Perencanaan Hutan
Perencanaan hutan adalah suatu bagian proses pengelolaan hutan untuk
memperoleh landasan kerja dan landasan hukum agar terwujud ketertiban
dan kepastian hukum dalam pemanfaatan hutan sehingga menunjang
diperolehnya manfaat hutan yang optimal, berfungsi serbaguna dan
pendayagunaan secara lestari.
A. Inventarisasi Hutan
1. Tujuan
a. Sesuai dengan intensitasnya, bertujuan untuk mendapatkan data untuk diolah menjadi informasi untuk penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang, menengah dan rencana operasional.
b. Pemantauan perubahan potensi SDH yang terjadi karena adanya pertumbuhan, ataupun perubahan karena adanya gangguan.
a. Sesuai dengan intensitasnya, bertujuan untuk mendapatkan data untuk diolah menjadi informasi untuk penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang, menengah dan rencana operasional.
b. Pemantauan perubahan potensi SDH yang terjadi karena adanya pertumbuhan, ataupun perubahan karena adanya gangguan.
2. Pelaksanaan Inventarisasi Hutan
a. Inventarisasi Hutan Nasional (IHN)
unit inventarisasi adalah provinsi
untuk mendapatkan data tingkat nasional
dilakukan oleh pemerintah pusat setiap 5 tahun
informasi SDH yang didapat: tutupan vegetasi, penggunaan lahan, perkiraan tipe dan potensi SDH
informasi SDH dipilah berdasarkan fungsi hutannya menurut RTGH atau RTRWP
karena cakupan yg luas IHN menggunakan teknik sampling dengan memanfaatkan ketersediaan data penginderaan jauh, dan verifikasi kegiatan lapang yang diperoleh dengan pengamatan SDH pada PSP (permanent sample plots) atau TSP (temporary sample plots)
IHN menghasilkan peta berskala 1:250.000
a. Inventarisasi Hutan Nasional (IHN)
unit inventarisasi adalah provinsi
untuk mendapatkan data tingkat nasional
dilakukan oleh pemerintah pusat setiap 5 tahun
informasi SDH yang didapat: tutupan vegetasi, penggunaan lahan, perkiraan tipe dan potensi SDH
informasi SDH dipilah berdasarkan fungsi hutannya menurut RTGH atau RTRWP
karena cakupan yg luas IHN menggunakan teknik sampling dengan memanfaatkan ketersediaan data penginderaan jauh, dan verifikasi kegiatan lapang yang diperoleh dengan pengamatan SDH pada PSP (permanent sample plots) atau TSP (temporary sample plots)
IHN menghasilkan peta berskala 1:250.000
b. Inventarisasi Hutan untuk Rencana Pengelolaan (IHRP)
IHRP dilakukan untuk untuk setiap unit atau sub-unit pengelolaan hutan seperti bagian hutan, HPH (hak pengusahaan hutan), HPHTI (hak pengusahaan hutan tanaman industri), areal rencana karya lima tahunan (RKL), dll
IHRP dilakukan oleh instansi pemerintah, konsultan (yg diakui DEPHUT) dengan pengawasan BAPLAN dan instansi kehutanan daerah
data dari IHRP digunakan untuk menyusun rencana karya pengelolaan tingkat unit pengelolaan dalam jangka waktu tertentu (jangka panjang atau menengah.
informasi SDH meliputi: potensi kayu, kondisi permudaan, kondisi topografi, kondisi sosial ekonomi yang relevan.
teknik IHRP dengan menggunakan teknologi yg mendukung agar dapat dilakukan dengan efisien dan hasilnya optimal
IHRP dilakukan untuk untuk setiap unit atau sub-unit pengelolaan hutan seperti bagian hutan, HPH (hak pengusahaan hutan), HPHTI (hak pengusahaan hutan tanaman industri), areal rencana karya lima tahunan (RKL), dll
IHRP dilakukan oleh instansi pemerintah, konsultan (yg diakui DEPHUT) dengan pengawasan BAPLAN dan instansi kehutanan daerah
data dari IHRP digunakan untuk menyusun rencana karya pengelolaan tingkat unit pengelolaan dalam jangka waktu tertentu (jangka panjang atau menengah.
informasi SDH meliputi: potensi kayu, kondisi permudaan, kondisi topografi, kondisi sosial ekonomi yang relevan.
teknik IHRP dengan menggunakan teknologi yg mendukung agar dapat dilakukan dengan efisien dan hasilnya optimal
c. Inventarisasi Hutan untuk Rencana Operasional (IHRO)
IHRO dikerjakan untuk keperluan operasional pengelolaan hutan dengan cakupan areal yang terbatas (blok atau bagian unit pengelolaan).
IHRO digunakan sebagai dasarpenyusunan rencana kegitan operasional jangka pendek (1 tahun).
IHRO utuk mendapatkan data: letak dan luas areal, tipe, komposisi, dan potensi hutan, kondisi topografi, jenis tanah dan geologi, pembukaan wilayah/ aksesibilitas kawasan
untuk data volume kayu yang akan ditebang, pengukuran pohon secara sensus (100%)
IHRO dilakukan oleh pengelola hutan dan diawasi oleh DEPHUT.
IHRO dikerjakan untuk keperluan operasional pengelolaan hutan dengan cakupan areal yang terbatas (blok atau bagian unit pengelolaan).
IHRO digunakan sebagai dasarpenyusunan rencana kegitan operasional jangka pendek (1 tahun).
IHRO utuk mendapatkan data: letak dan luas areal, tipe, komposisi, dan potensi hutan, kondisi topografi, jenis tanah dan geologi, pembukaan wilayah/ aksesibilitas kawasan
untuk data volume kayu yang akan ditebang, pengukuran pohon secara sensus (100%)
IHRO dilakukan oleh pengelola hutan dan diawasi oleh DEPHUT.
d. Inventarisasi Hasil Hutan Non Kayu (IHHNK)
IHHNK digunakan untuk mengumpulkan data / informasi tentang potensi dan sebaran hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi seperti rotan, bambu, sagu, dan nipah
IHHNK dilakukan pada areal hutan yang mengandung hasil hutan no kayu murni ataupun merupakan bagian dari ekosistim hutannnya
hasil IHHNK digunakan untuk menyusun perencanaan makro nasional dan operasional.
IHHNK digunakan untuk mengumpulkan data / informasi tentang potensi dan sebaran hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi seperti rotan, bambu, sagu, dan nipah
IHHNK dilakukan pada areal hutan yang mengandung hasil hutan no kayu murni ataupun merupakan bagian dari ekosistim hutannnya
hasil IHHNK digunakan untuk menyusun perencanaan makro nasional dan operasional.
B. Pengukuhan Hutan
Dalam kegiatan perencanaan hutan, pemerintah menyusun rencana umum
kehutanan (RUK) yang berisi: peruntukan penyediaan, pengadaan dan
penggunaan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Atas dasar RUK disusun
rencana pengukuhan hutan, dan rencana penatagunaan hutan.
Untuk setiap provinsi, pengukuhan dan penatagunaan hutan dilaksanakan
berdasarkan peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH).
Untuk luar Jawa peta RPPH adalah peta TGHK (Tata Guna Hutan
Kesepakatan).
Dengan tersusunnya RTRWP dan RTRWK, dilakukan pemadu-serasian antara
TGHK dengan RTRWP dan RTRWK, sehingga diperoleh TGH (Tata Guna Hutan)
yang mempunyai kepastian hukum yang mantap dan menjadi bagian integral
dari rencana tata ruang wilayah.
Peta TGH menggambarkan deleniasi kawasan hutan berdasarkan
fungsi-fungsi hutan yang disusun secara teknis berdasarkan data dan
informasi yang tersedia.
Pengukuhan hutan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penataan
batas wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan, guna memperoleh
kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan. Rencana
pengukuhan hutan adalah rencana yang memuat kegiatan pengukuhan hutan.
Penatagunaan hutan adalah kegiatan perencanaan tata guna hutan,
pemanfaatan hutan dan pengendalian pemanfaatan hutan sesuai dengan
fungsinya; yaitu sebagai:
Suaka alam ( suaka margasatwa dan cagar alam)
kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam)
kawasan hutan taman buru
kawasan hutan lindung
kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi).
Rencana penatagunaan hutan adalah rencana yang memuat kegiatan penatagunaan hutan.
Suaka alam ( suaka margasatwa dan cagar alam)
kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam)
kawasan hutan taman buru
kawasan hutan lindung
kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi).
Rencana penatagunaan hutan adalah rencana yang memuat kegiatan penatagunaan hutan.
Penataan hutan adalah kegiatan penyusunan Rencana Karya Pengusahaan
Hutan yang telah ditata untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
pemanfaatan hutan secara ekonomis dan berdasarkan asas kelestarian.
1. Tujuan
a. Pengukuhan hutan bertujuan untuk terwujudnya kepastian hukum mengenai status, batas dan luas wilayah hutan
b. Penatagunaan hutan bertujuan:
terselenggaranya perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan hutan sesuai dengan fungsinya
terselenggaranya pemanfaatan hutan yang berwawasan lingkungan di kawasan lindung dan kawasan budidaya
terwujudnya tertib pemanfaatan hutan yang ,eliputi peruntukan, penyediaan, pengadaan, penggunaan dan pemeliharaan hutan
terwujudnya kepastian hukum untuk menggunakan hutan bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan hutan.
a. Pengukuhan hutan bertujuan untuk terwujudnya kepastian hukum mengenai status, batas dan luas wilayah hutan
b. Penatagunaan hutan bertujuan:
terselenggaranya perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan hutan sesuai dengan fungsinya
terselenggaranya pemanfaatan hutan yang berwawasan lingkungan di kawasan lindung dan kawasan budidaya
terwujudnya tertib pemanfaatan hutan yang ,eliputi peruntukan, penyediaan, pengadaan, penggunaan dan pemeliharaan hutan
terwujudnya kepastian hukum untuk menggunakan hutan bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan hutan.
2. Pelaksanaan
a. Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan
peta RPPH, peta TGHK, peta TGH atau peta yg lain adalah peta makro sebagai dasar dalam proses pengukuhan hutan hingga penetapan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.
kriteria penunjukan sebagai kawasan hutan:
bervegetasi hutan
belum dibebani hak
pertimbangan biogeofisik berperanan dalam perlindungan tata air dan kawasan di bawahnya
pertimbangan fenomena alam, perlu dijadikan kawasan konservasi.
pertimbangan lain
aspek sosial-ekonomis
aspek legalitas/ hukum yang berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan lahan
aspek hankam
peta RPPH, peta TGHK, peta TGH atau peta yg lain adalah peta makro sebagai dasar dalam proses pengukuhan hutan hingga penetapan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.
kriteria penunjukan sebagai kawasan hutan:
bervegetasi hutan
belum dibebani hak
pertimbangan biogeofisik berperanan dalam perlindungan tata air dan kawasan di bawahnya
pertimbangan fenomena alam, perlu dijadikan kawasan konservasi.
pertimbangan lain
aspek sosial-ekonomis
aspek legalitas/ hukum yang berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan lahan
aspek hankam
berbagai kondisi lahan untuk penunjukan dapat dianalisa dengan
bantuan data penginderaan jauh, peta rupabumi, peta topografi, peta JOG,
peta vegetasi, peta landuse, dan berbagai peta thematik lainnya, data
statistik, informasi masyarakat atau aparat pemerintah
berbagai hal berkaitan dengan RPPH, dan TGH, pemaduserasian disiapkan oleh tim teknis BPKH yang berada dibawah BAPLAN (Badan Planologi Kehutanan)
berbagai hal berkaitan dengan RPPH, dan TGH, pemaduserasian disiapkan oleh tim teknis BPKH yang berada dibawah BAPLAN (Badan Planologi Kehutanan)
b. Pengukuhan Hutan
Dasar kegiatan: penunjukan wilayah hutan yang tergambar dalam peta RPPH, TGHK, TGH; dengan surat keputusan menteri.
mengacu pada pedoman Kepmenhut no 339/Kpts-II/1990 dan no634/Kpts-II/1996. Panitia tatabatas dibentuk mengacu pada Kepmenhut no 400/Kpts-II/1990 dan no 635/Kpts-II/1996
tahapan kegiatan:
penyusunan rencana kerja dan peta kerja
deleniasi batas
mengadakan rapat Panitia Tata Batas (PTB)
pemancangan patok batas
inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga berkait dengan trayek batas dan hutan yangdikukuhkan
pengumuman trayek batas
pengukuran dan pemetaan serta pemasangan pal batas
pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas
kegiatan persiapan dan pelaksanaan di lapangan dilaksanan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). untuk P Jawa dan Madura oleh Biro Perencanaan Hutan Perhutani.
mengacu pada pedoman Kepmenhut no 339/Kpts-II/1990 dan no634/Kpts-II/1996. Panitia tatabatas dibentuk mengacu pada Kepmenhut no 400/Kpts-II/1990 dan no 635/Kpts-II/1996
tahapan kegiatan:
penyusunan rencana kerja dan peta kerja
deleniasi batas
mengadakan rapat Panitia Tata Batas (PTB)
pemancangan patok batas
inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga berkait dengan trayek batas dan hutan yangdikukuhkan
pengumuman trayek batas
pengukuran dan pemetaan serta pemasangan pal batas
pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas
kegiatan persiapan dan pelaksanaan di lapangan dilaksanan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). untuk P Jawa dan Madura oleh Biro Perencanaan Hutan Perhutani.
c. Penatagunaan Hutan
Ruang lingkup:
aspek administratif meliputi wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota secara terpadu
berdasarkan fungsi utama kawasan hutan
penatagunaan hutan memperhatikan
lingkungan buatan, alam, sosial dan interaksinya
kemampuan pembiayaan pembangunan dan kelembagaan
dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat
Perencanaan tatagunahutan:
dilakukan dengan proses dan prosedur atas dasar perundangan yg berlaku
rencana ditinjau lagi minimal 5 tahun sekali sesuai dengan jenis perencanaan mengikuti tataruang wilayah yang bersangkutan:
RTGHNasional, berjangka 25 tahun
RTGHPropvinsi, berjangka 15 tahun
RTGHKabupaten/Kota, berjangka 10 tahun
aspek administratif meliputi wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota secara terpadu
berdasarkan fungsi utama kawasan hutan
penatagunaan hutan memperhatikan
lingkungan buatan, alam, sosial dan interaksinya
kemampuan pembiayaan pembangunan dan kelembagaan
dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat
Perencanaan tatagunahutan:
dilakukan dengan proses dan prosedur atas dasar perundangan yg berlaku
rencana ditinjau lagi minimal 5 tahun sekali sesuai dengan jenis perencanaan mengikuti tataruang wilayah yang bersangkutan:
RTGHNasional, berjangka 25 tahun
RTGHPropvinsi, berjangka 15 tahun
RTGHKabupaten/Kota, berjangka 10 tahun
Kriteria penetapan fungsi kawasan hutan:
kawasan hutan Cagar Alam:
dijumpai keanekaragaman jenis dan ekosistem
mewakili formasi biota tertentu atau unit penyusunnya
kondisi fisik dan biota asli
mempunyai ciri khas
kawasan Suaka Margasatwa:
habitat margasatwa yang memerlukan konservasi
keanekaragaman satwa yang tinggi
bagian habitat satwa migran
luasannya mencukupi
kawasan taman nasional
luasan cuku mendukung proses ekologi secara alami
jenis tumbuhan, satwa, gejala alam yang unik, utuh dan alami
secara materi atau fisik tidak dapat diubah karena ekonomi atau
pendudukan manusia
masih asli atau alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam
memungkinkan adanya zonasi (inti, pemanfaatan, penyangga dll) yang mendukung pelestarian ekosistem di dalamnya
kawasan taman hutan raya
kawasan asli atau bukan tetapi khas, utuh atau berubah
memiliki keindahan alam, satwa, tumbuhan, dan gejala alam
mudah dijangkau dan dekat dengan pusat pemukiman penduduk
luasannya memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan satwa yang asli maupun bukan
kawasan wisata alam
mempunyai daya tarik alami baik tumbuhan, satwa, ekosistem atau gejala alam
luasan cukup untuk pemanfaatan sebagai kawasan wisata
lingkungan sekitar mendukung upaya pengembangannya dan mudah terjangkau dari pusat-pusat pemukiman penduduk
kawasan taman buru
luasan cukup dan kawasan tidak membahayakan
kawasan dengan satwa yang dikembang-biakkan sehingga memungkinkan perburuan teratur yang mengutamakan rekreasi, olahraga, dan kelestarian
kawasan cagar biosfer
kawasan perwakilan ekosistem alami, atau non-alami
kawasan dengan komunitas alam yang unik, indah, langka
bentang alam yang cukup luas sehingga bisa dilihat keharmonisan alam dengan manusia
memungkinkan pemantauan perubahan ekologi secara penelitian dan pendidikan
kawasan plasma nutfah
memiliki plasma nutfah yang tidak terdapat di kawasan lain
tempat pemindahan satwa sebagai tempatnya yang baru
luasannya cukup untuk proses perkembangan plasma nutfah ybs
kawasan pengungsian satwa liar
merupakan habitat satwa ybs
luasan cukup untuk perkembangan satwa ybs
kawasan lindung bakau
kawasan dengan minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis surut terendah ke arah darat yang merupakan habitat hutan bakau
kawasan hutan lindung
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 175 atau lebih, atau
kelerengan lapangan 40% atau lebih, atau
ketinggian 2000 mdpl.
kawasan hutan produksi terbatas:
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 125-174,
kawasan dengan nilai tersebut tidak nberada di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
kawasan hutan produksi tetap
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 124 atau kurang,
kawasan dengan nilai tersebut tidak nberada di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
kawasan hutan yang dapat dikonversi
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 124 atau kurang,
kawasan hutan yang dicadangkan untuk sektor non-kehutanan (penetapannya dengan proses pelepasan areal)
kawasan hutan Cagar Alam:
dijumpai keanekaragaman jenis dan ekosistem
mewakili formasi biota tertentu atau unit penyusunnya
kondisi fisik dan biota asli
mempunyai ciri khas
kawasan Suaka Margasatwa:
habitat margasatwa yang memerlukan konservasi
keanekaragaman satwa yang tinggi
bagian habitat satwa migran
luasannya mencukupi
kawasan taman nasional
luasan cuku mendukung proses ekologi secara alami
jenis tumbuhan, satwa, gejala alam yang unik, utuh dan alami
secara materi atau fisik tidak dapat diubah karena ekonomi atau
pendudukan manusia
masih asli atau alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam
memungkinkan adanya zonasi (inti, pemanfaatan, penyangga dll) yang mendukung pelestarian ekosistem di dalamnya
kawasan taman hutan raya
kawasan asli atau bukan tetapi khas, utuh atau berubah
memiliki keindahan alam, satwa, tumbuhan, dan gejala alam
mudah dijangkau dan dekat dengan pusat pemukiman penduduk
luasannya memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan satwa yang asli maupun bukan
kawasan wisata alam
mempunyai daya tarik alami baik tumbuhan, satwa, ekosistem atau gejala alam
luasan cukup untuk pemanfaatan sebagai kawasan wisata
lingkungan sekitar mendukung upaya pengembangannya dan mudah terjangkau dari pusat-pusat pemukiman penduduk
kawasan taman buru
luasan cukup dan kawasan tidak membahayakan
kawasan dengan satwa yang dikembang-biakkan sehingga memungkinkan perburuan teratur yang mengutamakan rekreasi, olahraga, dan kelestarian
kawasan cagar biosfer
kawasan perwakilan ekosistem alami, atau non-alami
kawasan dengan komunitas alam yang unik, indah, langka
bentang alam yang cukup luas sehingga bisa dilihat keharmonisan alam dengan manusia
memungkinkan pemantauan perubahan ekologi secara penelitian dan pendidikan
kawasan plasma nutfah
memiliki plasma nutfah yang tidak terdapat di kawasan lain
tempat pemindahan satwa sebagai tempatnya yang baru
luasannya cukup untuk proses perkembangan plasma nutfah ybs
kawasan pengungsian satwa liar
merupakan habitat satwa ybs
luasan cukup untuk perkembangan satwa ybs
kawasan lindung bakau
kawasan dengan minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis surut terendah ke arah darat yang merupakan habitat hutan bakau
kawasan hutan lindung
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 175 atau lebih, atau
kelerengan lapangan 40% atau lebih, atau
ketinggian 2000 mdpl.
kawasan hutan produksi terbatas:
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 125-174,
kawasan dengan nilai tersebut tidak nberada di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
kawasan hutan produksi tetap
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 124 atau kurang,
kawasan dengan nilai tersebut tidak nberada di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
kawasan hutan yang dapat dikonversi
kawasan hutan dengan kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan nilai tertimbang 124 atau kurang,
kawasan hutan yang dicadangkan untuk sektor non-kehutanan (penetapannya dengan proses pelepasan areal)
Kelas lereng untuk penghitungan nilai tertimbang adalah sebagai berikut:
Kelas
Lereng (angka penimbang 20)
Kategori
1
0 – 8 %
Datar
2
8 – 15%
Landai
3
15 – 25%
Agak curam
4
25 – 45%
Curam
5
45 % atau lebih
Sangat curam
Kelas
Lereng (angka penimbang 20)
Kategori
1
0 – 8 %
Datar
2
8 – 15%
Landai
3
15 – 25%
Agak curam
4
25 – 45%
Curam
5
45 % atau lebih
Sangat curam
Kelas jenis tanah untuk penghitungan nilai tertimbang adalah sebagai berikut:
Kelas
Jenis tanah (angka penimbang 15)
Kategori
1
Alluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterite
Tidak peka
2
Latosol
Agak peka
3
Brown Forest Soil, Non Calcic Brown, Mediteran
Kurang peka
4
Andosol, Laterite, Grumusol,Podsol, Podsolik
Peka
5
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Sangat peka
Kelas
Jenis tanah (angka penimbang 15)
Kategori
1
Alluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterite
Tidak peka
2
Latosol
Agak peka
3
Brown Forest Soil, Non Calcic Brown, Mediteran
Kurang peka
4
Andosol, Laterite, Grumusol,Podsol, Podsolik
Peka
5
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Sangat peka
Kelas intensitas hujan untuk penghitungan nilai tertimbang adalah sebagai berikut:
Kelas
Intensitas hujan (angka penimbang 10)
Kategori
1
13,6 atau kurang
Sangat rendah
2
13,6 – 20,7
Rendah
3
20,7 – 27,7
Sedang
4
27,7 – 34,8
Tinggi
5
34,8 atau lebih
Sangat tinggi
Kelas
Intensitas hujan (angka penimbang 10)
Kategori
1
13,6 atau kurang
Sangat rendah
2
13,6 – 20,7
Rendah
3
20,7 – 27,7
Sedang
4
27,7 – 34,8
Tinggi
5
34,8 atau lebih
Sangat tinggi
C. Penataan Hutan Produksi
1. Tujuan
Kegiatan penataan hutan produksi bertujuan memperoleh gambaran jelas potensi dan keadaan hutan, dan cara pengaturan pemanfaatan dan pembinaannya agar terjamin azas kelestarian dan hasil yang optimal.
Kegiatan penataan hutan produksi bertujuan memperoleh gambaran jelas potensi dan keadaan hutan, dan cara pengaturan pemanfaatan dan pembinaannya agar terjamin azas kelestarian dan hasil yang optimal.
2. Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP)
KPHP adalah suatu kesatuan kawasan hutan produksi yang dikelola berdasarkan azas kelestarian dan azas perusahaan agar kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan terselenggara secara berkelanjutan.
KPHP adalah suatu kesatuan kawasan hutan produksi yang dikelola berdasarkan azas kelestarian dan azas perusahaan agar kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan terselenggara secara berkelanjutan.
KPHP dibentuk agar tertata kawasan hutan produksi dalam satuan-satuan
kelestarian usaha yang rasional dan menguntungkan sehingga dapat
menjamin tersedianya hasil hutan dan manfaat lainnya untuk pembangunan
nasional, pembangunan daerah dan masyarakat sekitar hutan secara
berkelanjutan.
Komposisi tegakan di dalam KPHP dapat berupa hutan alam, hutan
tanaman, atau hutan campuran antara hutan alam dan hutan tanaman dengan
satu atau beberapa sistem silvikultur.
3. Pelaksanaan Penataan Hutan
Penataaan hutan dilaksanakan oleh pengelola KPHP, dapat menggunakan
jasa konsultan, dan disahkan oleh Departemen Kehutanan. Pelaksanaan
Penataan Hutan meliputi: a. Inventarisasi Hutan, b. Penataan Batas, c.
Pembagian Hutan, d. Pengukuran dan Pemetaan, dan e. Kompartementasi.
a. Inventarisasi Hutan
Tujuan: mengetahui keadaan lapangan dan kondisi flora dan fauna. Di areal yang bersangkutan. Dan juga data penunjang, terutama yang berkaitan dengan bentuk pengusahaan yang akan diterapkan.
Tujuan: mengetahui keadaan lapangan dan kondisi flora dan fauna. Di areal yang bersangkutan. Dan juga data penunjang, terutama yang berkaitan dengan bentuk pengusahaan yang akan diterapkan.
b. Penataan batas
bersangkutan dengan penataan garis-garis batas dan penataan tanda-tanda batas. Untuk kelompok hutan yang sudah dikukuhkan, dimana garis-garis batas dan tanda-tada batas sudah ada di lapangan; garis-garis batas dan tanda-tanda batas tersebut disesuaikan dengan keperluan penataan hutan. Jika terjadi penambahan atau pengurangan areal, dibuat Berita Acara tambahan.
bersangkutan dengan penataan garis-garis batas dan penataan tanda-tanda batas. Untuk kelompok hutan yang sudah dikukuhkan, dimana garis-garis batas dan tanda-tada batas sudah ada di lapangan; garis-garis batas dan tanda-tanda batas tersebut disesuaikan dengan keperluan penataan hutan. Jika terjadi penambahan atau pengurangan areal, dibuat Berita Acara tambahan.
c. Pembagian hutan
Kelompok hutan yang merupakan suatu kesatuan pengusahaan hutan dan telah dilakukan penataan batasnya dibagi dalam kesatuan-kesatuan kerja. Pada umumnya tiap kesatuan kerja didisain agar areal yang bersangkutan mempunyai satu arah pengangkutan hasil hutan. Kesatuan kerja tersebut kemudian dibagi menjadi blok-blok tata hutan.
Kelompok hutan yang merupakan suatu kesatuan pengusahaan hutan dan telah dilakukan penataan batasnya dibagi dalam kesatuan-kesatuan kerja. Pada umumnya tiap kesatuan kerja didisain agar areal yang bersangkutan mempunyai satu arah pengangkutan hasil hutan. Kesatuan kerja tersebut kemudian dibagi menjadi blok-blok tata hutan.
Blok-blok tata-hutan dibagi ke dalam petak-petak hutan yang maksudnya
untuk memberi kerangka yang tetap dan tata tertib pekerjaan bagi
pengurusan hutan, mempermudah orientasi di lapangan dan di atas peta,
mempermudah lalu lintas dan penjagaan hutan.
d.Pengukuran dan Pemetaan
Setelah dilakukan tata batas, pembagian hutan, inventarisasi dan pembukaan wilayah hutan, kemudian dilakukan pemetaan terperinci dengan sekala 1:20.000 s/d 1:50.000. Untuk mendapatkan peta tersebut, diadakan pengukuran semua garis-garis pembagian kawasan hutan serta garis-garis trase untuk jalan angkutan.
Setelah dilakukan tata batas, pembagian hutan, inventarisasi dan pembukaan wilayah hutan, kemudian dilakukan pemetaan terperinci dengan sekala 1:20.000 s/d 1:50.000. Untuk mendapatkan peta tersebut, diadakan pengukuran semua garis-garis pembagian kawasan hutan serta garis-garis trase untuk jalan angkutan.
e. Kompartemenisasi
Pengertian kompartemenisasi merupakan kegiatan penataan hutan yang
terdiri dari kegiatan pembagian areal hutan ke dalam blok kegiatan,
petak dan anak petak serta penenganan administrasinya yang bertujuan
untuk memudahkan manajemen pengelolaan agar dapat diperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari areal hutan. Jika kawasan tersebut merupakan HTI
kompartemenisasi diarahkan terhadap pengelolaan HTI.
Tujuan pelaksanaan kompartemenisasasi adalah dalam rangka tertib
pelaksanaan pengelolaan hutan sehingga mempermudah pelaksanaan manajemen
secara lebih intensif dan menyeluruh.
Pembentukan kompartemen diawali dengan pembagian kawasan hutan ke
dalam unit wilayah pengelolaan. Satu unit wilayah pengelolaan hutan
dibagi ke dalam wilayah yang lebih kecil yaitu blok kegiatan. Blok
kegiatan dibagi kedalam wilayah yang lebih kecil disebut petak, dan
petak dibagi dibagi kedalam wilayah yang lebih kecil lagi disebut anak
petak.
Batas kompartemen yang memisahkan satu kompartemen dengan kompartemen yang lain adalah alur.
1). Blok kegiatan yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh alur
induk atau jalan utama yang bersifat permanen dengan lebar kurang lebih 7
(tujuh ) meter dengan tujuan untuk jalur utama kegiatan. Alur induk
diberi nama dengan satu huruf. Dimulai dari huruf A pada tiap-tiap blok
kegiatan.
2). Petak dengan petak yang lain dibatasi oleh alur cabang/ jalan
hutan dengan lebar kurang lebih 4 (empat) meter yang bersifat permanen.
Alur cabang diberi nama dengan dua huruf mengikuti alur induknya,
misalnya AA, AB, dan seterusnya.
Organisasi kompartemen berkaitan dengan petugas-petugas yang terlibat
dengan kegiatan kompartemen hutan dan luas wilayah tanggung jawabnya.
Petugas-petugas tersebut terdiri dari:
Admisistratur (ADM) yang bertanggung jawab terhadap areal hutan dengan luas sekitar 40.000 sampai 50.000 ha.
Asisten adm bertanggung jawab atas pengelolaan hutan dengan luas sekitar 5.000 ha sampai 10.000 ha
Kepala Resort yang bertanggung jawab atas areal pengelolaan hutan dengan luas sekitar 1.000 dampai 2.000 ha.
Mandor bertanggung jawab atas pengelolaan hutan dalam suatu petak/anak petak baik berupa kegiatan tanaman, pemeliharaan maupun tebangan.
Asisten adm bertanggung jawab atas pengelolaan hutan dengan luas sekitar 5.000 ha sampai 10.000 ha
Kepala Resort yang bertanggung jawab atas areal pengelolaan hutan dengan luas sekitar 1.000 dampai 2.000 ha.
Mandor bertanggung jawab atas pengelolaan hutan dalam suatu petak/anak petak baik berupa kegiatan tanaman, pemeliharaan maupun tebangan.
Bentuk kompartemen atau petak tidak harus bujur sangkar atau pesegi
tetapi dapat mengikuti topografi lapngan atau batas-batas alam.
Sedangkan luas kompartemen atau petak ditetapkan sebagai berikut.
-100 sd 150 ha untuk TPTI pada hutan alam
-25 ha untuk HTI dengan sistem THPB
-25 sd 100 ha untuk pelaksanaan HTI dengan sistim TTJ
-25 ha untuk HTI dengan sistem THPB
-25 sd 100 ha untuk pelaksanaan HTI dengan sistim TTJ
Bagian dari petak yaitu anak petak, luasnya dapat mengikuti topografi
lapangan, jenis dan keadaan tanah, jenis tanaman yang diusahakan dll.
Tindakan silvikultur yang dilaksanakan dalam kompartemen meliputi
kegiatan penanaman, pemeliharaan (pembebasan, penyiangan, penanggulangan
hama dan penyakit serta penanggulangan kebakaran), penjarangan, risalah
dan penebangan.
4. Rencana Karya Pengusahaan
Pemegang HPH, wajib (PP21/1970) membuat Rencana Karya berupa
Pemegang HPH, wajib (PP21/1970) membuat Rencana Karya berupa
a. Rencana Karya Pengusahaan Hutan
memuat pedoman dan arahan untuk mencapai tujuan dan sasaran
memuat data pokok, prospek, analisis, rencana-rencana berbagai kegiatan
penataan batas, pengukuhan, peanataan, pembukaan wilayah, inventarisasi, pemungutan, penanaman, pemeliharaan, pemasaran hasil hutan, perlindungan hutan, pembinaan masyarakat.
digunakan untuk dasar penyusunan rencana jangka pendek.
b. Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Hutan Industri (RKP-HTI)
merupakan rencana umum yang memuat dasar-dasar dan arahan untuk pegangan bagi pengelola unit HTI untuk melaksanakan kegiatannya.
RKP-HTI memuat aspek teknis, finansial, sos-bud masyarakat sekitar areal HTI serta aspek lingkungan dari kegiatan pengusahaan hutan HTI
memuat pedoman dan arahan untuk mencapai tujuan dan sasaran
memuat data pokok, prospek, analisis, rencana-rencana berbagai kegiatan
penataan batas, pengukuhan, peanataan, pembukaan wilayah, inventarisasi, pemungutan, penanaman, pemeliharaan, pemasaran hasil hutan, perlindungan hutan, pembinaan masyarakat.
digunakan untuk dasar penyusunan rencana jangka pendek.
b. Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Hutan Industri (RKP-HTI)
merupakan rencana umum yang memuat dasar-dasar dan arahan untuk pegangan bagi pengelola unit HTI untuk melaksanakan kegiatannya.
RKP-HTI memuat aspek teknis, finansial, sos-bud masyarakat sekitar areal HTI serta aspek lingkungan dari kegiatan pengusahaan hutan HTI
c. Rencana Karya Lima Tahunan Pengusahaan Hutan (RKL-PH)
RKL-PH adalah rencana pengusahaan hutan yang memuat berbagai kegiatan selama 5 tahun. Merupakan penjabaran dari RKPH.
RKL-PH memuat rencana dan realisasi kegiatan pemantapan kawasan, pengelolaan hutan, sarana dan prasarana, organisasi dan ketenagakerjaan, pengelolaan hasil hutan lainnya, pengelolaan lingkungan, pembinaan masyarakat setempat, penelitian dan pengembangan, serta pendapatan dan pengeluaran.
rencana berjangka 5 tahun dan sebagai dasar penyusunan Rencana Karya Tahunan.
RKL-PH memuat rencana dan realisasi kegiatan pemantapan kawasan, pengelolaan hutan, sarana dan prasarana, organisasi dan ketenagakerjaan, pengelolaan hasil hutan lainnya, pengelolaan lingkungan, pembinaan masyarakat setempat, penelitian dan pengembangan, serta pendapatan dan pengeluaran.
rencana berjangka 5 tahun dan sebagai dasar penyusunan Rencana Karya Tahunan.
d. Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan (RKT-PH)
RKT-PH adalah penjabaran, penyesuaian dan operasionalisasi tahunan dari
RKL-PH
RKL-PH
E. Pengaturan Produksi
Pengaturan produksi pada dasarnya adalah penentuan etat tebangan.
Etat adalah besarnya luas atau masa kayu atau jumlah batang yang dipanen
setiap tahun selama jangka pengusahaan yang menjamin kelestarian
produksi dan sumberdaya.
Dasar-dasar dalam penentuan etat tebangan:
etat volume tidak melebihi pertumbuhan tegakan (riap tegakan)
semua jenis kayu komersiil dimanfaatkan secara optimal
menjaga kelestarian produksi dan kelestarian hutan
memperhatikan kebijaksanaan pemerintah di bidang pengusahaan hutan
menjamin fungsi perlindungan hutan
etat volume tidak melebihi pertumbuhan tegakan (riap tegakan)
semua jenis kayu komersiil dimanfaatkan secara optimal
menjaga kelestarian produksi dan kelestarian hutan
memperhatikan kebijaksanaan pemerintah di bidang pengusahaan hutan
menjamin fungsi perlindungan hutan
Contoh penghitungan etat dalam sistim silvikultur TPTI untuk HPH Baru:
Penghitungan etat luas:
Etat = {[luas areal berhutan] – [luas kawasan lindung]} / rotasi tebang
Penghitungan etat jumlah batang:
Etat = [etat luas] * ∑ btg/ha * fp * f e
Penghitungan etat volume:
Etat = [etat luas] * Vkayu/ha * fp * fe
fp adalah faktor pengamaan dan fe adalah faktor eksploitasi.
F. Sistim Pengelolaan Hutan Produksi secara Lestari (SPHL)
Pengelolaan hutan produksi lestari merupakan sistim pengelolaan hutan
produksi yang menjamin keberlanjutan fungsi produksi, fungsi
ekologis/lingkungan dan fungsi sosial dari hutan.
Untuk pengembangan pengelolaan hutan produksi secara lestari telah
dikembangkan Sistim sertifikasi pengelolaan hutan produkasi lestari.
Sistim sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari menggunakan
Pedoman Badan Sertifikasi Nasional (BSN). Khusus untuk sertifikasi hutan
alam produksi, standar acuan yang digunakan adalah SNI tentang Sistem
Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari.
1. Kriteria dan Dimensi Manajemen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Pengelolaan hutan produksi lestari adalah bentuk pengelolaan hutan
berdasarkan azaz “sustained yield” (hasil yang berkelanjutan) yang
ditunjukkan oleh:
terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi
terjaminnya keberlangsungan fungsi ekologi/lingkungan
terjaminnya keberlangsungan fungsi sosial
terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi
terjaminnya keberlangsungan fungsi ekologi/lingkungan
terjaminnya keberlangsungan fungsi sosial
Pengelolaan hutan produksi lestari dapat ditinjau dari dua aspek:
a. Dimensi hasil
kelestarian produksi
kelestarian ekologi/lingkungan
kelestarian sosial
kelestarian produksi
kelestarian ekologi/lingkungan
kelestarian sosial
b. Dimensi Manajemen (Strategi Pencapaian Hasil)
manajemen kawasan
manajemen hutan
penataan kawasan
manajemen kawasan
manajemen hutan
penataan kawasan
2. Prosedur Sertifikasi
Untuk memperoleh sertifikasi, pengelola hutan akan melalui berbagai proses sebagai berikut:
a. Rincian Permohonan
b. Penilaian Dokumen
c. Penilaian Lapangan
d. Penilaian Kinerja unit Manajemen Hutan
e. Konsultasi Publik
f. Panel Pakar III
g. Prosedur pengambilan keputusan
h. Pemberian, pencabutan dan Perpanjangan Sertifikat
Untuk memperoleh sertifikasi, pengelola hutan akan melalui berbagai proses sebagai berikut:
a. Rincian Permohonan
b. Penilaian Dokumen
c. Penilaian Lapangan
d. Penilaian Kinerja unit Manajemen Hutan
e. Konsultasi Publik
f. Panel Pakar III
g. Prosedur pengambilan keputusan
h. Pemberian, pencabutan dan Perpanjangan Sertifikat
IZIN COPAS...
BalasHapus