menawar, dengan esensi tujuan untuk mengatur hidup manusia tanpa
pandang bulu, suku, ras, dan agama, lebih dari itu moral tidak terikat dan
terbatas pada waktu dan tempat tertentu
Maka kemudian K.C. Wheare mnyimpulkan secara ‘constitutional
phylosophy’ bahwa jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, maka
konstituti tersebut dapat disimpangi, namun jika aturan konstitusi justru
menopang etika moral, maka konstitusi mempunyai daya pemberlakuan di
tengah-tengah masyarakat
Dalam kaitan sikap patuh masyarakat (warga negara)
terhadap konstitusi, sesuai dengan contoh visi keteladan ‘akhlak mulia’ dari
misi kerasulan Muhammad SAW. Alm. Baharuddin Lopa, S.H., menyatakan bahwa
kepatuhan warga negara kepada hukum (konstitusi) bisa disebabkan karena faktor
‘keteladanan dan rasio’ yang lebih dahulu harus ditunjukkan para aparatur
pemerintahan mulai dari level teratas, dengan menunjukkan sikap dan prilaku
loyalitas terhadap hukum (konstitusi) dan akhlak mulia, tanpa pemasungan struktural
yang tidak pada tempatnya.
E.
Rakyat dan Kewarganegaraan
1.
Rakyat
Dalam arti
politis Rakyat adalah semua orang yang berada dan berdiam dalam suatu negara
atau menjadi penghuni negara yang tunduk pada kekuasaan negara itu
Rakyat
merupakan unsur terpenting negara karena Rakyat-lah yang pertama kali
berkehendak membentuk negara, Rakyat pula yang mulai merencanakan, merintis,
mengendalikan dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Di dalam suatu negara,
Rakyat dapat dibedakan menjadi Penduduk dan Bukan Penduduk serta Warga Negara
dan Bukan Warga Negara (warga negara asing)
Prof. Prajudi
Atmosudirdjo membedakan pengertian antara Rakyat dengan rakyat, karena Rakyat
dimaksudkan sebagai keseluruhan dari rakyat yang mempunyai hak pilih
2.
Penduduk, Bukan Penduduk, Warga Negara dan Bukan Warga Negara
Berdasarkan
hubungannya dengan daerah wilayah negaranya, Rakyat dibedakan menjadi Penduduk (mereka yang
bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara atau menetap,
dan bagi mereka perlu dilakukan inventarisir; biasanya, penduduk adalah mereka
yang lahir secara turun temurun dan besar di dalam suatu negara tertentu) serta
Bukan Penduduk (mereka yang berada di dalam wilayah suatu negara hanya
untuk sementara waktu; seperti, para turis mancanegara dan tamu-tamu instansi
tertentu di dalam suatu wilayah negara). Antara kedua status ini dapat
dibedakan berdasarkan hak dan kewajibannya, seperti hanya yang berstatus
Penduduk saja yang dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu dalam wilayah
negara.
Berdasarkan
hubungannya dengan Pemerintah negaranya, Rakyat dibedakan menjadi Warga Negara (warga suatu negara yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau mereka yang berdasarkan hukum tertentu merupakan
anggota suatu negara. Dengan kata lain, Warga Negara adalah mereka yang menurut
peraturan perundang-undangan atau perjanjian atau melalui proses naturalisasi
dan sejenisnya, diakui sebagai warga Negara, Warga Negara ada yang berdiam di
wilayah negara dan ada pula yang berada di luar negeri karena keperluan dinas,
belajar, pekerjaan, perniagaan, wisata dan lain-lain) serta Bukan Warga
Negara atau Orang atau Warga Negara Asing (mereka yang masih mengakui
negara lain sebagai negaranya, dan / atau belum mendapat pengakuan secara hukum).
Antara kedua status ini dapat dibedakan berdasarkan hak dan kewajibannya,
seperti hanya yang berstatus Warga Negara saja yang berhak memiliki tanah dan
mengikuti pemilihan umum.
Prof. Dr.
Dahlan Thaib, S.H., M.Si. mengemukakan bahwa warga negara adalah penduduk
sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan
atau orang-orang atau bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai
warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai warga negara dalam
suatu negara tertentu, baik yang menduduki jabatan sebagai alat kelengkapan
negara maupun rakyat biasa.
Menurut Hukum
Internasional, setiap negara berhak untuk menentukan sendiri siapa yang akan
menjadi warga negaranya. Untuk itu ada dua azas yang biasanya dipakai dalam
penentuan kewarganegaraan, yaitu azas Ius Soli (penentuan kewarganegaraan
berdasarkan wilayah tempat kelahiran) dan azas Ius Sanguinis (penentuan
kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah keturunan dari orang tua kandung).
Dalam pelaksanaan kedua azas ini dapat terjadi :
a.
Kewarganegaraan ganda (bipatride), yaitu ketika negara asal orang tua
menganut azas Ius Sanguinis sedangkan yang bersangkutan lahir di negara lain
yang menganut asas Ius Soli.
b.
Memiliki satu kewarganegaraan tunggal (single/ monopatride), yaitu ketika
antara negara asal orang tua dan negara tempat yang bersangkutan lahir,
keduanya menganut asas yang sama.
c.
Tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali (apatride), yaitu ketika negara
asal orang tua menganut asas Ius Soli sedangkan yang bersangkutan lahir di
negara lain yang menganut azas Ius Sanguinis.
Indonesia pada
termasuk negara yang manganut azas Ius Sanguinis (Pasal 26 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, jo Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia).
Namun dalam
Undang-Undang kewarganegaraan baru (Undang-undang No. 12 Tahun 2006) disebutkan
bahwa WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti
kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk
menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya. Selain itu,
apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI, atau selama masa tenggang 3 tahun
itu, ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia. Bagian yang
paling penting dari UU baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan
Ius Soli,
dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin
campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18
tahun. Artinya, sampai anak berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan.
Setelah mencapai usai tersebut, plus tenggang waktu 3 tahun untuk
mempersiapkannya, barulah di anak diwajibkan memilih salah satunya.
Selain kedua
asas tersebut di atas, kewarganegaraan seseorang juga dapat diperoleh melalui
cara :
a.
Stelsel aktif ; di mana seseorang harus melakukan tindakan hukum tertentu
lebih dahulu untuk dapat memperoleh kewarganegaraan, seperti mengajukan
permohonan atau membuat pernyataan. Stelsel ini biasanya tidak terbatas atau
tidak ditentukan waktunya sehingga dapat memilih (optie). Perkawinan dan turut
orang tua juga bisa menjadi sebab atau alasan dalam proses naturalisasi ini.
b.
Stelsel pasif ; di mana seseorang memperoleh kewarganegaraan tanpa
melakukan suatu tindakan hukum tertentu, seperti kewarganegaraan yang diberikan
negara kepada seseorang karena jasanya (naturalisasi istimewa). Stelsel ini
biasanya terbatas waktunya sehingga seseorang dapat menolak (repudiate).
3.
Masyarakat
Menurut Kamus
Bahasa Indonesia karangan Ananda Santoso dan S. Priyanto, masyarakat adalah
hubungan antar manusia, pergaulan hidup manusia, sekelompok manusia yang hidup
dalam lingkungan tertentu. Definisi ini diperjelas oleh Drs. H. Inu Kencana
Syafiie, M.Si. yang menyatakan bahwa masyarakat adalah mereka yang bersama-sama
menjadi anggota dari suatu negara, yang harus dibina dan dilayani oleh
administrasi pemerintah setempat.
4.
Bangsa (Nation atau volks)
Bangsa
merupakan kumpulan dari masyarakat yang membentuk negara. Dalam arti
sosiologis, bangsa termasuk ‘kelompok paguyuban’ yang secara kodrati ditakdirkan
untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan di dalam suatu negara, beberapa
pendapat para ahli, antara lain :
A
Ernest Renan (Prancis) ; Bangsa
terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama (hasrat bersatu) dengan
perasaan setia kawan yang agung
A
F. Ratzel (Jerman) ; Bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu, hasrat
tersebut timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat
tinggalnya (paham geopolitik)
A
Friedrich Hertz (Jerman) ; dalam bukunya ‘Nationality in History and Politics’
mengemukakan bahwa setiap bangsa mempunyai empat unsur aspirasi yaitu :
a.
Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan
sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi dan solidaritas.
b.
Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional sepenuhnya,
yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan asing terhadap urusan dalam
negerinya.
c.
Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian atau
kekhasan. Seperti menjunjung tinggi bahasa nasional yang mandiri, serta
d.
Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa dalam mengejar
kehormatan, pengaruh dan prestise.
A
Hans Kohn (Jerman) ; Bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam
sejarah, suatu bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam dan tidak bisa
dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor-faktor objektif
tertentu yang membedakannya dengan bangsa lain, seperti persamaan keturunan,
wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik, perasaan dan agama
A
Otto Bauer (Jerman) ; Bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai
persamaan karakter, karakteristik tumbuh karena adanya persamaan nasib
Bangsa adalah
Rakyat yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk membangun masa depan bersama.
Caranya adalah dengan mendirikan sebuah negara yang akan mengurus terwujudnya
aspirasi dan kepentingan bersama secara adil. Faktor objektif terpenting dari
suatu bangsa adalah adanya kehendak atau kemauan bersama yang lebih dikenal
dengan istilah nasionalisme. Dalam kehidupan suatu bangsa, kita harus menyadari
adanya keanekaragaman yang dilandasi oleh rasa persatuan dan kesatuan tanah
air, bahasa dan cita-cita.
George Jellinek membagi pemberian status bangsa menjadi
empat macam, yaitu :
a.
Status aktif ; status yang diberikan kepada warga negara untuk ikut serta
dalam pemerintahan, berupa hak memilih dan hak dipilih
b.
Status pasif ; status yang diberikan kepada warga negara untuk taat kepada
peraturan pemerintah dan negara
c.
Status positif ; status yang diberikan kepada warga negara untuk menuntut
hak mendapat perlindungan terhadap jiwa, harta, dan kemerdekaan
d.
Status negative ; status yang diberikan kepada warga negara terhadap
kepentingan hak asasinya, dengan kata lain bahwa negara tidak campur tangan
terhadap kepentingan hak asasi warganya
Rosseau membagi
pengertian bangsa menjadi ‘citoyen’ yaitu golongan atau bangsa yang berstatus
aktif, dan ‘suyet’ yaitu bangsa yang tunduk pada kekuasaan di atasnya atau
bangsa yang berstatus pasif. Selain bangsa juga sering dikenal istilah rumpun
(ras) yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai cirri-ciri jasmaniah yang
sama, serta istilah nazi (natie) yang diartikan sebagai sekumpulan manusia yang
merupakan suatu kesatuan karena mempunyai kesatuan politik yang sama.
BAGIAN III
KONSEPSI
PERUNDANG-UNDANGAN
Perundang-undangan adalah
Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 ayat 2 UU No. 10/2004).
A.
Landasan Perundang-undangan
Menurut
ilmu pengetahuan hukum, ada tiga landasan atau prinsip pokok yang menjadi dasar
dalam pembentukan suatu produk hukum Perundang-undangan, yaitu :
1. Landasan Hukum/Yuridis/Normatif/Legalitas (Rechtsgrond)
adalah landasan atau dasar yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang
lebih tinggi derajatnya. Landasan ini terbagi menjadi dua aspek:
a. Landasan Yuridis Formal; yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang memberi status sah kewenangan (legalitas) kepada
lembaga / pejabat tertentu untuk membentuk atau menetapkan suatu produk
Perundang-undangan.
b. Landasan Yuridis Materiil; yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi pedoman atau petunjuk tentang perihal
masalah atau persoalan tertentu yang harus diatur. Landasan yuridis yang
beraspek materiil ini memiliki peran sangat penting terutama bagi jenis
Perundang-undangan pelaksana yang tingkat derajatnya berada di bawah
Undang-undang, karena peraturan jenis ini tidak dapat berdiri sendiri
sebagaimana Undang-undang yang dapat saja dibentuk walaupun tanpa adanya
ketentuan Undang-Undang Dasar yang memerintahkan kepada Undang-undang untuk
mengaturnya.
Dalam
kedua dimensi aspek sebagaimana tersebut di atas, landasan ini mutlak harus
dipatuhi sepenuhnya.
2. Landasan Sosiologis (Sociologische
Grondslag); suatu Perundang-undangan dinyatakan memiliki landasan
sosiologis jika ketentuan-ketentuan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran
hukum masyarakat. Hal ini penting agar suatu produk Perundang-undangan yang
dibuat dan diberlakukan dapat ditaati dengan baik oleh masyarakat dan tidak
sekedar menjadi huruf-huruf mati belaka.
Landasan
sosiologis ini nampak dominan dibandingkan landasan filosofis terutama jika
dikaitkan dalam pelaksanaan fungsi hukum sebagai Alat Pengawasan Sosial (tool
of social control) yaitu kristalisasi dari kenyataan yang ada dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kondisi faktual sosiologis itu
diidentifikasi, disaring, diberi batasan-batasan dan dikukuhkan (dilegalisasi)
dengan suatu Perundang-undangan sehingga ia tidak berkembang secara liar. Dalam
hal ini berlaku teori bahwa kenyataan-kenyataan dalam kehidupan masyarakat
mempunyai kekuatan meningkat menjadi norma hukum positif.
3. Landasan Filosofis (Filisofische
Grondslag); suatu Perundang-undangan dinyatakan memiliki landasan filosofis
jika rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging)
saat dikaji secara filosofis yaitu adanya alasan yang dapat dibenarkan setelah
dianalisa secara cermat dan mendalam bahwa hal tersebut sesuai dengan cita-cita
dan pandangan hidup manusia dalam tatanan pergaulan masyarakat yang selaras
dengan cita-cita kebenaran (idee der waarheid), cita-cita keadilan (idee
der gerechtigheid) dan cita-cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
Landasan
filosofis ini nampak dominan dibandingkan landasan sosiologis terutama jika
dikaitkan dalam pelaksanaan fungsi hukum sebagai Alat Pengarah atau Penggerak
Sosial (tool of social engineering) dalam hal mana suatu norma sengaja
diciptakan berdasarkan gagasan (idee) yang baik untuk mengarahkan dan
menggerakkan atau pun membawa tatanan kehidupan masyarakat ke arah pencapaian tujuan-tujuan
yang lebih baik (legislasi), jadi hukum tidak semata-mata difungsikan sebagai
alat yang membakukan kenyataan-kenyataan yang ada dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini berlaku teori bahwa norma-norma yang
diciptakan (legislasi hukum positif) mempunyai kekuatan untuk menjadi kenyataan
yang hidup dalam tatanan sosial masyarakat.
4. Landasan Politis (Polietische Grondslag);
Landasan ini nampak terutama karena dalam sistem Perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan hubungannya dengan sistem ketatanegaraan pada ruang
lingkupnya yang lebih luas, korelasi antar keduanya nampak jelas ketika
berbagai produk Peraturan Perundang-undangan tersebut diproses dan dibentuk
oleh Lembaga atau Pejabat Politik Negara, sehingga realitas dinamika politik
yang ada, turut memberi pengaruh dominan dalam proses pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam tinjauan proses empiris praktis. Oleh karena pengarus
dominan landasan politis secara faktual-empirik, maka pilihan atau kecondongan
paradigma dan sistem politik yang dianut oleh berbagai kekuatan politik yang
ada, akan menentukan aktivitas-aktivitas politik (bergaining potition, lobby
dan manuver politik) dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
didasari pada motivasi, visi dan misi yang berpihak pada kepentingan siapa?.
5. Selain empat landasan di atas yang umumnya
selalu ada dan menjadi dasar pembentukan produk Perundang-undangan, secara
temporal–kasuistik–kondisional juga akan ditemui landasan-landasan lain sesuai
substansi materi muatan hal ihwal masalah atau persoalan yang diatur. Seperti
Landasan Historis, Ekonomis, Iptek, Ekologis, Sastra, Seni dan lain-lain.
Dikaitkan dengan penjelasan Undang-undang No.
10 Tahun 2004; maka secara ideal landasan Yuridis menunjukkan adanya kesesuaian
dengan ketentuan hukum, landasan Sosiologis menunjukkan adanya kesesuaian
dengan kondisi masyarakat, landasan Filosofis menunjukkan adanya kesesuaian
dengan cita keadilan dan kedamaian, serta landasan Politis menunjukkan adanya
kesesuaian dengan tujuan yang mesti dicapai. Secara teknis landasan Yuridis
akan termaktub pada bagian diktum mengingat konsideran suatu Peraturan
Perundang-undangan, sedangkan landasan-landasan lain yang digunakan termaktub
pada bagian diktum menimbang konsideran suatu Peraturan Perundang-undangan.
B.
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (Pasal 5 UU No.
10/2004):
1.
Kejelasan tujuan; Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2.
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga / pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga atau pejabat yang
tidak berwenang.
3.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangan.
4.
Dapat dilaksanakan; Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
5.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6.
Kejelasan rumusan; Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7.
Keterbukaan; Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
C.
Asas materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 6 ayat 1 UU No.
10/2004):
1.
Pengayoman; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
2.
Kemanusiaan; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3.
Kebangsaan; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan)
dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4.
Kekeluargaan; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
5.
Kenusantaraan; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila.
6.
Bhinneka Tunggal Ika; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
7.
Keadilan; Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
8.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain: agama, suku, ras, golongan,
gender atau status sosial.
9.
Ketertiban dan kepastian hukum; Setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
10.
Keseimbangan, keserasian dan keselarasan; Setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan
negara.
D.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat 1 UU No.
10/2004) serta Ketentuan Materi Muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 9–14
UU No. 10/2004):
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
§
Undang-undang (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan persetujuan bersama Presiden
Republik Indonesia.
§
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa.
o
DPR RI atau Presiden RI sama-sama memiliki hak mengajukan Rancangan
Undang-undang, sedangkan untuk pemberlakuannya diperlukan pembahasan serta
persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden RI.
o
Materi muatan Perpu sama dengan materi muatan UU.
3.
Peraturan Pemerintah.
§
Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia untuk menjalankan Undang-undang
sebagaimana mestinya.
o
Materi muatan PP berisi materi muatan untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya.
4.
Peraturan Presiden.
§
Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibuat oleh Presiden Republik Indonesia.
o
Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi
untuk melaksanakan PP.
5.
Peraturan Daerah.
§
Peraturan Daerah (Perda) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala
Daerah.
o
Materi muatan Perda adalah seluruh muatan materi dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
§
Peraturan Desa atau Peraturan yang setingkat adalah Peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa (atau nama lainnya)
bersama dengan Kepala Desa (atau nama lainnya).
o
Materi muatan Peraturan Desa atau Peraturan yang setingkat adalah seluruh
materi dalam rangka penyelenggaraan urusan Desa atau yang setingkat serta
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ø
Catatan tambahan; Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat
dimuat dalam UU dan Perda.
E.
Hal-hal yang harus diatur dalam materi muatan peraturan perundang-undangan
(Pasal 8 ayat 1 UU No. 10/2004):
1.
Hak-hak asasi manusia.
2.
Hak dan kewajiban warga negara.
3.
Pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara.
4.
Wilayah negara dan pembagian daerah.
5.
Kewarganegaraan dan kependudukan.
6.
Keuangan negara.
F.
Kekuatan hukum perberlakuan produk hukum perundang-undangan:
1.
Produk perundang-undangan tidak dapat diganggu-gugat; artinya bahwa
substansi materi muatan perundang-undangan tidak dapat diuji oleh siapa pun,
kecuali oleh lembaga / pejabat pembentuknya sendiri, atau lembaga / pejabat
dengan tingkat kewenangan yang lebih tinggi, atau lembaga yang secara khusus
memang mendapat kewenangan hukum untuk mengujinya. Namun pelaksanaan hasil uji
materiil tersebut tetap kembali hanya dapat dilakukan oleh lembaga / pejabat
yang yang berwenang membentuknya.
2.
Produk perundang-undangan tidak berlaku surut. Asas ini berkaitan dengan
lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied van het recht) yang pada umumnya
meliputi:
a)
Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied / territorial sphere) yang
menunjukkan tempat berlakunya produk hukum perundang-undangan, apakah
diberlakukan bagi seluruh wilayah negara atau hanya untuk sebagian wilayah
saja.
b)
Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied / material sphere) yaitu
menyangkut masalah atau persoalan yang diatur. Misalnya, apakah mengatur persoalan
perdata atau persoalan publik, apakah persoalan pajak atau persoalan
kewarganegaraan, dan lain-lain sebagainya.
c)
Lingkungan kuasa orang (personengebied / personal sphere) yaitu
menyangkut orang yang diatur; apakah berlaku untuk semua orang (siapa saja /
barang siapa), atau hanya untuk pihak /
orang-orang tertentu saja seperti kalangan PNS, Buruh dan lain-lain.
d)
Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied / temporal sphere) yang
menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya suatu produk hukum
perundang-undangan.
Asas legalitas
ini sangat berkaitan erat dengan lingkungan kuasa waktu sebagaimana tersebut di
atas. Suatu produk perundang-undangan dibentuk tentu dengan maksud untuk
keperluan masa depan semenjak diundangkan, maka menjadi tidak layak jika ia diberlakukan
untuk masa silam sebelum norma tersebut dibuat dan diberlakukan. Pengecualian
dalam penerapan asas ini hanya terjadi dalam kasus tindak pidana yang belum
berkekuatan hukum tetap sedang pada saat bersamaan terjadi pembaharuan hukum,
maka yang digunakan adalah ketentuan hukum yang paling menguntungkan (gunstige
bepaling) atas pihak tersangka / terdakwa yang bersangkutan.
3.
Produk perundang-undangan dianggap telah diketahui oleh siapa saja dalam
yurisdiksi legal negara setelah ia ditempatkan dalam Lembaran Negara / Daerah,
Lembaran Berita Negara / Daerah. Sehingga siapa pun tidak dapat berkelit dari
pemberlakuan suatu produk hukum perundang-undang dengan alasan karena tidak
mengetahui adanya aturan tersebut. Asas Publisitas ini faktor landasan pengikat
normatif positif yang ada terlepas seberapa optimal pelaksanaan tanggung-jawab
negara dalam upaya sosialisasi keberadaan perundang-undangan yang bersangkutan.
G.
Upaya Perbaikan suatu peraturan perundang-undangan:
1.
Dari segi pihak yang mendorong upaya Perbaikan :
a)
Dorongan yang bersifat internal, baik dilakukan oleh lembaga / pejabat
pembentuk, maupun atas perintah lembaga / pejabat yang memiliki kedudukan yang
lebih tinggi (atasan) dari lembaga / pejabat pembentuk yang bersangkutan.
b)
Dorongan yang bersifat eksternal, terjadi setelah diterimanya masukan /
saran / kritik dari Warga Negara atau kelompok Warga Negara oleh lembaga /
pejabat pembentuk. Atau pun karena
dikabulkannya permohonan / tuntutan (uji materiil) dari Warga Negara atau
kelompok Warga Negara, oleh lembaga Kehakiman yang berwenang.
2.
Dari segi objek muatan materi norma yang diperbaiki :
a)
Perbaikan yang bersifat parsial atau hanya menyangkut pada bagian tertentu
dari isi peraturan perundang-undangan yang dimaksud, baik sekedar dihapus /
ditiadakan (tidak diatur lagi) atau pun direvisi dengan ketentuan yang baru.
b)
Perbaikan yang bersifat holistik atau menyeluruh terhadap semua bagian dari
isi peraturan perundang-undangan yang dimaksud, baik sekedar dihapus /
ditiadakan (tidak diatur lagi) atau pun direvisi dengan ketentuan yang baru.
3.
Lembaga yang berwenang menerima dan mengadili permohonan / tuntutan Uji
Materiil:
a)
Mahkamah Agung Republik Indonesia; untuk tingkat peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang. Uji Materiil terhadap objek
peraturan perundang-undangan yang dimaksud dilaksanakan berdasarkan standar
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari objek yang dimohon, sampai
pada standar yang disandarkan pada Undang-undang.
b)
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; khusus jika objek permohonan uji
materiil adalah Undang-undang yang akan diuji dengan atau terhadap
Undang-undang Dasar.
H.
Peta dan solusi konflik peraturan perundang-undangan:
1.
Identifikasi jenjang / level / tingkatan; jika yang dipertentangkan adalah
dua peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkat kedudukannya. Maka dalam
hal ini konflik perundang-undangan diselesaikan dengan menerapkan Asas Hirarki
(Lex Superior Derogat Lex Imperior)
Suatu perundang-undangan materi muatan isinya tidak boleh bertentangan
dengan materi muatan isi perundang undangan yang lebih tinggi tingkatan atau
derajatnya. Berdasarkan asas ini dapat diperinci beberapa hal berikut :
a)
Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau
mengesampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi,
tetapi hal sebaliknya dapat berlaku.
b)
Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau
dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c)
Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sedangkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat, walau pun telah diubah, ditambah, diganti
atau dicabut oleh perundang-undangan yang lebih rendah.
d)
Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah,
tetapi hal sebaliknya dapat terjadi dan berlaku. Namun demikian, hal seperti
ini seyogyanya tidak terjadi karena akan mengaburkan pembagian wewenang
mengatur di dalam suatu negara.
2.
Identifikasi lingkup cakupan; jika konflik perundang-undangan terjadi dalam
tingkat kedudukan yang sama, maka langkah ini dilakukan untuk memilah mana
perundang-undangan yang bersifat khusus dan mana yang bersifat umum, lalu
konflik perundang-undangan diselesaikan dengan menerapkan Asas
‘Perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Perundang-undangan
yang bersifat umum’ (Lex Specialis Derogat Lex Generalis).
Perundang-undangan yang umum adalah yang mengatur persoalan-persoalan pokok
secara umum dan berlaku umum pula. Di samping itu terdapat perundang-undangan
yang juga menyangkut persoalan pokok tersebut tetapi mengaturnya secara khusus
menyimpang dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang umum tersebut, hal
inilah yang disebut sebagai perundang-undangan yang khusus.
Kekhususan tersebut karena sifat hakikat dari masalah atau persoalannya
sendiri, atau karena kepentingan yang hendak diatur mempunyai nilai intrinsik
yang khusus sehingga perlu pengaturan secara khusus.
3.
Identifikasi masa penetapan / pemberlakuan; jika konflik perundang-undangan
terjadi dalam tingkat kedudukan dan lingkup cakupan yang sama, maka langkah ini
dilakukan untuk memilah mana perundang-undangan yang ditetapkan / diberlakukan
lebih baru (lebih belakangan) dan mana yang lebih lama (lebih terdahulu), maka
konflik perundang-undangan diselesaikan dengan menerapkan Asas
‘‘Perundang-undangan yang baru mengesampingkan Perundang-undangan yang lama’
(Lex Posteriori Derogat Lex Priori)
Apabila ada suatu masalah yang diatur dalam suatu perundang-undangan yang
lama, kemudian diatur pula oleh perundang-undangan terbaru dari derajat dan
lingkup cakupan yang sama, maka ketentuan perundang-undangan yang baru-lah yang
berlaku, dalam hal ini tentunya apabila ada perbedaan baik mengenai maksud atau
tujuan mau pun maknanya. Perundang-undangan yang baru tersebut dianggap telah
menganulir dan merevisi ketentuan pada perundang-undangan yang lama.
0 komentar: