KEBIJAKAN DAN PERUNDANGAN KEHUTANAN
1. PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia menjadi pusat perhatian bukan saja di regional, bahkan sampai internasional. Kebakaran hutan ini meningkatkan suhu permukaan bumi dan mengancam pencairan suhu es di kutub utara. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun kebijakan-kebijakan serta peratiran perundang-undangan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Berikut beberapa kebijakan dan peraturan yang ada di Indonesia mengenai kebakaran hutan dan lahan:
1.1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
* Psl 6(1): kewajiban memelihara kelestarian fungsi Lingkungan Hidup
* Psl 25(1): sanksi administrasi-kewenangan gubernur/bupati/walikota memaksa penanggung jawab usaha utk mencegah/mengakhiri pelanggaran
* Psl 41(1): sanksi sengaja merusak LH-penjara (max 10 th), denda (max Rp 500 jt)
* Psl 42(1): sanksi alpa merusak LH- penjara (max 3 th), denda (max Rp 100jt)
* Sanksi bersifat kumulatif, bukan alternatif
* Tindakan tata tertib: perampasan keuntungan, penutupan perush., perbaikan, dll.
1.2 Undang-Undang Namor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1). Pemerintah rnengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan (Pasai 48, ayat 1).
1.3 UU No.18/2004 tentang Perkebunan
* Psl. 25 (1): usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi LH
* Psl. 26 : larangan membuka lahan dengan pembakaran
* Psl. 48(1): pembakaran sengaja-penjara (max 10 th), denda (max Rp 10 milyar)
* Psl. 49(1): lalai membakar-penjara (max 3 th), denda (max Rp 3 milyar)
* Sanksi kumulatif
1.4 UU No.19/2004 tentang Kehutanan
– Psl. 47(a): Perlindungan hutan dan kawasan hutan.
– Psl 48(3): kewajiban pengelola hutan melindungi hutan
– Psl.50 (1): larangan merusak sarana/prasarana perlindungan hutan
– Psl. 78(3): sengaja : penjara (max 15 th), denda (max 5 milyar)
– Psl.50(3): lalai: penjara (max 5 th), denda (max1.5 milyar)
1.5 PP No.4/2001: Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran LH yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan
Ruang lingkup PP ini antara lain :
– Kriteria baku Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup dan kebakaran hutan dan lahan,
– Tata laksana Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian,
– penanggulangan, dan
– Pemulihan Dampak
Peraturan Pemerintah ini memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
1.5 PP No.45/2004 tentang Perlindungan Hutan
Bab III: Ketentuan Umum, Pengendalian Kebakaran, Pencegahan, Pemadaman, Penanganan Pasca, Tanggung jawab pidana perdata
2. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebijakan Kemeneterian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga yaitu :
1. Kelembagaan
2. Operasional, dan
3. Peningkatan Peran serta dan pemberdayaan masyarakat
Kebijakan tersebut sesuai dengan rencana startegis dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran hutan.
1. Kelembagaan dan keorganisasian
Pasca kebakaran hutan besar tahun 1982/83 yang menghanguskan lebih kurang 3,2 juta ha hutan di Inndonesia, maka terbentuklah Departemen Kehutanan yang di dalamnya terdapat Seksi Kebakaran Hutan (Eselon IV) di bawah Sub Direktorat Pengamanan Hutan, Direktorat Perlindungan Hutan. Permasalahan kebakaran hutan kian hari terus meningkat, terbukti dengan kejadian kebakaran hutan tahun 1987, 1991, dan 1994. Pada tahun 1994, kemudian Departemen Kehutanan meningkatkan Seksi Kebakaran Hutan menjadi Sub Direktorat Kebakaran Hutan (Eselon III) di bawah Direktorat Perlindungan Hutan. Tahun 1994/1995 isu kebakaran hutan berkembang menjadi isu transboundary haze pollution, isu regional bahkan internasional. Atas kejadian itu dan mengingat diperlukan koordinasi yang lebih mantap maka dibentuklah secara bersama-sama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS) oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan BAPEDAL membentuk Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL). Tahun itu pula maka mulailah dirancang pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA), Satuan Pelaksana (SATLAK). Secara bertahap terbentuklah organisasi non-structural tersebut di seluruh propinsi di Indonesia.
Tahun 2000, Departemen Kehutanan kembali menaikkan status organisasi kebakaran dari Sub Direktorat menjadi Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan (Eselon II). Sedangkan BAPEDAL juga meningkatkan organisasi pengelola kebakaran setingkat Eselon II. Tahun 2000, proses desentralisasi berjalan dan daerah mulai aktif membentuk organisasi-organisasi baru baik yang secara langsung menangani kebakaran hutan dan lahan atau secara implisit menyatu dalam job discripsinya (penjabaran pekerjaan).
Organisasi yang dibentuk tingkat nasional terdiri dari :
1. BAKORNAS-PB&P (UU No.24/2007)
2. PUSDALKARHUTNAS
3. PUSDALOPS (acuannya PP No.45/2004) dan Kep. Dirjen PHKA No.21/KPTS/DJ-IV/2002 Tahun 2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia
4. BMG, LAPAN,BPPT, Perg. Tinggi, BASARNAS, AU,,Proyek BLN, dll
5. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat nasional
Selain tingkat pusat, organisasi yang dibentuk untuk penanganan pengendalian kebakaran hutan tingkat propinsi seperti :
1. SATKORLAK-PB&P
2. PUSDALKARHUTLA
3. BAPEDALPROP
4. BRIGDALKARHUT
5. St.BMG,Perg. Tinggi, Tim SAR, AU, TNI/POLRI, LINMAS, Proyek BLN
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat propinsi
Adapun untuk tingkat Kabupaten/Kota seperti :
1. SATLAK-PB&P
2. DAMKARHUTLA
3. BAPEDALKAB
4. BRIGDALKARHUT DAOPS
5. St.BMG,Perg. Tinggi, TNI/POLRI, LINMAS
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kabupaten
Untuk Tingkat Kecamatan seperti :
1. SATGAS-PB&P
2. Regu Pemadam Kebakaran
3. Satgas Damkar lahan
4. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kecamatan
Gambar 1. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Kementerian Kehutanan
Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa PUSDALOPS berada pada Eselon I PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). Pusdalops merupakan eselon 2 dan mempunyai sekretariat. Brigdalkarhut berada di Unit Pelaksana Teknis PHKA yang berada di propinsi. Brigdalkarhut hanya ada di Balai/Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Di bawah Brigadir Pengendalian Kebakaran Hutan ada Brigdalkarhut Daerah Operasi tertentu berdasarkan kabupaten dan berada di Seksi Konservasi Wilayah atau unit Taman Nasional.
Gambar 2. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Propinsi
Pengendalaian kebakaran hutan di Indonesia terdiri dari beberapa instansi yang berkepentingan. Sistem koordinasi sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan sehingga pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan dapat lebih efektif dan efisien.
Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
Berdasarkan kerangka sistem koordinasi pada gambar 3, dapat dijelaskan beberapa peranan lembaga yang dibentuk pada tingkat pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, sampai pada tingkat Kecamatan.
1. Tingkat Nasional
a. BAKORNAS-PB&P (Pusdalkarhutnas) :
Berfungsi untuk perumusan dan penetapan kebijakan yang cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
b. Dirjen PHKA
Berfungsi memegang komando sebagai Pusdalops di tingkat nasional bagi jajaran instansi kehutanan di daerah, khususnya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional.
c. BMG
Berfungsi koordinator dalam menyebarluaskan informasi iklim dan cuaca, terutama prediksi musim kemarau dan kejadian El Nino
d. LAPAN
Berfungsi menyebarluaskan informasi hotspot baik jumlah maupun pola penyebarannya
e. BPPT
Berfungsi membangun Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 3. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
f. Perguruan Tinggi
Berfungsi mengembangkan ipteks pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta berperan sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus kebakaran
g. BASARNAS
koordinator pada kebakaran hutan dan lahan meluas dan sulit dikendalikan oleh SDM di tingkat daerah
h. AURI
berperan pada saat kondisi kebakaran hutan dan lahan sulit dikendalikan dan memerlukan pemadaman dari udara dan pelaksanaan hujan buatan
i. BLN
bantuan peningkatan kapasitas SDM maupun bantuan teknis dan peralatan, sarana dan prasarana
2. Tingkat Daerah
a. Propinsi
• Gubernur
bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota (Pasal 27 PP No.4/2001)
• wakil gubernur
sebagai Kepala Pusdalkarhutla memegang kendali koordinasi antar para pihak terkait di daerah masing-masing.
• Bapedalda
menjadi Sekretariat Bersama untuk Pusdalkarhutla di daerah yang sekaligus di bawah koordinasi KLH
• Dinas Kehutanan/Perkebunan Provinsi :
Berfungsi berada di bawah komando Kepala Pusdalkarhutla Provinsi, dan melakukan koordinasi dengan perusahaan HPH/HTI maupun perkebunan dalam upaya pengendalian kebakaran
• BKSDA/BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur)
sebagai Kepala Brigdalkar (Manggala Agni) mengkoordinasikan kegiatan pengendalian kebakaran hutan di tingkat provinsi
b. Kabupaten
• Bupati sebagai Ka SATLAK PBP
Mengkoordinir unsur-unsur terkait di tingkat Kabupaten
• Bapedalkab
berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi dalam hal penyebarluasan informasi hotspot dan penanganan kasus-kasus kebakaran/pembakaran. Koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten
• Balai Taman Nasional
sebagai Daops (Daerah Operasi) mendapatkan komando langsung dari Dirjen PHKA dan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten dan BKSDA
Gambar 4. Mekanisme Koordinasi dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
3. Tingkat Masyarakat /Lapangan
a. Koordinasi di bawah komando Camat dibantu oleh Kades/lurah.
b. Satgas Damkar yang berasal dari unsur masyarakat, aparat kehutanan, dan perusahaan saling berkoordinasi terutaman dalam upaya mobilisasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
c. Masyarakat Peduli Api (MPA).
2. Operasional
Kebijakan Kementerian Kehutanan dalam bidang operasional pada dasarnya terdiri dari 3 aspek :
1. Pencegahan Kebakaran Hutan, seperti :
• Kampanye Penyadaran Masyarakat
• Peningkatan teknologi pencegahan seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan
• Pembangunan fisik pencegahan kebakaran hutan seperti embung, green belt, menara pengawas, dll.
• Pemantapan perangkat lunak
2. Pemadaman Kebakaran Hutan, seperti :
• Peningkatan teknologi pemadaman
• Operasi pemadaman (dini dan pemadaman lanjutan).
• Penyelamatan dan evakuasi
3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan, seperti :
• Monitoring, evaluasi dan inventarisasi hutan bekas kebakaran.
• Sosialisasi dan penegakan hukum
• Rehabilitasi
3. Peningkatan Peran serta dan Pemeberdayaan Masyarakat
Kebijakan terakhir dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan adalah peningkatan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan. Masyarakat sekitar kawasan rawan kebakaran adalah komponen yang langsung berhadapan jika terjadi kebakaran hutan atau lahan. Mengingat pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, untuk itu kementerian kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan keorganisasian berbasis masyarakat. Contoh keorganisasian yang berbasis masyarakat adalah Masyarakat Peduli Api, dan Kelompok Peduli Api. Hal melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.12/Menhut-II/2009 pasal 34 sampai dengan pasal 38 yang mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat dan peran serta masyarakat
II. MATERI
III.
PENUTUP
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia menjadi pusat perhatian bukan saja di regional, bahkan sampai internasional. Kebakaran hutan ini meningkatkan suhu permukaan bumi dan mengancam pencairan suhu es di kutub utara. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun kebijakan-kebijakan serta peratiran perundang-undangan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Berikut beberapa kebijakan dan peraturan yang ada di Indonesia mengenai kebakaran hutan dan lahan:
1.1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
* Psl 6(1): kewajiban memelihara kelestarian fungsi Lingkungan Hidup
* Psl 25(1): sanksi administrasi-kewenangan gubernur/bupati/walikota memaksa penanggung jawab usaha utk mencegah/mengakhiri pelanggaran
* Psl 41(1): sanksi sengaja merusak LH-penjara (max 10 th), denda (max Rp 500 jt)
* Psl 42(1): sanksi alpa merusak LH- penjara (max 3 th), denda (max Rp 100jt)
* Sanksi bersifat kumulatif, bukan alternatif
* Tindakan tata tertib: perampasan keuntungan, penutupan perush., perbaikan, dll.
1.2 Undang-Undang Namor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1). Pemerintah rnengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan (Pasai 48, ayat 1).
1.3 UU No.18/2004 tentang Perkebunan
* Psl. 25 (1): usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi LH
* Psl. 26 : larangan membuka lahan dengan pembakaran
* Psl. 48(1): pembakaran sengaja-penjara (max 10 th), denda (max Rp 10 milyar)
* Psl. 49(1): lalai membakar-penjara (max 3 th), denda (max Rp 3 milyar)
* Sanksi kumulatif
1.4 UU No.19/2004 tentang Kehutanan
– Psl. 47(a): Perlindungan hutan dan kawasan hutan.
– Psl 48(3): kewajiban pengelola hutan melindungi hutan
– Psl.50 (1): larangan merusak sarana/prasarana perlindungan hutan
– Psl. 78(3): sengaja : penjara (max 15 th), denda (max 5 milyar)
– Psl.50(3): lalai: penjara (max 5 th), denda (max1.5 milyar)
1.5 PP No.4/2001: Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran LH yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan
Ruang lingkup PP ini antara lain :
– Kriteria baku Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup dan kebakaran hutan dan lahan,
– Tata laksana Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian,
– penanggulangan, dan
– Pemulihan Dampak
Peraturan Pemerintah ini memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
1.5 PP No.45/2004 tentang Perlindungan Hutan
Bab III: Ketentuan Umum, Pengendalian Kebakaran, Pencegahan, Pemadaman, Penanganan Pasca, Tanggung jawab pidana perdata
2. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebijakan Kemeneterian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga yaitu :
1. Kelembagaan
2. Operasional, dan
3. Peningkatan Peran serta dan pemberdayaan masyarakat
Kebijakan tersebut sesuai dengan rencana startegis dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran hutan.
1. Kelembagaan dan keorganisasian
Pasca kebakaran hutan besar tahun 1982/83 yang menghanguskan lebih kurang 3,2 juta ha hutan di Inndonesia, maka terbentuklah Departemen Kehutanan yang di dalamnya terdapat Seksi Kebakaran Hutan (Eselon IV) di bawah Sub Direktorat Pengamanan Hutan, Direktorat Perlindungan Hutan. Permasalahan kebakaran hutan kian hari terus meningkat, terbukti dengan kejadian kebakaran hutan tahun 1987, 1991, dan 1994. Pada tahun 1994, kemudian Departemen Kehutanan meningkatkan Seksi Kebakaran Hutan menjadi Sub Direktorat Kebakaran Hutan (Eselon III) di bawah Direktorat Perlindungan Hutan. Tahun 1994/1995 isu kebakaran hutan berkembang menjadi isu transboundary haze pollution, isu regional bahkan internasional. Atas kejadian itu dan mengingat diperlukan koordinasi yang lebih mantap maka dibentuklah secara bersama-sama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS) oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan BAPEDAL membentuk Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL). Tahun itu pula maka mulailah dirancang pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA), Satuan Pelaksana (SATLAK). Secara bertahap terbentuklah organisasi non-structural tersebut di seluruh propinsi di Indonesia.
Tahun 2000, Departemen Kehutanan kembali menaikkan status organisasi kebakaran dari Sub Direktorat menjadi Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan (Eselon II). Sedangkan BAPEDAL juga meningkatkan organisasi pengelola kebakaran setingkat Eselon II. Tahun 2000, proses desentralisasi berjalan dan daerah mulai aktif membentuk organisasi-organisasi baru baik yang secara langsung menangani kebakaran hutan dan lahan atau secara implisit menyatu dalam job discripsinya (penjabaran pekerjaan).
Organisasi yang dibentuk tingkat nasional terdiri dari :
1. BAKORNAS-PB&P (UU No.24/2007)
2. PUSDALKARHUTNAS
3. PUSDALOPS (acuannya PP No.45/2004) dan Kep. Dirjen PHKA No.21/KPTS/DJ-IV/2002 Tahun 2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia
4. BMG, LAPAN,BPPT, Perg. Tinggi, BASARNAS, AU,,Proyek BLN, dll
5. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat nasional
Selain tingkat pusat, organisasi yang dibentuk untuk penanganan pengendalian kebakaran hutan tingkat propinsi seperti :
1. SATKORLAK-PB&P
2. PUSDALKARHUTLA
3. BAPEDALPROP
4. BRIGDALKARHUT
5. St.BMG,Perg. Tinggi, Tim SAR, AU, TNI/POLRI, LINMAS, Proyek BLN
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat propinsi
Adapun untuk tingkat Kabupaten/Kota seperti :
1. SATLAK-PB&P
2. DAMKARHUTLA
3. BAPEDALKAB
4. BRIGDALKARHUT DAOPS
5. St.BMG,Perg. Tinggi, TNI/POLRI, LINMAS
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kabupaten
Untuk Tingkat Kecamatan seperti :
1. SATGAS-PB&P
2. Regu Pemadam Kebakaran
3. Satgas Damkar lahan
4. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kecamatan
Gambar 1. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Kementerian Kehutanan
Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa PUSDALOPS berada pada Eselon I PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). Pusdalops merupakan eselon 2 dan mempunyai sekretariat. Brigdalkarhut berada di Unit Pelaksana Teknis PHKA yang berada di propinsi. Brigdalkarhut hanya ada di Balai/Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Di bawah Brigadir Pengendalian Kebakaran Hutan ada Brigdalkarhut Daerah Operasi tertentu berdasarkan kabupaten dan berada di Seksi Konservasi Wilayah atau unit Taman Nasional.
Gambar 2. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Propinsi
Pengendalaian kebakaran hutan di Indonesia terdiri dari beberapa instansi yang berkepentingan. Sistem koordinasi sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan sehingga pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan dapat lebih efektif dan efisien.
Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
Berdasarkan kerangka sistem koordinasi pada gambar 3, dapat dijelaskan beberapa peranan lembaga yang dibentuk pada tingkat pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, sampai pada tingkat Kecamatan.
1. Tingkat Nasional
a. BAKORNAS-PB&P (Pusdalkarhutnas) :
Berfungsi untuk perumusan dan penetapan kebijakan yang cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
b. Dirjen PHKA
Berfungsi memegang komando sebagai Pusdalops di tingkat nasional bagi jajaran instansi kehutanan di daerah, khususnya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional.
c. BMG
Berfungsi koordinator dalam menyebarluaskan informasi iklim dan cuaca, terutama prediksi musim kemarau dan kejadian El Nino
d. LAPAN
Berfungsi menyebarluaskan informasi hotspot baik jumlah maupun pola penyebarannya
e. BPPT
Berfungsi membangun Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambar 3. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
f. Perguruan Tinggi
Berfungsi mengembangkan ipteks pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta berperan sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus kebakaran
g. BASARNAS
koordinator pada kebakaran hutan dan lahan meluas dan sulit dikendalikan oleh SDM di tingkat daerah
h. AURI
berperan pada saat kondisi kebakaran hutan dan lahan sulit dikendalikan dan memerlukan pemadaman dari udara dan pelaksanaan hujan buatan
i. BLN
bantuan peningkatan kapasitas SDM maupun bantuan teknis dan peralatan, sarana dan prasarana
2. Tingkat Daerah
a. Propinsi
• Gubernur
bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota (Pasal 27 PP No.4/2001)
• wakil gubernur
sebagai Kepala Pusdalkarhutla memegang kendali koordinasi antar para pihak terkait di daerah masing-masing.
• Bapedalda
menjadi Sekretariat Bersama untuk Pusdalkarhutla di daerah yang sekaligus di bawah koordinasi KLH
• Dinas Kehutanan/Perkebunan Provinsi :
Berfungsi berada di bawah komando Kepala Pusdalkarhutla Provinsi, dan melakukan koordinasi dengan perusahaan HPH/HTI maupun perkebunan dalam upaya pengendalian kebakaran
• BKSDA/BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur)
sebagai Kepala Brigdalkar (Manggala Agni) mengkoordinasikan kegiatan pengendalian kebakaran hutan di tingkat provinsi
b. Kabupaten
• Bupati sebagai Ka SATLAK PBP
Mengkoordinir unsur-unsur terkait di tingkat Kabupaten
• Bapedalkab
berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi dalam hal penyebarluasan informasi hotspot dan penanganan kasus-kasus kebakaran/pembakaran. Koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten
• Balai Taman Nasional
sebagai Daops (Daerah Operasi) mendapatkan komando langsung dari Dirjen PHKA dan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten dan BKSDA
Gambar 4. Mekanisme Koordinasi dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
3. Tingkat Masyarakat /Lapangan
a. Koordinasi di bawah komando Camat dibantu oleh Kades/lurah.
b. Satgas Damkar yang berasal dari unsur masyarakat, aparat kehutanan, dan perusahaan saling berkoordinasi terutaman dalam upaya mobilisasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
c. Masyarakat Peduli Api (MPA).
2. Operasional
Kebijakan Kementerian Kehutanan dalam bidang operasional pada dasarnya terdiri dari 3 aspek :
1. Pencegahan Kebakaran Hutan, seperti :
• Kampanye Penyadaran Masyarakat
• Peningkatan teknologi pencegahan seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan
• Pembangunan fisik pencegahan kebakaran hutan seperti embung, green belt, menara pengawas, dll.
• Pemantapan perangkat lunak
2. Pemadaman Kebakaran Hutan, seperti :
• Peningkatan teknologi pemadaman
• Operasi pemadaman (dini dan pemadaman lanjutan).
• Penyelamatan dan evakuasi
3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan, seperti :
• Monitoring, evaluasi dan inventarisasi hutan bekas kebakaran.
• Sosialisasi dan penegakan hukum
• Rehabilitasi
3. Peningkatan Peran serta dan Pemeberdayaan Masyarakat
Kebijakan terakhir dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan adalah peningkatan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan. Masyarakat sekitar kawasan rawan kebakaran adalah komponen yang langsung berhadapan jika terjadi kebakaran hutan atau lahan. Mengingat pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, untuk itu kementerian kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan keorganisasian berbasis masyarakat. Contoh keorganisasian yang berbasis masyarakat adalah Masyarakat Peduli Api, dan Kelompok Peduli Api. Hal melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.12/Menhut-II/2009 pasal 34 sampai dengan pasal 38 yang mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat dan peran serta masyarakat
RANGKUMAN MATERI
I.
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal
sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest)
terluas kedua di dunia setelah Brazilia (Barber, 1989; Gillis & Repetto,
1988; Poffenberger, 1990).Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini
kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi
kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang
mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke
tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi
sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang
paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi F 36
Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55 (Reppeto, 1988; Barber, 1989;
Zerner, 1990; Peluso, 1992).
Dari sisi pembangunan
ekonomi, eksploitasi Sumberdaya Hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi
kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian
konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan
ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa negara, menyerap tenaga
kerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli
daerah.Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesi HPH dan HPHH serta HTI
kepada pihak Badan Usaha Milik Suasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan
akibat eksploitasi yang tak terkendali dan tak terawasi secara konsisten selain
menimbulkan kerugian ekologi (ecological
cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan social dan
budaya (social and cultural cost),
termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya
konflikkonflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di daerah. Studi-studi
terdahulu mengenai kebijakan pengusahaan sumber daya hutan yang dilakukan
pemerintah membuktikan bahwa degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya
hutan di Indonesia terjadi bukan semata-mata karena faktor kepadatan penduduk,
rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, yang cenderung dikaitkan
dengan kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan yang memiliki tradisi
perladangan gilir balik (shifting
cultivation).Tetapi, kerusakan Sumberdaya Hutan justru terjadi karena
pilihan paradigma pembangunan yang berbasis Negara (state-based resouce development), penggunaan manajemen pembangunan
yang bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi, yang didukung dengan instrument hukum dan kebijakan yang bercorak
represif (Bodley, 1982; Repetto & Gillis, 1988; Barber, 1989; Zerner, 1990;
Poffenberger, 1990; Peluso, 1992).
Hukum Pengelolaan Hutan
pada Masa Kolonial Belanda upaya untuk mengelola sumber daya hutan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dimulai dari pengelolaan hutan jati (Tectona Grandis) di Jawa dan Madura
pada pertengahan abad ke- 19, setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam
jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan
Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara,
Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan (Peluso, 1990, 1992; Simon,
1993, 1999). Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi
yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup
perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati(Tectona Grandis) dari kawasan hutan.
Karena itu, ketika pemerintah kolonial Belanda kemudian mengangkat Herman Willem
Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19,
tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada
Daendels adalah merehabilitasi kawasaan hutan melalui kegiatan reforestasi pada
lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius.
Untuk mendukung
pelaksanaan tugas rehabilitasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari
tugasnya, maka Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan
Kehutanan), 38 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55 membuat
perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yang mengalami degradasi, dan juga
mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan, yang membatasi pemberian ijin
penebangan kayu jati, dan memberi sanksi pidana bagi penebang kayu-kayu jati
tanpa seijin Jawatan Kehutanan.
II. MATERI
2.1 Hutan
Menurut Undang – Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Hutan dibagi menjadi dua komponen, yaitu Bio - Geofisik yang
meliputi kondisi fisik lapangan, kondisi flora, kondisi fauna dan
iklim.Sedangkan komponen Sosek budaya masyarakat meliputi kependudukan,
pengelolaan Sumberdaya Hutan, dan pengetahuan lokal.
Fungsi pokok hutan
menurut Undang – Undang No. 41 tahun 1999 tentang dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Fungsi
Lindung
Untuk
melindungi sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mencegah
banjir, mencegah erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan
tanah. Dengan menetapkan 33,52 juta ha hutan sebagai hutan lindung.
2. Fungsi
Konservasi
Untuk
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistem yang ada
didalamnya. Dengan menetapkan sebagian hutan sebagai kawasan konservasi seluas
20,5 juta ha.
3. Fungsi
Produksi
Untuk memproduksi hasil hutan, baik berupa Hasil
Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) melalui budidaya hutan dan
mengambil langsung dari hutan alam.Hutan produksi yang seluruhnya 66,33 juta
hektar, diarahkan untuk memproduksi kayu
pengelolaan hutan secara lestari.
2.2
Sejarah Pemanfaatan Hutan Di Indonesia
2.2.1 Sebelum
Kemerdekaan
Pada saaat penjajahan Belanda,
pembangunan hutan tanaman di daerah Jawa.Seperti hutan Jati (Tectona Grandis).Sedangkan pada saat
penjajahan Jepang, pemanfaatan hutan untuk keperluan perang.
2.2.2
Setelah Kemerdekaan
Pemanfaatan Sumberdaya Hutan untuk
pembangunan sejak tahun 60-an. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan alam produksi
diluar Jawa dalam skala besar.
2.3
Instrumen Pelaksanaan Politik Kehutanan
2.3.1
Politik Kehutanan Dibagi Menjadi 3, yaitu :
1. Peraturan dan Perundangan Kehutanan
Rambu
– rambu yang ditetapkan untuk melaksanakan politik dan kebijakan kehutanan.
2. Kebijakan Kehutanan
Langkah
– langkah yang ditetapkan dalam pencapaian dari tujuan pengelolan hutan.
3. Hukum Kehutanan
Sanksi
yang ditetapkan bagi setiap pihak yang melakukan pelanggaran – pelanggaran
terhadap kebijakan dan peraturan perundang – undangan kehutanan.
2.3.2
Kebijakan Pengelolaan Hutan
1.
Tata Hutan
a. Penetapan
ukuran FMU (Forest Mangement Unit) dari Efisiensi
menjadiLestari
b. Reformulasi
ukuran FMU ke PP No. 6/1999
c. Penataan
batas fungsi hutan dari TGHK ke RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
2. Inventarisasi Hutan
· Dalam
sistem TPTI, ITSP & ITT
· Reformulasi
Inventarisasi hutan ke P.34/2007
Inventarisasi
Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) menjadi Neraca Sumberdaya Hutan.
2.3.3
Pemanfaatan dan konversi Hutan Alam
1. Potensi Sumberdaya
Hutan Nasional
a. Hutan
Konservasi : 20,50
juta ha
b. Hutan
Lindung : 33,52
juta ha
c. Hutan
Produksi Terbatas : 23,06 juta
ha
d. Hutan
produksi :
35,20 juta ha
e.
Hutan
Produksi Konversi : 8,07 juta ha
2. Aspek Pokok
Pengelolaan Hutan Alam
a. Mengelola
Kawasan menurut Undang – Undang Tata Ruang
No.26/2007.
b. Mengelola
Produksi menurut Undang – Undang tentang Kehutanan No.41/1999.
c. Mengelola
Ekologi dan Konservasi menurut Undang – Undang konservasi Sumberdaya Hutan dan
Undang – Undang Lingkungan Hidup.
d. Mengelola
Sosial menurut Undang – Undang Tentang
Kehutanan No.41/1999.
2.4
Sertifikasi &Ekolabeling
Sertifikasi adalah kegiatan penilaian kinerja
pengelolaan hutan berdasarkan kaidah – kaidah kelestarian.
Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dengan satu atau
lebih tujuan utama, tanpa menurunkan daya dukung ekosistem dan fungsi – fungsi
sumberdaya hutan disebut dengan PHL - SFM (Pengelolaan Hutan secara Lestari –
Sustainabel Forest Management). Tiga kriteria utama PHL –SFM adalah : Lestari
Fungsi Produksi, Lestari Fungsi Ekologi – Konservasi, dan Lestari Fungsi Sosek
Budaya Masyarakat.
Kata “ekolabelling” pada
saat ini sudah sedemikian populer dan jauh berkembang dan banyak dipergunakan
dimana-mana, sehingga kemudian diasosiasikan dengan berbagai kegiatan baik yang
sifatnya fisik (lapangan) maupun non-fisik (peraturan, tata cara, kelembagaan,
dsb.)Ecolabelling lebih terfokus kepada tahapan-tahapan pemberian
sertifikasi.Ecolabelling memberi sertifikasi bagi produk hasil hutan yang telah
dikelola secara lestari (baik hutan alam maupun tanaman serta produk non kayu).
Pada prinsipnya, pemberian sertifikat dalam
kegiatan ecolabelling dilaksanakan dengan melakukan pengujian terhadap setiap
tahap kegiatan pengusahaan hutan.
Dalam
pelaksanaannya, sertifikat dapat diberikan setelah dilakukan
pengujian-pengujian berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2.5
Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan
2.5.1
Kinerja Pembangunan Kehutanan
Pembangunan Kehutanan meliputi kegiatan pemanfaatan, pembinaan, dan
pengawasan. Tujuan dari pembangunan meliputi :
1. Ekonomi
yang mencakup keanekaragaman, hasil hutan industri, lapangan kerja, devisa, dan
pembangunan daerah.
2. Ekologi
yang mencakup Hidrologi, Kehati, KTA dan Iklim.
2.5.2
Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan
1.
TIMBER Oriented menjadi RESOURCE BASED Oriented
Konsekuensi
Logisnya :
a. Reformulasi
penilaian terhadap Sumberdaya Hutan sebagai resource pembangunan dan penyangga
kehidupan.
b. Kebijakan
yang mendorong promosi dan pengelolaan jasa hutan.
c. Rekalkulasi
potensi Sumberdaya Hutan sebagai resource (What, How, Much and Where).
d. Pengembangan
model – model pengelolaan Sumberdaya Hutan berbasis spesifik lokal.
2. Sentralistik
menjadi Desentralistik
Konsekuensi
Logisnya :
a. Tetap
adanya “benang merah – hubungan hierarki” kebijakan Pemerintah (Provinsi –
Kab/Kota)
b. Pembagian
kewenangan secara rasional, proporsional, dan berdasarkan azas hierarki.
c. Proses
penyusunan kebijakan melalui proses “partisipatif, multipihak, dan azas
transparansi”.
d. Hutan
harus dikelola berdasarkan karakter sebagai ekosistem dan adanya interkoneksi
antara wilayah administrasi.
3. Stated
Based menjadi Community Based Manajemen
a. Kebijakan
dirumuskan dengan orientasi bagi kepentingan masyarakat,
b. Perlu
upaya prakondisi dalam pembinaan masyarakat sebagai salah satu aktor
pembangunan kehutanan.
c. Pengembangan
sistem dan skim pendanaan bagi masyarakat.
d. Penguatan
kelembagaan masyarakat.
2.6
Kebijakan Pembangunan Kehutanan
2.6.1 Lima Prioritas
Program Dephut (Kepmenhut : No.456/Menhut VII/2004)
1. Pelarangan
Ekspor Logs (Kayu)
2. Pembangunan
IPHK
3. Pembangunan
Hutan Tanaman Industri
4. Sistem
Akuntansi PSAK
5. Soft
Landing dan Moratorium Pemanfaatan Hutan Produksi
2.6.2
Evaluasi Palaksanaan Kebijakan Prioritas
1. Ilegal
Logging.
2. Revitalisasi
sector kehutanan.
3. Pemantapan
kawasan.
4. Pemberdayaan
ekonomi masyarakat.
5. Rehabilitasi
dan konservasi Sumberdaya Hutan.
2.6.3
Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan
Visi pembangunan kehutanan yaitu
“terwujudnya penyelenggaraan kehutanan untk menjamin kelestarian hutan dan
peningkatan kemakmuran rakyat”.Adapun misi dari pembangunan kehutanan adalah
“terwujudnya penyelenggaraan kehutanan untuk menjamin kelestarian hutan dan
peningkatan kemakmuran rakyat”.
2.6.4 Konsep
Dasar Perumusan Kebijakan Penerapan dan Implikasinya di BidangKehutanan
1. Kebijakan
dan Kebijakan Kehutanan.
2. Hutan
dan Kehutanan.
3. Konsep
Dasar Penyusunan Kebijakan.
4. Kebijakan
Kehutanan (Konseptual dan Faktual).
5. Implikasi
dan Kebijakan Faktual Dalam Pengelolaan Hutan.
2.6.5
Kinerja Pembangunan Kehutanan
1. Hutan
sebagai Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
2. Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan dalam Pembangunan.
3. Kinerja
Pembangunan Kehutanan selama 3 Dasawarsa.
4. Perubahan
Paradigma Pembangunan Kehutanan :
a. 3
perubahan paradigm baru
b. Implikasinya
dalam pencapaian SFM
2.7
Organisasi Pengelolaan Hutan Secara Lestari
2.7.1
Organisasi Pengelolaan Hutan
1. Pembentukan dan pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH)
adalah amanat dari UU No.41/1999 Tentang Kehutanan.
2. Kawasan Hutan Dibagi Menjadi KPH
Sesuai Dengan Fungsinya:
a. Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P)
b. Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPH-L)
c. Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH-K)
3. Dasar
Pembentukannya:
a. Batas
Administrasi Pemerintahan
b. Daerah
Aliran Sungai (DAS)
c. Kondisi
BIO-GEOFISIK Sumberdaya Hutan
d. Kondisi
Sosial – Budaya Masyarakat
e. Kondisi
Aksesibilitas – SarPras, dan
f. Potensi
Sumberdaya Hutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah
wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
2.7.2
Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur
Berdasarkan SK Menhut
No.79/2001, luas kawasan hutan di Kalimantan Timur adalah 14.651.553 ha, yang
terdiri dari:
a. Hutan
Konservasi : 2.165.198 ha
b. Hutan
Lindung : 2.751.702 ha
c. Hutan
Produksi : 9.711.300 ha
d. Hutan
Penelitian : 23.353 ha
Dari analisis citra areal kerja IUPHHK dan
eks IUPHHK:
a. Hutan
Primer : 4.093.476 ha (+ 6%
di eks IUPHHK)
b. Hutan
eks.teb : 4.289.493 ha (+ 19%
di eks IUPHHK)
2.7.3
Rencana Karya Pengelolaan Hutan
Beberapa kesimpulan penting
tentang karya pengelolaan hutan antara lain:
a. Rencana
Karya Pengelolaan Hutan merupakan instrument dokumen penting bagi terwujudnya
PHAPL-SFM.
b. Sistem
rencana pengelolaan berdasarkan PP No.33/1970 dan turunannya, masih belum dapat
mewujudkan tujuan tersebut.
c. Melalui
PP No.6/2007 sebagai amanat UU No.41, Pasal 17 telah terjadi perubahan mendasar
dalam Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan.
d. Dengan
dibangunnya KPH-P/L/K diharapkan pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dapat
dilaksanakan secara efisien dan lestari.
2.8
Otonomi Daerah
2.8.1
Undang – Undang Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah (Otoda) adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan per UUan yang berlaku. Tujuan
dari OTODA adalah untuk percepatan pembangunan, kesejahteraan masyarakat,
pemberdayaaan dan peran masyarakat, pembangunan peningkatan daya saing daerah,
dan persaingan global. Sedangkan prinsip dari OTODA adalah Demokrasi,
Pemerataan dan Keadilan, Keistimewaan, Kekhususan Lokal.
2.8.2 Peran Masyarakat
Dalam Kehutanan
a. Kewajiban Masyarakat
1. Memelihara dan menjaga dari gangguan dan perusakan.
2.
Peroleh pendampingan dalam rehabilitasi hutan.
b. Hak Masyarakat
1. Masyarakat
berhak menikmati kualitas lingkungan hidup dari Sumberdaya Hutan.
2. Memanfaatkan Hutan dan Hasil Hutan.
3.
Mengetahui rencana peruntukaan hutan, pemanfaatan hasil
hutan, dan informasi kehutanan.
4. Memberi informasi, saran, dan pertimbangan.
5. Melakukan pengawasan.
6.
Berhak memperoleh kompensasi oleh: hilangnya hak atas
tanah, hilangnya akses Sumberdaya Hutan.
Berdasarkan materi yang
telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Menurut UU No.41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan, fungsi pokok hutan dibagi menjadi 3:
1.
Fungsi Lindung
2.
Fungsi Produksi
3.
Fungsi Konservasi
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya,
yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) dibagi menjadi tiga, yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan – Lindung (KPH -
L), Kesatuan Pengelolaan Hutan – Produksi (KPH - P), dan Kesatuan Pengelolaan
Hutan – Konservasi (KPH - K).
Sertifikasi adalah kegiatan penilaian kinerja pengelolaan hutan
berdasarkan kaidah – kaidah kelestarian.Ecolabelling memberi sertifikasi bagi
produk hasil hutan yang telah dikelola secara lestari (baik hutan alam maupun
tanaman serta produk non kayu).
0 komentar: