KEBIJAKAN DAN PERUNDANGAN KEHUTANAN


1. PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia menjadi pusat perhatian bukan saja di regional, bahkan sampai internasional. Kebakaran hutan ini meningkatkan suhu permukaan bumi dan mengancam pencairan suhu es di kutub utara. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun kebijakan-kebijakan serta peratiran perundang-undangan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Berikut beberapa kebijakan dan peraturan yang ada di Indonesia mengenai kebakaran hutan dan lahan:
1.1 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
*  Psl 6(1): kewajiban memelihara kelestarian fungsi Lingkungan Hidup
*  Psl 25(1): sanksi administrasi-kewenangan gubernur/bupati/walikota memaksa penanggung jawab usaha utk mencegah/mengakhiri pelanggaran
*  Psl 41(1): sanksi sengaja merusak LH-penjara (max 10 th), denda (max Rp 500 jt)
*  Psl 42(1): sanksi alpa merusak LH- penjara (max 3 th), denda (max Rp 100jt)
*  Sanksi bersifat kumulatif, bukan alternatif
*  Tindakan tata tertib: perampasan keuntungan, penutupan perush., perbaikan, dll.
1.2 Undang-Undang Namor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan; kawas an hutan; dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama sert a penyakit (Pas al 47, ayat 1). Pemerintah rnengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan (Pasai 48, ayat 1).
1.3 UU No.18/2004 tentang Perkebunan
*  Psl. 25 (1): usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi LH
*  Psl. 26 : larangan membuka lahan dengan pembakaran
*  Psl. 48(1): pembakaran sengaja-penjara (max 10 th), denda (max Rp 10 milyar)
*  Psl. 49(1): lalai membakar-penjara (max 3 th), denda (max Rp 3 milyar)
*  Sanksi kumulatif
1.4 UU No.19/2004 tentang Kehutanan
– Psl. 47(a): Perlindungan hutan dan kawasan hutan.
– Psl 48(3): kewajiban pengelola hutan melindungi hutan
Psl.50 (1): larangan merusak sarana/prasarana perlindungan hutan
– Psl. 78(3): sengaja : penjara (max 15 th), denda (max 5 milyar)
Psl.50(3): lalai: penjara (max 5 th), denda (max1.5 milyar)
1.5 PP No.4/2001: Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran LH yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan
Ruang lingkup PP ini antara lain :
– Kriteria baku Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup dan kebakaran hutan dan lahan,
– Tata laksana Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian,
– penanggulangan, dan
– Pemulihan Dampak
Peraturan Pemerintah ini memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
1.5 PP No.45/2004 tentang Perlindungan Hutan
Bab III: Ketentuan Umum, Pengendalian Kebakaran, Pencegahan, Pemadaman, Penanganan Pasca, Tanggung jawab pidana perdata
2. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebijakan Kemeneterian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga yaitu :
1. Kelembagaan
2. Operasional, dan
3. Peningkatan Peran serta dan pemberdayaan masyarakat
Kebijakan tersebut sesuai dengan rencana startegis dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran hutan.
1. Kelembagaan dan keorganisasian
Pasca kebakaran hutan besar tahun 1982/83 yang menghanguskan lebih kurang 3,2 juta ha hutan di Inndonesia, maka terbentuklah Departemen Kehutanan yang di dalamnya terdapat Seksi Kebakaran Hutan (Eselon IV) di bawah Sub Direktorat Pengamanan Hutan, Direktorat Perlindungan Hutan. Permasalahan kebakaran hutan kian hari terus meningkat, terbukti dengan kejadian kebakaran hutan tahun 1987, 1991, dan 1994. Pada tahun 1994, kemudian Departemen Kehutanan meningkatkan Seksi Kebakaran Hutan menjadi Sub Direktorat Kebakaran Hutan (Eselon III) di bawah Direktorat Perlindungan Hutan. Tahun 1994/1995 isu kebakaran hutan berkembang menjadi isu transboundary haze pollution, isu regional bahkan internasional. Atas kejadian itu dan mengingat diperlukan koordinasi yang lebih mantap maka dibentuklah secara bersama-sama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS) oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan BAPEDAL membentuk Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (TKNPKHL). Tahun itu pula maka mulailah dirancang pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA), Satuan Pelaksana (SATLAK). Secara bertahap terbentuklah organisasi non-structural tersebut di seluruh propinsi di Indonesia.
Tahun 2000, Departemen Kehutanan kembali menaikkan status organisasi kebakaran dari Sub Direktorat menjadi Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan (Eselon II). Sedangkan BAPEDAL juga meningkatkan organisasi pengelola kebakaran setingkat Eselon II. Tahun 2000, proses desentralisasi berjalan dan daerah mulai aktif membentuk organisasi-organisasi baru baik yang secara langsung menangani kebakaran hutan dan lahan atau secara implisit menyatu dalam job discripsinya (penjabaran pekerjaan).
Organisasi yang dibentuk tingkat nasional terdiri dari :
1. BAKORNAS-PB&P (UU No.24/2007)
2. PUSDALKARHUTNAS
3. PUSDALOPS (acuannya PP No.45/2004) dan Kep. Dirjen PHKA No.21/KPTS/DJ-IV/2002 Tahun 2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia
4. BMG, LAPAN,BPPT, Perg. Tinggi, BASARNAS, AU,,Proyek BLN, dll
5. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat nasional
Selain tingkat pusat, organisasi yang dibentuk untuk penanganan pengendalian kebakaran hutan tingkat propinsi seperti :
1. SATKORLAK-PB&P
2. PUSDALKARHUTLA
3. BAPEDALPROP
4. BRIGDALKARHUT
5. St.BMG,Perg. Tinggi, Tim SAR, AU, TNI/POLRI, LINMAS, Proyek BLN
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat tingkat propinsi
Adapun untuk tingkat Kabupaten/Kota seperti :
1. SATLAK-PB&P
2. DAMKARHUTLA
3. BAPEDALKAB
4. BRIGDALKARHUT DAOPS
5. St.BMG,Perg. Tinggi, TNI/POLRI, LINMAS
6. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kabupaten
Untuk Tingkat Kecamatan seperti :
1. SATGAS-PB&P
2. Regu Pemadam Kebakaran
3. Satgas Damkar lahan
4. Pengusaha, LSM, dan masyarakat, tingkat kecamatan

Gambar 1. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Kementerian Kehutanan
Pada gambar 1 dapat dijelaskan bahwa PUSDALOPS berada pada Eselon I PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). Pusdalops merupakan eselon 2 dan mempunyai sekretariat. Brigdalkarhut berada di Unit Pelaksana Teknis PHKA yang berada di propinsi. Brigdalkarhut hanya ada di Balai/Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. Di bawah Brigadir Pengendalian Kebakaran Hutan ada Brigdalkarhut Daerah Operasi tertentu berdasarkan kabupaten dan berada di Seksi Konservasi Wilayah atau unit Taman Nasional.

Gambar 2. Struktur Organisasi Brigdalkarhut Propinsi
Pengendalaian kebakaran hutan di Indonesia terdiri dari beberapa instansi yang berkepentingan. Sistem koordinasi sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan sehingga pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan dapat lebih efektif dan efisien.
Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
Berdasarkan kerangka sistem koordinasi pada gambar 3, dapat dijelaskan beberapa peranan lembaga yang dibentuk pada tingkat pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, sampai pada tingkat Kecamatan.
1. Tingkat Nasional
a. BAKORNAS-PB&P (Pusdalkarhutnas) :
Berfungsi untuk perumusan dan penetapan kebijakan yang cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
b. Dirjen PHKA
Berfungsi memegang komando sebagai Pusdalops di tingkat nasional bagi jajaran instansi kehutanan di daerah, khususnya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional.
c. BMG
Berfungsi koordinator dalam menyebarluaskan informasi iklim dan cuaca, terutama prediksi musim kemarau dan kejadian El Nino
d. LAPAN
Berfungsi menyebarluaskan informasi hotspot baik jumlah maupun pola penyebarannya
e. BPPT
Berfungsi membangun Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dan Lahan

Gambar 3. Struktur/kerangka sistem koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
f. Perguruan Tinggi
Berfungsi mengembangkan ipteks pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta berperan sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus kebakaran
g. BASARNAS
koordinator pada kebakaran hutan dan lahan meluas dan sulit dikendalikan oleh SDM di tingkat daerah
h. AURI
berperan pada saat kondisi kebakaran hutan dan lahan sulit dikendalikan dan memerlukan pemadaman dari udara dan pelaksanaan hujan buatan
i. BLN
bantuan peningkatan kapasitas SDM maupun bantuan teknis dan peralatan, sarana dan prasarana
2. Tingkat Daerah
a. Propinsi
• Gubernur
bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota (Pasal 27 PP No.4/2001)
• wakil gubernur
sebagai Kepala Pusdalkarhutla memegang kendali koordinasi antar para pihak terkait di daerah masing-masing.
• Bapedalda
menjadi Sekretariat Bersama untuk Pusdalkarhutla di daerah yang sekaligus di bawah koordinasi KLH
• Dinas Kehutanan/Perkebunan Provinsi :
Berfungsi berada di bawah komando Kepala Pusdalkarhutla Provinsi, dan melakukan koordinasi dengan perusahaan HPH/HTI maupun perkebunan dalam upaya pengendalian kebakaran
• BKSDA/BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur)
sebagai Kepala Brigdalkar (Manggala Agni) mengkoordinasikan kegiatan pengendalian kebakaran hutan di tingkat provinsi
b. Kabupaten
• Bupati sebagai Ka SATLAK PBP
Mengkoordinir unsur-unsur terkait di tingkat Kabupaten
• Bapedalkab
berkoordinasi dengan Bapedalda Provinsi dalam hal penyebarluasan informasi hotspot dan penanganan kasus-kasus kebakaran/pembakaran. Koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten
• Balai Taman Nasional
sebagai Daops (Daerah Operasi) mendapatkan komando langsung dari Dirjen PHKA dan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan/Perkebunan Kabupaten dan BKSDA

Gambar 4. Mekanisme Koordinasi dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
3. Tingkat Masyarakat /Lapangan
a. Koordinasi di bawah komando Camat dibantu oleh Kades/lurah.
b. Satgas Damkar yang berasal dari unsur masyarakat, aparat kehutanan, dan perusahaan saling berkoordinasi terutaman dalam upaya mobilisasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
c. Masyarakat Peduli Api (MPA).
2. Operasional
Kebijakan Kementerian Kehutanan dalam bidang operasional pada dasarnya terdiri dari 3 aspek :
1. Pencegahan Kebakaran Hutan, seperti :
• Kampanye Penyadaran Masyarakat
• Peningkatan teknologi pencegahan seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan
• Pembangunan fisik pencegahan kebakaran hutan seperti embung, green belt, menara pengawas, dll.
• Pemantapan perangkat lunak
2. Pemadaman Kebakaran Hutan, seperti :
• Peningkatan teknologi pemadaman
• Operasi pemadaman (dini dan pemadaman lanjutan).
• Penyelamatan dan evakuasi
3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan, seperti :
• Monitoring, evaluasi dan inventarisasi hutan bekas kebakaran.
• Sosialisasi dan penegakan hukum
• Rehabilitasi
3. Peningkatan Peran serta dan Pemeberdayaan Masyarakat
Kebijakan terakhir dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan adalah peningkatan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan. Masyarakat sekitar kawasan rawan kebakaran adalah komponen yang langsung berhadapan jika terjadi kebakaran hutan atau lahan. Mengingat pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, untuk itu kementerian kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan keorganisasian berbasis masyarakat. Contoh keorganisasian yang berbasis masyarakat adalah Masyarakat Peduli Api, dan Kelompok Peduli Api. Hal melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.12/Menhut-II/2009 pasal 34 sampai dengan pasal 38 yang mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat dan peran serta masyarakat







RANGKUMAN MATERI


    I.            PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia (Barber, 1989; Gillis & Repetto, 1988; Poffenberger, 1990).Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi F 36 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55 (Reppeto, 1988; Barber, 1989; Zerner, 1990; Peluso, 1992).
Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi Sumberdaya Hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa negara, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah.Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesi HPH dan HPHH serta HTI kepada pihak Badan Usaha Milik Suasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yang tak terkendali dan tak terawasi secara konsisten selain menimbulkan kerugian ekologi (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan social dan budaya (social and cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya konflikkonflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di daerah. Studi-studi terdahulu mengenai kebijakan pengusahaan sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah membuktikan bahwa degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya hutan di Indonesia terjadi bukan semata-mata karena faktor kepadatan penduduk, rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, yang cenderung dikaitkan dengan kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan yang memiliki tradisi perladangan gilir balik (shifting cultivation).Tetapi, kerusakan Sumberdaya Hutan justru terjadi karena pilihan paradigma pembangunan yang berbasis Negara (state-based resouce development), penggunaan manajemen pembangunan yang bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang didukung dengan instrument hukum dan kebijakan yang bercorak represif (Bodley, 1982; Repetto & Gillis, 1988; Barber, 1989; Zerner, 1990; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992).
Hukum Pengelolaan Hutan pada Masa Kolonial Belanda upaya untuk mengelola sumber daya hutan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dimulai dari pengelolaan hutan jati (Tectona Grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke- 19, setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan (Peluso, 1990, 1992; Simon, 1993, 1999). Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang mengandalkan pasokan kayu jati(Tectona Grandis) dari kawasan hutan. Karena itu, ketika pemerintah kolonial Belanda kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada tanggal 14 Januari 1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada Daendels adalah merehabilitasi kawasaan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas rehabilitasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari tugasnya, maka Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan), 38 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55 membuat perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yang mengalami degradasi, dan juga mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan, yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati, dan memberi sanksi pidana bagi penebang kayu-kayu jati tanpa seijin Jawatan Kehutanan.


II.            MATERI
2.1 Hutan
Menurut Undang – Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dibagi menjadi dua komponen, yaitu Bio - Geofisik yang meliputi kondisi fisik lapangan, kondisi flora, kondisi fauna dan iklim.Sedangkan komponen Sosek budaya masyarakat meliputi kependudukan, pengelolaan Sumberdaya Hutan, dan pengetahuan lokal.
Fungsi pokok hutan menurut Undang – Undang No. 41 tahun 1999 tentang dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.    Fungsi Lindung
Untuk melindungi sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Dengan menetapkan 33,52 juta ha hutan sebagai hutan lindung.
2.    Fungsi Konservasi
Untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistem yang ada didalamnya. Dengan menetapkan sebagian hutan sebagai kawasan konservasi seluas 20,5 juta ha.
3.    Fungsi Produksi
Untuk memproduksi hasil hutan, baik berupa Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) melalui budidaya hutan dan mengambil langsung dari hutan alam.Hutan produksi yang seluruhnya 66,33 juta hektar, diarahkan untuk memproduksi kayu   pengelolaan hutan secara lestari.
2.2 Sejarah Pemanfaatan Hutan Di Indonesia
2.2.1 Sebelum Kemerdekaan
            Pada saaat penjajahan Belanda, pembangunan hutan tanaman di daerah Jawa.Seperti hutan Jati (Tectona Grandis).Sedangkan pada saat penjajahan Jepang, pemanfaatan hutan untuk keperluan perang.
2.2.2 Setelah Kemerdekaan
            Pemanfaatan Sumberdaya Hutan untuk pembangunan sejak tahun 60-an. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan alam produksi diluar Jawa dalam skala besar.
2.3 Instrumen Pelaksanaan Politik Kehutanan
2.3.1 Politik Kehutanan Dibagi Menjadi 3, yaitu :
1. Peraturan dan Perundangan Kehutanan
     Rambu – rambu yang ditetapkan untuk melaksanakan politik dan kebijakan kehutanan.
2. Kebijakan Kehutanan
     Langkah – langkah yang ditetapkan dalam pencapaian dari tujuan pengelolan hutan.
3. Hukum Kehutanan
     Sanksi yang ditetapkan bagi setiap pihak yang melakukan pelanggaran – pelanggaran terhadap kebijakan dan peraturan perundang – undangan kehutanan.
2.3.2 Kebijakan Pengelolaan Hutan
1. Tata Hutan
a.    Penetapan ukuran FMU (Forest Mangement Unit) dari Efisiensi
menjadiLestari
b.     Reformulasi ukuran FMU ke PP No. 6/1999
c.    Penataan batas fungsi hutan dari TGHK ke RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
2. Inventarisasi Hutan
· Dalam sistem TPTI, ITSP & ITT
· Reformulasi Inventarisasi hutan ke P.34/2007
Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) menjadi Neraca Sumberdaya Hutan.
2.3.3 Pemanfaatan dan konversi Hutan Alam
1. Potensi Sumberdaya Hutan Nasional
a.     Hutan Konservasi                        : 20,50 juta ha
b.     Hutan Lindung                            : 33,52 juta ha
c.     Hutan Produksi Terbatas             : 23,06 juta ha
d.    Hutan produksi                            : 35,20 juta ha
e.     Hutan Produksi       Konversi       : 8,07 juta ha
2. Aspek Pokok Pengelolaan Hutan Alam
a.    Mengelola Kawasan menurut Undang – Undang Tata Ruang  No.26/2007.
b.    Mengelola Produksi menurut  Undang – Undang  tentang Kehutanan No.41/1999.
c.    Mengelola Ekologi dan Konservasi menurut Undang – Undang konservasi Sumberdaya Hutan dan Undang – Undang  Lingkungan Hidup.
d.   Mengelola Sosial menurut Undang – Undang  Tentang Kehutanan No.41/1999.
2.4 Sertifikasi &Ekolabeling
   Sertifikasi adalah kegiatan penilaian kinerja pengelolaan hutan berdasarkan kaidah – kaidah kelestarian.
   Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dengan satu atau lebih tujuan utama, tanpa menurunkan daya dukung ekosistem dan fungsi – fungsi sumberdaya hutan disebut dengan PHL - SFM (Pengelolaan Hutan secara Lestari – Sustainabel Forest Management). Tiga kriteria utama PHL –SFM adalah : Lestari Fungsi Produksi, Lestari Fungsi Ekologi – Konservasi, dan Lestari Fungsi Sosek Budaya Masyarakat.
  
   Kata “ekolabelling” pada saat ini sudah sedemikian populer dan jauh berkembang dan banyak dipergunakan dimana-mana, sehingga kemudian diasosiasikan dengan berbagai kegiatan baik yang sifatnya fisik (lapangan) maupun non-fisik (peraturan, tata cara, kelembagaan, dsb.)Ecolabelling lebih terfokus kepada tahapan-tahapan pemberian sertifikasi.Ecolabelling memberi sertifikasi bagi produk hasil hutan yang telah dikelola secara lestari (baik hutan alam maupun tanaman serta produk non kayu).
   Pada prinsipnya, pemberian sertifikat dalam kegiatan ecolabelling dilaksanakan dengan melakukan pengujian terhadap setiap tahap kegiatan pengusahaan hutan.
Dalam pelaksanaannya, sertifikat dapat diberikan setelah dilakukan pengujian-pengujian berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2.5 Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan
2.5.1 Kinerja Pembangunan Kehutanan
    Pembangunan Kehutanan meliputi  kegiatan pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan. Tujuan dari pembangunan meliputi :
1.    Ekonomi yang mencakup keanekaragaman, hasil hutan industri, lapangan kerja, devisa, dan pembangunan daerah.
2.    Ekologi yang mencakup Hidrologi, Kehati, KTA dan Iklim.
2.5.2 Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan
1. TIMBER Oriented menjadi RESOURCE BASED Oriented
Konsekuensi Logisnya :
a.    Reformulasi penilaian terhadap Sumberdaya Hutan sebagai resource pembangunan dan penyangga kehidupan.
b.     Kebijakan yang mendorong promosi dan pengelolaan jasa hutan.
c.    Rekalkulasi potensi Sumberdaya Hutan sebagai resource (What, How, Much and Where).
d.   Pengembangan model – model pengelolaan Sumberdaya Hutan berbasis spesifik lokal.
2.  Sentralistik menjadi Desentralistik
Konsekuensi Logisnya :
a.    Tetap adanya “benang merah – hubungan hierarki” kebijakan Pemerintah (Provinsi – Kab/Kota)
b.    Pembagian kewenangan secara rasional, proporsional, dan berdasarkan azas hierarki.
c.    Proses penyusunan kebijakan melalui proses “partisipatif, multipihak, dan azas transparansi”.
d.   Hutan harus dikelola berdasarkan karakter sebagai ekosistem dan adanya interkoneksi antara wilayah administrasi.
3.  Stated Based menjadi Community Based Manajemen
a.     Kebijakan dirumuskan dengan orientasi bagi kepentingan masyarakat,
b.    Perlu upaya prakondisi dalam pembinaan masyarakat sebagai salah satu aktor pembangunan kehutanan.
c.     Pengembangan sistem dan skim pendanaan bagi masyarakat.
d.    Penguatan kelembagaan masyarakat.
2.6 Kebijakan Pembangunan Kehutanan
                        2.6.1 Lima Prioritas Program Dephut (Kepmenhut : No.456/Menhut VII/2004)
1.  Pelarangan Ekspor Logs (Kayu)
2.  Pembangunan IPHK
3.  Pembangunan Hutan Tanaman Industri
4.  Sistem Akuntansi PSAK
5.  Soft Landing dan Moratorium Pemanfaatan Hutan Produksi
2.6.2 Evaluasi Palaksanaan Kebijakan Prioritas
1.  Ilegal Logging.
2.  Revitalisasi sector kehutanan.
3.  Pemantapan kawasan.
4.  Pemberdayaan ekonomi masyarakat.
5.  Rehabilitasi dan konservasi Sumberdaya Hutan.
2.6.3 Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan
     Visi pembangunan kehutanan yaitu “terwujudnya penyelenggaraan kehutanan untk menjamin kelestarian hutan dan peningkatan kemakmuran rakyat”.Adapun misi dari pembangunan kehutanan adalah “terwujudnya penyelenggaraan kehutanan untuk menjamin kelestarian hutan dan peningkatan kemakmuran rakyat”.
2.6.4 Konsep Dasar Perumusan Kebijakan Penerapan dan Implikasinya di BidangKehutanan
1.  Kebijakan dan Kebijakan Kehutanan.
2.  Hutan dan Kehutanan.
3.  Konsep Dasar Penyusunan Kebijakan.
4.  Kebijakan Kehutanan (Konseptual dan Faktual).
5.  Implikasi dan Kebijakan Faktual Dalam Pengelolaan Hutan.
2.6.5 Kinerja Pembangunan Kehutanan
1.  Hutan sebagai Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
2.  Pemanfaatan Sumberdaya Hutan dalam Pembangunan.
3.  Kinerja Pembangunan Kehutanan selama 3 Dasawarsa.
4.  Perubahan Paradigma Pembangunan Kehutanan :
a.     3 perubahan paradigm baru
b.     Implikasinya dalam pencapaian SFM
2.7 Organisasi Pengelolaan Hutan Secara Lestari
2.7.1 Organisasi Pengelolaan Hutan
                1. Pembentukan dan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) adalah amanat dari UU No.41/1999 Tentang Kehutanan.
          2. Kawasan Hutan Dibagi Menjadi KPH Sesuai Dengan Fungsinya:
a.     Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P)
b.     Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPH-L)
c.     Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH-K)
3.  Dasar Pembentukannya:
a.     Batas Administrasi Pemerintahan
b.     Daerah Aliran Sungai (DAS)
c.     Kondisi BIO-GEOFISIK Sumberdaya Hutan
d.    Kondisi Sosial – Budaya Masyarakat
e.     Kondisi Aksesibilitas – SarPras, dan
f.      Potensi Sumberdaya Hutan
     Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan  hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
2.7.2 Sumberdaya Hutan di Kalimantan Timur
                       Berdasarkan SK Menhut No.79/2001, luas kawasan hutan di Kalimantan Timur adalah 14.651.553 ha, yang terdiri dari:
a.     Hutan Konservasi            : 2.165.198 ha
b.     Hutan Lindung                : 2.751.702 ha
c.     Hutan Produksi               : 9.711.300 ha
d.    Hutan Penelitian              : 23.353 ha
     Dari analisis citra areal kerja IUPHHK dan eks IUPHHK:
a.     Hutan Primer       : 4.093.476 ha (+ 6% di eks IUPHHK)
b.     Hutan eks.teb      : 4.289.493 ha (+ 19% di eks IUPHHK)
2.7.3 Rencana Karya Pengelolaan Hutan
              Beberapa kesimpulan penting tentang karya pengelolaan hutan antara lain:
a.    Rencana Karya Pengelolaan Hutan merupakan instrument dokumen penting bagi terwujudnya PHAPL-SFM.
b.    Sistem rencana pengelolaan berdasarkan PP No.33/1970 dan turunannya, masih belum dapat mewujudkan tujuan tersebut.
c.    Melalui PP No.6/2007 sebagai amanat UU No.41, Pasal 17 telah terjadi perubahan mendasar dalam Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan.
d.   Dengan dibangunnya KPH-P/L/K diharapkan pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dapat dilaksanakan secara efisien dan lestari.
2.8 Otonomi Daerah
2.8.1 Undang – Undang Otonomi Daerah
                    Otonomi Daerah (Otoda) adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat  sesuai dengan per UUan yang berlaku. Tujuan dari OTODA adalah untuk percepatan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, pemberdayaaan dan peran masyarakat, pembangunan peningkatan daya saing daerah, dan persaingan global. Sedangkan prinsip dari OTODA adalah Demokrasi, Pemerataan dan Keadilan, Keistimewaan, Kekhususan Lokal.
2.8.2 Peran Masyarakat Dalam Kehutanan
a. Kewajiban Masyarakat
1. Memelihara dan menjaga dari gangguan dan perusakan.
2. Peroleh pendampingan dalam rehabilitasi hutan.
b. Hak Masyarakat
1.  Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup dari Sumberdaya Hutan.
2. Memanfaatkan Hutan dan Hasil Hutan.
3. Mengetahui rencana peruntukaan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan.
4. Memberi informasi, saran, dan pertimbangan.
5. Melakukan pengawasan.
6. Berhak memperoleh kompensasi oleh: hilangnya hak atas tanah, hilangnya akses Sumberdaya Hutan.

III.            PENUTUP
Berdasarkan materi yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, fungsi pokok hutan dibagi menjadi 3:
1.    Fungsi Lindung
2.    Fungsi Produksi
3.    Fungsi Konservasi
     Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan  hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dibagi menjadi tiga, yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan – Lindung (KPH - L), Kesatuan Pengelolaan Hutan – Produksi (KPH - P), dan Kesatuan Pengelolaan Hutan – Konservasi (KPH - K).
     Sertifikasi adalah kegiatan penilaian kinerja pengelolaan hutan berdasarkan kaidah – kaidah kelestarian.Ecolabelling memberi sertifikasi bagi produk hasil hutan yang telah dikelola secara lestari (baik hutan alam maupun tanaman serta produk non kayu).

0 komentar: