Hutan Kemasyarakatan


Hutan merupakan ekosistem terbesar makhluk hidup yang ada di bumi ini.
Awalnya bumi hanyalah berisi daratan yaitu hutan dan juga perairan seperti lautan, sungai dan muara.
Sehingga banyak tanaman yang mengisi bumi dan bumi masih berwarna hijau. Namun, seiring dengna berkembangnya jaman manusia mulai membludak jumlahnya dan hutan ditebang untuk tempat tinggal dan daerah perkotaan.
Untitled
Hal ini tentu semakin mengkhawatirkan, mengingat hutan merupakan sumber paru-paru dunia yang menghasilkan banyak oksigen.
Untuk itu, pemerintah Indonesia sebagai pengelola yang sadar akan negaranya yang kaya dengan hutan membuat beberapa kebijakan yang mungkin dapat dilakukan bersamaan agar hutan tetap terjaga. Tentunya melibatkan masyarakat yang tinggal dekat dengan wilayah hutan.

Pengertian dan definisi hutan kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan adalah Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.

Pemberdayaan Masyarakat Setempat adalah: upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pertama, perum perhutani membuat kebijakan mengenai sistem hutan kemasyarakatan.
Hutan ini adalah suatu kegiatan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mendukung kesejahteraan hidup masyarakat sekitar hutan dengan mengutamakan fungsi kelestarian lingkungan hutan.
Umumnya hutan ini dibangun diatas tanah milik negara. Program ini terbentuk karena ingin mengatasi masalah erosi dan kemunduran kesuburan tanah serta banyak hilangnya hutan-hutan lindung di Indonesia.
Program ini dilakukan di berbagai tempat khususnya pulau Jawa yang semakin hari semakin padat.
Ada beberapa percontohan yang dibentuk oleh program dan lembaga hutan kemasyarakatan, yaitu:
  1. Unit percontohan usaha pertanian menetap (UP-UPM). Dengan tujuan untuk memperkenalkan usaha tani lahan kering terpadu kepada petani yang ada dan masih menerapkan sistem tradisional. Terutama petani yang masih melakukan ladang berpindah. Luasan satu unit UP-UPM sebesar 20 hektar atau yang dikerjakan oleh 10 rumah tangga/kepala keluarga. Nah disisi lainnya unit percontohan ini menggunakan hutan kemasyarakatan.
  2. Unit percontohan usaha pelestarian sumberdaya alam atau disebut UPSA. Dengan menggunakan intensifikasi usaha tanah kering maka diberikan luasan lahan sebesar 10 hektar saja. UPSA juga menggunakan percontohan usaha tani lahan kering. Dengan melakukan pembuatan teras pada lereng gunung, dan memperhatikan daya dukung lahan. Terutama lahan-lahan marjinal dan kurang subur untuk petani.

Pengertian dan definisi hutan rakyat

Hutan rakyat memiliki arti hutan-hutan yang dibangun dan dikelolah oleh rakyat tersebut.
umumnya hutan rakyat berdiri diatas tanah milik atau tanah adat. Walaupun terkadang ada beberapa hutan yang berdiri di atas tanah milik negara dan dalam pengawasan negara.
Hutan rakyat umumnya ditanami oleh berbagai tanaman hutan, dan tak jarang dikombinasi dengan tanaman semusim seperti wanatani atau dikenal dengan sebutan agroforestri.
Hutan rakyat sendiri terbagi menjadi berbagai jenis, yaitu :
  1. Hutan adat atau hutan desa adalah hutan yang dibangun oleh rakyat di atas tanah milik bersama, umumnya dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat saja.
  2. Hutan milik yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas tanah milik rakyat. Hutan ini ternyata cukup banyak ditemukan di wilayah pulau jawa.
  3. Hutan kemasyarakatan adalah hutan yang dibangun diatas lahan milik negara, sehingga hutan kemasyarakatan ini termasuk hutan rakyat. Hutan rakyat diawasi oleh negara namun umumnya dikelola oleh masyarakat karena hasilnya dapat dimanfaatkan namun hutan tetap terjaga kelestariannya dan terhindar dari pemanfaatan pribadi karena terawasi. Umumnya dengan cara membentuk koperasi atau usaha tani, hutan kemasyarakatan di manfaatkan. Sekelompok warga membentuk usaha ini untuk kelancaran hutan kemasyarakatan.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat, di samping Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.
Selain mengulas tentang kerangka kebijakan dan prosedur perizinan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Peran hutan kemasyarakatan dalam memperkuat hak kelola rakyat dan mengurangi konflik kehutanan serta tantangan dalam pelaksanaannya. Artikel ini diharapkan mampu menjadi jendela informasi bagi masyarakat sekitar hutan untuk memperoleh hak kelolanya dan sekaligus mendorong percepatan pencapaian target pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia.

KERANGKA KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)


Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat.

HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.

Pelaksanaan HKm dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); dan ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

PRINSIP HUTAN KEMASYARAKATAN (Hkm)

Prinsip Hkm adalah:
  • tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan;
  • pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman; 
  • mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya; 
  • menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa;
  • meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan; 
  • memerankan masyarakat sebagai pelaku utama;
  • adanya kepastian hukum; 
  • transparansi dan akuntabilitas publik; dan
  • partisipatif dalam pengambilan keputusan.

 TUJUAN HUTAN KEMASYARAKATAN (Hkm)

 Tujuan Hkm adalah:
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm adalah:
kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.
dengan ketentuan:

  • belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; 
  • menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
  • dalam hal yang dimohon berada pada hutan produksi dan akan dimohonkan untuk pemanfaatan kayu, mengacu peta indikatif arahan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.

PROSEDUR PERIZINAN dan PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)


Untuk melaksanakan HKm ada empat tahapan perizinan yang dibutuhkan, yaitu
a.    Permohon IUPHKm;
b.    Penetapan Area Kerja HKm;
c.    Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan
d.    Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK­HKm).

Permohonan IUPHKm pertama kali diajukan oleh kelompok/koperasi masyarakat dalam bentuk surat permohonan yang diajukan kepada Bupati/Walikota untuk lokasi di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau kepada Gubernur untuk yang berlokasi lintas kabupaten/kota. Di dalam surat tersebut dilampirkan proposal permohonan IUPHKm, surat keterangan kelompok dari Kepala Desa/Lurah, dan sketsa area kerja yang dimohon (memuat letak areal beserta titik koordinatnya, batas­batas perkiraan luasan areal, dan potensi kawasan hutan).

Selanjutnya Bupati/Walikota atau Gubernur meneruskan permohonan kelompok masyarakat tersebut kepada Menteri Kehutanan (Menhut) dengan menerbitkan surat usulan penetapan areal kerja (AK) HKm. Surat tersebut dilengkapi dengan peta digital calon AK HKm skala 1 : 50.000, deskripsi wilayah dan daftar nama anggota kelompok masyarakat pemohon yang diketahui camat dan kepala desa.

Setelah usulan Bupati/Walikota/Gubernur diterima Menteri Kehutanan, kemudian Kemenhut menugaskan Tim Verifikasi ke lokasi pemohon untuk melihat secara langsung kondisi calon areal HKm dan kelompok masyarakat pemohon. Tim Verifikasi terdiri dari unsur Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial (BPDAS­PS), Ditjen Planologi Kehutanan (Planhut), BPDAS, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kab/Kota setempat. Hasil Tim berupa Berita Acara Hasil Verifikasi Usulan HKm yang ditandatangani oleh seluruh anggota Tim dan diketahui oleh Kepala Dishut Propinsi dan Kab/kota setempat. Verifikasi meliputi keabsahan surat Kepala Desa/Lurah tentang keberadaan kelompok dan anggotanya, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, dan kesesuaian antara areal yang dimohonkan (hutan produksi dan hutan lindung) dengan luas areal yang diusulkan dan tidak dibebani hak.

Hasil verifikasi kemudian diteruskan kepada Menteri Kehutanan (Menhut) untuk mendapatkan penetapan Areal Kerja HKm. Areal kerja HKm merupakan satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.

Jika persyaratan terpenuhi, tim merekomendasikan calon lokasi HKm sebagai Areal Kerja (AK) HKm, dimana Ditjen BPDAS­PS meminta Ditjen Planologi untuk menelaah dan menyiapkan Peta AK­HKm untuk kemudian ditandatangani oleh Menhut. Setelah Peta AK­ HKm selesai disiapkan, selanjutnya Ditjen BPDAS­PS menyampaikan draft/konsep Surat Ketetapan (SK) Menhut tentang Penetapan AK­ HKm melalui Sekretariat Jenderal Kemenhut.

Setelah mendapatkan penetapan areal kerja HKm, langkah berikutnya adalah Bupati segera memproses dan mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) bagi kelompok, yaitu izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. IUPHKm pada HUTAN LINDUNG meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pada HUTAN PRODUKSI meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

IUPHKM bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan. IUPHKm dilarang dipindahtangankan, diagunkan, atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan, serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan. Jika ketentuan ini dilanggar maka akan dikenai sanksi pencabutan izin.

IUPHKm diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Permohonan perpanjangan IUPHKm diajukan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin berakhir. IUPHKM dapat dihapus bila jangka waktu izin telah berakhir; izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; dalam jangka waktu izin yang diberikan, pemegang izin tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan; dan secara ekologis, kondisi hutan semakin rusak.

Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan dengan berpedoman kepada tiga asas, yaitu:

  1. manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
  2. musyawarah mufakat, dan
  3. keadilan.

Selain itu, penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan juga berpedoman kepada prinsip­prinsip berikut:

  1. tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,
  2. pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman,
  3. mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya,
  4. menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa,
  5. meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan,
  6. memerankan masyarakat sebagai pelaku utama,
  7. adanya kepastian hukum,
  8. transparansi dan akuntabilitas publik,
  9. partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Pemegang IUPHKm dapat mengajukan permohonan memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK­HKm).Permohonan IUPHHK­ HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah berbentuk koperasi kepada Menteri. IUPHHK­HKm hanya dapat dilakukan areal kerja yang berada di kawasan hutan produksi dan diberikan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamannya.

HUTAN KEMASYARAKATAN: HAK KELOLA RAKYAT dan PENYELESAIAN KONFLIK


Saat ini terdapat lebih 50 juta penduduk miskin Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang menggantungkan penghidupannya akan sumberdaya hutan. Karenanya, kebijakan HKm selain bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat juga untuk mengatasi masalah kemiskinan dengan membuka akses dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat.

Dengan keberadaan Hutan Kemasyarakatan, ada beberapa manfaat yang diperoleh bagi masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:
1.    Bagi Masyarakat, HKm dapat :
  • memberikan kepastian akses untuk turut mengelola kawasan hutan,
  •  menjadi sumber mata pencarian,
  •  
    ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga, dan
  •  
    hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.
2.    Bagi pemerintah, HKm dapat :
  • sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana, dan
  •  kegiatan HKm berdampak kepada pengamanan hutan.
3.    Bagi fungsi hutan dan restorasi habitat, HKm dapat :
  • mendorong terbentuknya keanekaragaman tanaman,
  • terjaganya fungsi ekologis dan hidrologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan, dan
  • menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya.

Selain itu, HKm diharapkan mampu mengubah paradigma pengelolaan hutan yang sentralistik, yang telah menimbulkan deforestasi, marginalisasi hak­hak masyarakat, keterpinggiran budaya dan kemiskinan. Melalui HKm diharapkan perencanaan dan penetapan kawasan hutan dapat dilakukan dari bawah yaitu berdasarkan fakta lapangan yang memperhatikan keberadaan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Keberadaan HKm diharapkan mampu menyelesaikan konflik­konflik kehutanan dengan memberikan akses dan hak mengelola terkait klaim masyarakat dalam penguasaan kawasan hutan. Dalam konteks tersebut, HKm diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dan transformasi ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang membutuhkan pengakuan dan kepastian tenurial.

KEGIATAN YANG DAPAT DILAKUKAN di HKM

a. HKM  pada hutan lindung, meliputi kegiatan:
  • Pemanfaatan kawasan (budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung walet, penangkaran satwa liar, rehabilitasi hijauan makanan ternak);
  • Pemanfaatan jasa lingkungan (pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon);
  • Pemungutan hasil hutan bukan kayu (rotan, bambu, madu, getah, buah, jamur)
b. HKM pada hutan produksi meliputi kegiatan:
  • pemanfaatan kawasan; (a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa; dan f. budidaya sarang burung walet)
  • penanaman tanaman hutan berkayu
  • pemanfaatan jasa lingkungan; (a. pemanfaatan jasa aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan f. penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon)
  • pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; (a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil; b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil)
  • pemungutan hasil hutan kayu; dan
  • pemungutan hasil hutan bukan kayu. (syarat dan ketentuan berlaku)

TANTANGAN


Target HKm oleh Kemenhut hingga 2014 adalah 2 juta ha. Namun hingga akhir 2011 Kemenhut baru mendapatkan pengusulan dari Kabupaten/Kota seluas kurang lebih 700 ribu ha (35%) dan sudah diverifikasi seluas 571.000 ha (28,6%). Dari jumlah tersebut, yang sudah ditetapkan areal kerjanya seluas 177.484 (8,9%) ha dan sudah mendapatkan izin usaha pemanfaatan HKm seluas 46.435 ha (2,3%).

Belum tercapainya target tersebut, disebabkan oleh beberapa tantangan berikut:

  1. Proses penetapan Areal Kerja HKm dan IUPHKm lebih lama dari waktu yang ditentukan. Menurut aturan, proses penetapan Areal Kerja HKm oleh Menteri Kehutanan selambat­lambatnya 60 hari kerja setelah adanya usulan dari Bupati/Walikota/Gubernur. Sesudahnya, penetapan IUPHKm selambat­lambatnya 40 hari kerja setelah adanya penetapan Areal Kerja HKm. Kenyataannya tidak ada satupun penetapan Areal Kerja HKm dan penetapan IUPHKm sesuai dengan aturan tersebut dan tidak ada sanksi atas keterlambatan proses tersebut. Keterlambatan tersebut salah satunya disebabkan oleh tidak ada sinergi antar direktorat di Kemenhut untuk mendorong penyederhanaan proses perizinan HKm. Misal, antara Dirjen BPDAS­PS, BUK dan Badan Planologi, khususnya eselon tiga ke bawah yang belum memiliki kesepahaman yang sama dalam penetapan Areal Kerja HKm.
  2. Proses pemetaan yang sentralistik. Untuk memperoleh IUPHKm diperlukan peta calon lokasi HKm. Namun menurut Badan Planologi, banyak peta calon lokasi HKm yang telah dibuat tidak sesuai dengan standar perpetaan Kemenhut. Saat ini ada proses verifikasi peta yang dilakukan oleh BPDAS dan BPKH. Dalam hal ini ada pengakuan sentralistik dalam perpetaan dan ditambah lagi persoalan kebiasaan fasilitasi peta untuk perusahaan yang memberi benefit, sebaliknya untuk lokasi HKm tidak.
  3. Peraturan tentang HKm yang tidak sinkron. Dalam P.37/2007 disebutkan bahwa pene­ tapan HKm hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung saja. Sementara pada PP 6/2007 disebutkan bahwa selain hutan produksi dan hutan lindung, HKm juga dapat ditetapkan pada kawasan Konservasi (kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional). Salah satu contohnya, tidak adanya sinkronisasi peraturan tersebut menjadi kendala dalam penetapan HKm di kawasan Tahura Sumber Agung dan Talang Mulya di Lampung.
  4. HKm adalah kebijakan pemberian hak kelola hutan kepada kelompok yang sebenarnya tidak berbasis budaya masyarakat. HKm adalah pola­pola yang dikompilasi dari kelompok­kelompok dengan berbasis pada manajemen modern. Model­model pengelolaan secara kelompok ini tidak dikenal oleh masyarakat dalam sejarahnya pengelolaan hutannya.
  5. Di dalam proses pengakuan dan perizinan HKm terdapat ketidakkonsistenan pemerintah. Di dalam pasal 12 ayat 3 Permenhut P.37/2007 disebutkan bahwa fasilitasi pengembangan kelompok, pengajuan permohonan izin, penyusunan rencana kerja, hingga pemberdayaan dan pasar bagi HKm wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dibantu pemerintah provinsi. Namun kenyataan di lapangan, beberapa fasilitasi HKm dilakukan oleh LSM dengan bantuan donor, dan belum ada yang dilakukan oleh pemerintah. Dan tak jarang dalam pengajuan penetapan Areal Kerja HKm maupun IUPHKm dari tingkat masyarakat justru terbentur pada pemerintah provinsi.
  6. Terkait pembiayaan, setelah IUPHKm diperoleh, kelompok masih memiliki kewajiban yang harus dilakukan, seperti tata batas, rencana umum dan rencana operasional, pengamanan areal, penataan tata usaha pemanfaatan hasil hutan, dan laporan kerja pemanfa­ atan hasil hutan kepada pemberi izin. Serta adanya rencana pemanfaatan kayu pada kawasan Hutan Produksi jika masyarakat ingin memanfaatkannya. Seluruh kewajiban tersebut tentunya membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit bagi kelompok.
  7. Tingginya persyaratan yang harus dipenuhi dalam menyusun Rencana Umum (RU) dan Rencana Operasional (RO) menjadi kendala bagi kelompok setelah mendapatkan IUPHKM. Selain itu, ketiadaan fasilitasi dari pemerintah untuk peningkatan kapasitas dalam penyusunan RO dan RU tersebut, menjadikan kelompok tidak dapat menjalankan izin yang telah diperolehnya. Padahal, pemerintah berkewajiban dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Kenyataanya, berdasarkan pembelajaran dari beberapa kelompok HKm yang sudah berjalan, percepatan penyusunan RU dan RO tak lepas dari fasilitasi oleh LSM.
  8. Kebijakan administrasi wilayah hutan; hingga saat inibelum ada kejelasan batasan hak masyarakat untuk mengelola areal Hutan Produksi. Kesalahan pemetaan Hutan Produksi pada zaman orde baru masih menjadi acuan dalam pencadangan Areal Kerja HKm. Sehingga konflik legalitas lahan belum terselesaikan. Banyaknya kepemilikan tanah masyarakat yang sejak lama telah berada di kawasan Hutan Produksi belum tertuntaskan dengan baik. Oleh karena itu, masih diperlukan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaian persoalan ini.
  9. Hingga saat ini, belum ada satupun kelompok HKm yang mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu HKm (IUPHHK­HKm) untuk Areal Kerja HKm di Hutan Produksi, seperti yang dialami oleh Kelompok HKm di Yogyakarta dan Buleleng. Beberapa hal yang menjadi kendala proses perizinan tersebut, diantaranya:
  1. Belum adanya koordinasi antar direktorat di Kementerian Kehutanan dalam penyelesaian masalah ini. Program HKm menjadi domain Direktorat BPDAS­PS, tetapi yang mengeluarkan IUPHHK menjadi domain Direktorat Bina Usaha Kehutanan (BUK).
  2. Hal ini membuat kebingungan bagi koperasi HKm yang akan mengajukan IUPHHK. Setelah semua persyaratan telah dilengkapi, ke direktorat mana proses pengajuan ini ditujukan?
  3. Kebingungan tersebut berimplikasi menghambat proses di tingkat tapak. Sebagai contoh, untuk tindakan penjarangan tanaman. Secara teknis silvikultur, penjarangan merupakan tindakan pemeliharaan yang sesungguhnya tidak memerlukan IUPHHK. Namun secara administrasi dan tata niaga kayu, penjarangan juga tindakan pemanfaatan sehingga ketika akan dilakukan diperlukan IUHHK­ HKm.
  4. Dampak berikutnya, masyarakat anggota kelompok HKm maupun LSM melihat pemerintah belum serius dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat.




CONTOH MAKALAH
         

PENDAHULUAN

           A.    Latar Belakang
               Hutan Dulamayo merupakan salah satu hutan serbaguna (Multipe Use Forestry) yang sesuai dengan pengertiannya adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua tau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa atau keuntungan lainnya.  Dalam penerapan dan pelaksanaannya bisa menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan.  Walaupun demikian hutan serbaguna tetap merupakan kehutanan (dalam arti penekanananya pada aspek pohon, hasil hutan dan lahan hutan), dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan lahan terpadu sebagaiman agroforestry yang secara terencana diarahkan pada pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta problema masyarakat di pedesaan
               Seacara geografis Hutan Pendidikan Gunung Damar Dulamayo terletak antara 000.41”- 000.43” LU dan 1220.54”- 1230.04” BT,  masih dalam wilayah Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo.  Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara adalah Desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Pendidikan Gunung Damar Dulamayo yang disahkan oleh Menteri kehutanan RI pada bulan Oktober 2004.
               Topografi dikawasan Hutan Pendidikan Gunung Damar Dulamayo ini bervariasi dari datar hingga pegunungan dengan ketinggian rata-rata 900 dpl, tetapi pada umumnya memeiliki topografi yang berbukit-bukit dan jarak antara satu dusun dengan dusun yang lain agak sulit dijangkau karena medan apalagi pada saat musim hujan.
               Jenis tanah yang berada pada lokasi Hutan Dulamayo ini adalah ordo inceptisol.  Tanah ini terbentuk pada daerah yang mempunyai curah hujan sedang sampai tinggi.  Kandungan liat pada tanah jenis ini sangat tinggi hal ini terlihat jika saat pada musim kemarau tanahnya seperti retak sedangkan saat musim hujan terjadi genangan.
               Iklim di Hutan Dulamayo curah hujan tahunan menunjukan rata-rata 1.345 mm/tahun, curah hujan tertinggi pada bulan maret.  Daerah ini mempunyai 11 bulan basah (>100 mm) dan 1 bulan kering (,60 mm) sehingga termasuk tipe iklim A (Schmid dan Ferguson).
               Penduduk Desa Dulamayo Selatan berjumlah 2.035 jiwa dan Desa Dulamayo Utara berjumlah 1.665 jiwa,sehingga rata-rata jumlah anggota dalam satu keluarga adalah 3-4 orang dengan kepadatan penduduk berjarak 20 jiwa/km.  Tingkat kepadatan penduduk masih sangat rendah, ini berarti wilayah tersebut perbandingan antar penduduk terhadap luasan wilayahnya secara kuantitatif masih relatif keil atau dapat dikatakan bahwa ketersediaan lahan rata-rata untuk setiap penduduk masih cukup tersedia luas.  Ini mengindikasikan bahwa jumlah penduduk yang tinggal disetiap dusun masih sangat jarang dan masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari hutan dan perkebunan.
               Aksebilitas menuju desa ini relatif lancar, sarana dan prasarana yang digunakan oleh masyarakat adalah kenderaan beroda dua dan beroda empat,namun kebanyakan masyarakat setempat menggunakan kenderaan beroda dua karena kondisi jalan yang menanjak.  Waktu tempuh dari kota ke desa 1 jam 30 menit dan dari kabupaten ke desa 60 menit.
               Masyarakat  Desa Dulamayo merupakan masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar hutan mendapat akses legal untuk mengelola hutan negara dimana mereka hidup dan bersosialisasi.  Hutan negara yang dapat dikelola oleh masyarakat Dulamayo.  Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa,yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008.  Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.  Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan bupati/walikota (Pusat Informasi Kehutanan,2008).
               Untuk dapat menegelola hutan desa dulamayo ini , Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan Dulamayo yang secar fungsional berada dalam Organisasi desa.  Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan,karena itu dilarang memindahtangankan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan.  Intinya Hak pengelolaan Hutan Desa Dulamayo dilarang untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari.
            Lembaga Desa yang akan mengelola hutan ini mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui bupati/walikota.  Apabila disetujui,hak pengelolaan hutan ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun,dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali.  Dengan mendapat hak pengelolaan hutan,masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya.  Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasan,jasa lingkungan,pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.  Namun untuk di hutan lindung tidak diijinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu.
  B. Maksud dan Tujuan
a.  Maksud
               Masyarakat yang disekitar kawasan hutan dulamayo mereka telah memiliki hak penuh untuk melakukan berbagai  kegiatan usaha karena mereka merupakan penduduk asli yang telah menetap di sekitar kawasan hutan tersebut dan memiliki surat sertfikat Hak atas Pemilikan Tanah.  Sehingganya mereka Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kesempatan yang diberikan kepada mereka biasanya dengan  melakukan usaha tani seperti penanaman jenis tanaman semusim maupun tahunan disekitar areal hutan.  Jenis komoditi yang dikembangkan oleh masyarakat dulamayo sangat bervariasi dari berbagai tanaman pangan dan palawija ( jagung dan sayur-mayur), tanaman kehutanan (cengkeh,vanili,dan kemiri),tanaman obat-obatan ( Jahe,temulawak,kunyit), tanaman buah-buahan (langsat, durian, coklat), dan tanaman penghasil lainnya yang tidak  kalah penting seperti tanaman perkebunan.    tetapi yang memiliki nilai yang tertinggi yaitu jagung karena jagung merupakan sumber bahan makanan sekunder dan untuk yang ke enam  jenis ini merupakan sebagai sumber penghasil uang tunai utama bagi masyarakat. Jenis ini selain dikomersilkan ada juga yang disubsitenkan (dipakai sendiri).
b.  Tujuan
            Pada kawasan Hutan Pendidikan Gunung Damar Dulamayo,hasil pertanian yang diperoleh masyarakat sekitar untuk menutupi kebutuhan hidupnya tidaklah cukup.Oleh karena itu, disamping bertani mereka juga melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan ( seperti pengambilan kayu illegal ),yang memberikan dampak negatif dilingkungan sekitarnya yaitu terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir serta musim kemarau yang berkepanjangan. Dan pemanfatan lahan secara sosial masyarakat di Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara bukanlah masyarakat yang terisolasi, namun tingginya kebutuhan ekonomi yang sangat dirasakan oleh masyarakat menyebabkan mereka melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan yang seringkali bersifat negatif sehingga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan alam sekitarnya.
            Masyarakat yang menggantungkan hidupnya secara langsung atau tidak langsung dari hutan ( dan Lahan hutan )jumlahnya tergolong tidak kecil. Bentuk usaha tani hutan yang dilakukan sebagian masyarakat sekitar hutan saat ini adalah pembukaan lahan untuk penanaman tanaman perkebunan dan pertanian.  Intinya mereka melakukan semuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERMASALAHAN
               Terdapat lima isu strategis yang perlu diperhatikan dalam implementasi ”Rencana Makro Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan ” sebagai respon dari kondisi umum masyarakat didalam dan disekitar hutan sebagaimana diuraikan sebagai berikut
v  Pertama, isu kebijakan
v  Kedua, isu  sosial ekonomi
v  Ketiga,isu kelembagaan
v  Keempat, isu sumber daya manusia
v  Kelima,isu sumber daya hutan
1. Isu Kebijakan
            Terdapat empat isu kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan,yaitu: terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan, tingginya ketergantungan masyarakat terhadap program pemerintah dan pihak lainnya, pemberdayaan masyarakat tidak tepat sasaran, dan kebijakan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang tidak konsisten.


a.       Isu Kebijakan I
               Konsekuensi dari terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan adalah kurangnya rasa kepemilikan masyarakat terhadap sumber daya hutan,terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh pendapatan,ketidakpastian pengelolaan hutan oleh masyarakat, rendahnya pemanfaatan potensi sumber daya hutan oleh masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan meningkatnya gangguan terhadap sumber daya hutan.
b.      Isu kebijakan 2
               Permasalahan lain dalam lingkup kebijakan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan adalah tingginya ketergantungan masyarakat terhadap program pemerintah dan pihak lainnya.  Hal ini berujung pada rendahnya inisiatif dan inovasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga masyarakat menjadi pasif dan tidak mandiri.  Selain itu, tingginya ketergantungan masyarakat terhadap program pemerintah dan pihak lainnya juga berakibat pada lemahnya aspirasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan.
c.       Isu Kebijakan 3
                        Isu kebijakan penting lainnya adalah program pemberdayaan masyarakat yang tidak tepat sasaran.  Program pemberdayaan yang tidak tepat sasaran ini mengakibatkan pemborosan dana , waktu, dan tenaga.  Selain itu pengembangan potensi masyarakat menjadi tidak optimal dan masyarakat semakin tidak berdaya dalam pemanfaatan sumber daya hutan.  Akibatnya masyarakat sekitar hutan tetap miskin dan muncul kecemburuan sosial di antara anggota masyaraat, yang bermuara pada semakin tidak harmonisnya hubungan masyarakat dan sumber daya hutan.
d.      Isu Kebijakan 4
               Selain program pemberdayaan masyarakat yang tidak tepat sasaran kebijakan pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan yang tidak konsisten juga merupakan masalah yang harus segera ditangani secara sungguh-sungguh.  Kebijakan yang tidak mengakibatkan kerusakan sumber daya hutan yang semakin hebat, upaya pengembangan ekonomi masyarakat.  Selain itu kebijakan yang tidak konsisten juga membingungkan masyarakat dan menurunkan kepercayaan masyarakat  kepada pemerintah yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat.  Hal ini berarti program pemberdayaan masyarakat tidak efisien dan berpotensi memicu konflik diantara pihak.
2. Isu Sosial Ekonomi
            Selain berkaitan dengan isu kebijakan, pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan berkaitan erat dengan isu sosial ekonomi.  Berdasarkan analisis kondisi saat ini, ada tiga permasalahan sosial ekonomi yang harus diselesaikan dalam pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan,yaitu: rendahnya pendapatan,kurangnya lapangan kerja, rendahnya kesehatan, tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya jejaring informasi,dan terbatasnya modal ekonomi masyarakat.
a.       Isu Sosial Ekonomi I
            Konsekuensi dari rendahnya pendapatan masyarakat adalah sumber daya hutan cenderung semakin rusak, masyarakat semakin sulit mengembangkan potensi diri, standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat berpastisipasi dalam program pembangunan.terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat berpastisipasi dalam program pembangunan.
b.      Isu Sosial Ekonomi 2
            Kurangnya lapangan kerja yang tersedia menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada sumber daya hutan dan masyarakat cenderung melegalkan segala cara dalam mengeksploitasi sumber daya hutan.  Kurangnya lapangan kerja mengakibatkan banyak pengangguran maupun setengah penganggur, sehingga produktivitas masyarakat rendah dan mudah dihasut untuk melakukan kegiatan apapun.  Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan semakin terancam.
c.       Isu Sosial Ekonomi 3
            Rendahnya Tingkat kesehatan juga meruapakan tantangan yang harus diatasi dalam pemberdayaan masyarakat, sebab tingkat kesehatan yang rendah mengakibatkan rendahnya potensi sumberdaya manusia kehutanan yang ditandai dengan rendahnya kinerja,produktivitas, dan mobilitas sehingga masyarakat menjadi urangmampu berpastisiasi dalam pembangunan kehutanan.
3. Isu Kelembagaan
            Aspek kelembagan merupakan salah satu hal terpenting dalam rencana pemberdayaan masyarakat didalam dan sekitar hutan .  ada tiga isu pokok dalam aspek kelembagaan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan yakni :

a.       Isu Kelembagaan I
            Isu pertama yakni kurangnya peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder),baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan/atau esenjangan kegiatan sehingga tida efektif dan efisien.   Hal ini juga berakibat pada sulitnya menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi sumberdaya hutan secara optimal yang bermuara pada kurang optimalnya kegiatan pemberdayaan masyarakat.  Akhirnya, akibat dari kurangnya peran dan sinergitas diantar pihak maka laju pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan menjadi lambat.
b.      Isu kelembagaan 2
                  Permasalahan kelembagaan lainnya adalah lemahnya akses masyarakat terhadap masyarakat (finansial,lahan,saprodi),pasar,iptek,informasi,dan     dalam proses pengambilan kebijakan.  Hal ini menyebabkan masyarakat      tetap dalam kondisi marginal dan apatis sehingga kegiatan pemberdayaan   masyarakat untuk memperoleh modal pengembangan terbatas.  Akhirnya,        masalah lemahnya akses masyarakat terhadap modal mengakibatkan            masalah turunan yaitu program pemberdayaan masyarakat bersifat top        down dan tidak tepat sasaran.
c.       Isu Kelembagaan 3
            Terakhir, aspek kelembagaan yang perlu dibenahi adalah lemahnya data  dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kurangnya kepedulian terhadap data.  Lemahnya data dan informasi mengakibatkan rendahnya akurasi dan kepedulian terhadap data adalah releksi dari perencanaan yang ceroboh atau terkesan asal jadi.  Dalam tataran implementasi kebijakan terjadi kesenjangan informasi sehingga pengelolaan sumber daya hutan kurang optimal.  Akibat lemahnya data dan informasi, potensi masyarakat tidak dapat tergali secara optimal, sehingga sulit melakukan evaluasi dan akhirnya terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan.
4. Isu Sumber Daya Manusia
            Secara umum ada 2 isu penting yang menyangkut sumber daya manusia dalam pemberdayaan  masyarakat didalam dan sekitar hutan, yakni pertama, kurangnya kemampuan ( kuantitas dan kualitas) aparat pemerintah dalam memfasilitas pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kedua, kemampuan sumber daya manusia rendah (masyarakat,  pemerintah, pengusaha hutan) termasuk dalam mengemukakan pendapat.
a.       Isu Sumber Daya Manusia 1
            Kurangnya kemampuan (kuantitas dan kualitas) aparat pemerintah dalam memfasilitasi pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan, berakibat kegiatan pemberdayaan kurang memperhatikan proses, pencapaian tujuan dan sasaran program kurang optimal, kegiatan usaha produktif masyarakat tidak berjalan lancar, masyarakat tetap tidak berdaya, daya inovasi kurang, dan informasi kemasyarakat bias.  Selanjutnya, program pemberdayaan menjadi tidak terintegritasi dan berpotensi terjadi penyimpangan yang bermuara pada rendahnya kualitas pelayanan.
b.      Isu Sumber Daya Manusia 2
            Rendahnya kemampuan SDH (masyarakat, pemerintah, pengusaha hutan) meneyebabkan sumber daya manusia tidak adptif dan membuka celah terjadinya miskomunikasi dan disinformasi sehingga pelaksanaan program dan pencapaian sasaran kegiatan pemberdayaan tidak efektif.  Secara umum akibat rendahnya kemampuan SDM maka penyerapan program juga menjadi rendah dan rendahnya kemampuan masyarakat mengemukakan pendapat berdampak pada cukup sulitnya menangkap aspirasi masyarakat dalam melaksanakan program pemberdayaan.
5. Isu Sumber Daya Hutan
            Ada dua isu penting yang berkaitan dngan sumber daya hutan serbaguna dalam hubungannya dengan program pmverdayaan masyarakat disektor khutanan, yaitu : smakin lusanya hutan yang rusak ,ketergantungan masyarakat terhadap sumbr daya hutan .
a.       Isu Sumber Daya Hutan 1
            Konskunsi dari semakin luasnya hutan yang rusak adalah kehidupan masyarakat sekitar hutan semain sulit,total produksi sumber daya hutan menurun, dan turunnya kualitas lingkungan (iklim, kenaekaragaman hayati, banjir, longsor, kekeringan, hama dan penyakit, bentang alam).
b.      Isu Sumber Daya Hutan 2
            Isu sumber daya hutan juga berkaitan erat dengan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan serbaguna mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan semakin besar dan hutan semakin sempit.  Namun disi lain, dengan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan maka (diharapkan) kesadaran masyarakat menjaga dan memelihara kelestarian sumber daya hutan juga semakin besar.
               Sejak awal reformasi dan otonomi daerah, dalam pengolahan kawasan hutan dan lahan telah terjadi tarik menarik antara pemerintah pusat dengan pemrintah daerah (propinsi dan gorontalo) dalam hal pengaturan wewewnang dan tanggung jawab pengelolaan hutan.  Pemerintah daerah yang selama ini hanya hanya menunggu petunjuk dan aturan dari pusat dalam mengelola sumberdaya hutan sudah memeiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.  Kerancuan dan perbedaan pemahaman dalam pengelolaan hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menyebabkab semakin merosotnya mutu sumber daya hutan dengan semakin maraknya illegal loging (penebangan liar) dan perambahan kawasan hutan dimana-mana. Dan masih begitu banyak masalah yang terjadi di kawasan hutan antara lain :
Ø  Belum jelasnya acuan dalam menentukan batas wilayah administrasi dalam kawasan hutan
Ø  Keberadaan desa dan pemukiman dalam kawasan hutan
Ø  Sistem tata hubungan kerja pusat  dan daerah dalam pemberian akses,fasilitas pembinaan,pengendalian HKm dan hutan desa
Ø  Pendanaan fasilitasi peningkatan Kapasitas masyarakat di kabupaten belum jelas Sumbernya.
Ø  Tanaman hasil rehabilitasi (dana pemerintah) dalam areal HKm.
Ø  Areal Hutan Dulamayo yang akan ditetapkan masuk areal HTR yang sudah ditetapkan Menhut.  Karena terdapat tanaman hasil rehabilitasi tidak mungkin dapat diterbitkan ijin HTR..



B.TINDAK LANJUT
            Untuk mengatasi semua masalah yang terjadi diantara kawasan hutan serba guna antara lain:
1.       Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).  Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.  Tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian  pasti sudah punah.  Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan cara mendorong , memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilkinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
2.       Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat.  Penguatan ini meliputi pembukaan ases kepada berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat kawasan hutan dulamamyo menjadi makin berdaya serta langkah-langkah peningkatan taraf pendidikan,derajat kesehatan serta akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar.  Masukan pemberdayaan dapat berupa pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah, fasilitas pelayanan  kesehatan yang yang dapat di akses masyarakat lapisan terbawah serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran di pedesaan dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.  Untuk itu perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.  Pemberdayaan selain menguatkan individu anggota masyarakat,juga pranata-pranatanya, pembaharuan kelembagaan sosial dan ekonomi serta pengintegrasinya ke dalam kegiatan social forestry.
3.       Memberdayakan juga mengandung arti melindungi.  Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah makin bertambah lemah oleh karena kekurangan berdayaan dalam mengahadapi yang kuat.  Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.  Adanya peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangatlah diperlukan.  Pemberdayaan masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian, karena setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri.
4.       Mengadakan Penyusunan perjanjian kerjasama.  Dalam proses penyusunan perjanjian kerjasama yang terlibat antara lain perum perhutani, Pemerintah Daerah, Kecamatan, Desa dan stakeholder lainny.  Hasilnya berupa Nota Kesepakatan kerjasama atau Perjanjian kerjasama antar MDH dan Perhutani atau antara MDH, Perhutani, dan stakeholder.  Untuk meningkatkan kepercayaan antar pihak-pihak yang bekerjasama, Nota Kerjasama Perjanjian Kerjasama tersebut dilegalisasi oleh Notaris.  Artinya bahwa kedua belah pihak telah terikat secara hukum untuk bekerja sama, mungkin dalam hal pembiayaan , pengelolaan, permodalan, pemasaran hasil, pembagian keuntungan, dan lain-lain  sesuai kesepakatan yang telah disetujui bersama .
            Perjanjian bersama dapat berlaku untuk jangka waktu I (satu) daur tanaman pokok atau tanaman buah-buahan yang disepakati bersama dan berlaku terhitung sejak surat perjanjian  ditandatangani.  Namun dapat pula perjanjian kerjasama tersebut berlaku hanya satu kali musim tanam seperti tanaman pisang, vanili, dan lain-lain yang diusahakan melalui pemanfaatan lahan dibawah tegakan (PLDT) atau lahan pasca tebangan.  Perjanjian kerjasama umumnya dievaluasi setia I tahun dan bila salah satu pihak melanggar kesepakatan maka dapat dikenai sanksi.  Bila jangka waktu tersebut telah berakhir, dapat dilakukanm perjanjian kerjasama kembali sesuai dengan kesepakatan para pihak.
            Jika semua ini dilakukan dengan baik maka kawasan hutan akan dalam keadaan baik dan terus memberikan fungsi yang serbaguna terhadap kita semua sesuai dengan fungsinya .



BAB III

PENUTUP

a.      Kesimpulan
Ø  Hutan Serba Guna ( Multipe Use Forestry) adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa atau keuntungan lainnya.
Ø  Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan Dulamayo yang secara fungsional berada dalam Organisasi desa.
Ø  Terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan
Ø  Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap program pemerintah dan pihak lain dari segi kebijakan
Ø  Tingginya jumlah penduduk miskin dari segi sosial ekonomi
Ø  Lemahnya akses masyarakat terhadap modal, pasar, iptek, an dalam proses pengambilan kebijakan ari segi kelembagaan.
Ø  Kemampuan sumberdaya manusia rendah termasuk dalam mengemukakan pendapat dari segi sumberdaya manusia.
Ø  Kehidupan masyarakat sekitar hutan semakin sulit semakin luas hutan rusak dan ketergantungan masyarakat terhadap SDH hal ini dari segi sumberdaya hutan
Ø  Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
b.      Saran
                  Pemateri menyarankan agar pemerintah terus meningkatkan Program Pembinaan masyarakat Desa Hutan Dulamayo (PMDHD) yang bertujuan untuk  menciptakan lapangan kerja, kesempatan  berusaha, meningkatkan pendapatan penduduk dan mendorong pertumbuhan ekonomi desa.  Sasaran utama pembinaan masyarkat desa hutan ini ditujukan kepada masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, dengan harapan bahwa bila kesejahteraannya meningkat,maka akan timbul ”rasa memiliki” terhadap hutan dan selanjutnya hutan terpelihara dengan baik.

                                                        DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2003.  kerusakan hutan makin luas.  Kompas, 26 september 2000.Jakarta
(http://fiqihsantoso.wordpress.com/2008/06/17/konsep dan metode pemberdayaan masyarakat )
Awang,S., dkk. 2002.  Kehutanan Masyarakat dan Problematika  Lokal.Konsep dan Metode Pemberdayaan Masyarakat Indonesia.
Helmi. 2006.  perjuangan menuju kepastian pengelolaan hutan oleh masyarakat dalam.

1 komentar:

  1. Hutan sangat bermanfaat bagi makhluk hidup yang ada di muka bumi maka, kami harus menjaga hutan untuk generasi yang akan datang

    BalasHapus